Selasa, 31 Mei 2011

Karl Marx


Karl Marx lahir di Trier, Jerman, di daerah Rhine pada tahun 1818. Ayahnya Heinrich dan ibunya Henrietta berasal dari keluarga rabbi yahudi.Tetapi Heinrich Marx memperoleh pendidikan sekular, dan mencapai kehidupan borjuis yang cukup mewah sebagai seorang pengacara yang berhasil. Ketika suasana politik menjadi tidak menguntungkan lagi sukses-sukses selanjutnya sebagai seorang pengacara keturunan yahudi, dia dan kelurganya masuk protestan dan diterima di gereja Luteran.Dan kemudian dalam pandangan Marx menekankan bahwa agama tidak memerikan pengaruh penting dalam perilaku, tetapi sebaliknya kepercayaan agama itu mencerminkan faktor-faktor sosial ekonomi yang mendasar. Agama menurutnya lebih merupakan protes melawan penderitaan daripada alat untuk menentramkannya “agama”. Kata Marx. Merupakan keluh kesah makhluk yang tertindas, hati dunia yang tak berjiwa. Mereka menderita bukan Cuma menginginkan hiburan, tapi perubahan–akhir penderitaan mereka, jalan keluar. ”Penderitaan keagamaan”, katanya, ”salah satu dan pada saat yang sama merupakan ekspresi penderitaan riil dan protes melawan penderitaan riil tersebut.

Pada usia 18, sesudah mempelajari hukum selama satu tahun di Universitas Bonn, Marx pindah ke Universitas Berlin. Sebagai akibat dari hubungan dengan kelompok Hegelian muda, meskipun Hegel sudah mati, namun semangat dan filsafatnya masih menguasai pemikiran filosofis dan sosial disana. Penganut Hegelian muda mempunyai pendirian kritis dan tidak menghargai ide-ide Hegel serta para pengikutnya, khususnya yang berhubungan dengan masa depan dan nada konservatifnya yang semakin bertambah itu. Dalam pemikirannya Hegel yaitu analisa dialektik, dalam analisa dialektik berintikan pandangan mengenai pertentangan antara tesis dan antitesis serta titik temu keduanya akhirnya akan membentuk suatu sintesa baru, kemudian menjadi tesis baru dan antitesis baru dan keduanya menjadi sintesa baru yang lebih tinggi tingkatannya. Meskipun model ini agak abstrak, mungkin dapat digambarkan kedalam suatu hal yang terdapat dalam tradisi masyarakat kita sendiri dengan adanya pertentangan antara ide-ide yang digunakan untuk membenarkan pelbagai bentuk pelapisan sosial dan ide-ide mengenai persamaan. Marx menggunakan analisa dealektik (yang meliputi kepekaan terhadap kontradiksi-kontradiksi internal dan perjuangan antara ide-ide lama dan ide-ide baru serta bentuk-bentuk sosial) tetapi dia menolak idealisme filosofis dan menggantikan dengan pendekatan materialistik.

Sesudah menyelesaikan disertasi doktornya di Universitas Berlin, Marx berniat untuk memasuki karir akademis. Namun sponsornya, Bruno Bauer dipecat dari pos akademis karena pandangan-pandangannya yang ke kiri dan antiagama. Marx menerima tawaran untuk menulis surat kabar borjuis liberal yang baru, bernama Rheinishe Zeitung. Pendirian radikal-liberal surat kabar itu mencerminkan oposisi borjuis terhadap sisa-sisa sistem aristokrasi-feodal kuno dan Marx menjadi pemimpin surat kabar ini. Disana Marx menikah dengan Jenny von Westphalen dan pindah ke Paris. Selama di Paris (1843-1845) Marx terlibat dalam kegiatan radikal. Pada saat itu merupakan pusat liberalisme dan radikalisme sosial dan intelektual yang penting di Eropa dan Marx berkenalan dengan pemikir-pemikir sosialis St. Simon dan Proudhon dan dengan tokoh revolusioner, Blanqui. Marx juga mengenal tulisan-tulisan ahli ekonomi politik Adam Smith dan David Richardo.

Mungkin peristiwa yang paling menentukan selama Marx menetap di paris adalah pertemuannya dengan Friedrich Engels yang menjadi kawan kerja yang dekat sampai Marx meninggal. Karena ayahnya Engels adalah seorang pengusaha tekstil sehingga memberikan kepadanya informasi langsung mengenai gaya hidup borjuis dan juga kondisi-kondisi proletariat. Engels pernah menjadi seorang manajer dari salah satu perusahaan ayahnya, tetapi hubungan dengan Marx menjadi lebih penting daripada kesadaran kelas borjuisnya. Engels terkesan akan keberhasilan Marx dalam analisa ekonominya, ditambah lagi dengan bacaan Marx sendiri mengenai tulisan ekonomi politik Inggris, mendorong dia ke usaha mengintegrasikan analisa ekonomi dan filsafat. Usaha ini tercermin dalam tulisan Marx berjudul Economic and Philosophical Manuscripts.

Pada tahun 1845 Marx diusir oleh pemerintahan Paris, karena tekanan dari pemerintah Prussia, yang pernah terganggu oleh tulisan-tulisan Marx yang berbau sosialis. Dari Paris Marx bertolak menuju Brussel dimana segera dia tenggelam dalam kegiatan-kegiatan sosialis internasional. Di Brussel dia mengadakan kontak dengan buruh-buruh dan kaum cendikiawan, beberapa adalah pelarian Jerman seperti dia sendiri. Banyak kenalan barunya ini sudah teribat dalam League of the Just yang sudah dibubarkan, yang merupakan suatu organisasi internasional yang revolusioner. Pada tahun 1846 Marx dan Engels bertolak menuju Inggris. Mereka diundang untuk mengikuti Communist League, suatu organisasi revolusioner yang bermarkas di London dan dimaksudkan sebagai pengganti League of the Just yang lebih besar lagi. Pada tahun 1848 Marx diundang kembali ke Paris oleh suatu pemerintahan yang baru. Ini merupakan masa-masa pergolakan, karena gerakan-gerakan revolusioner dengan cepat mendapat sambutan di seluruh Eropa. Sesudah tinggal sebentar di Paris, Marx kembali menerbitkan Neue Rheinische Zeitung dan dengan cara ini mempengaruhi arah revolusi itu. Marx melihat periode ini sebagai awal suatu titik balik sejarah yang penting yang akan segera menuju suatu kulminasi proses perubahan sosial yang mendasar yang sudah dimulai oleh Revolusi Perancis di tahun 1789. Baik serangan tahun 1789 maupun serangan tahun 1848 terhadap dominasi aristokratis tradisional, dipelopori munculnya kelas borjuis. Tetapi revolusi-revolusi tahun 1848 diikuti oleh orang-orang kelas buruh yang lebih terorganisasi, lebih sadar diri, dan secara potensial lebih berpengaruh daripada yang terjadi Revolusi Perancis sekitar 50 tahun sebelumnya. Dalam pandangannya mengenai keyakinan akan hasil akhirnya itu, Marx tidak seperti beberapa orang revolusioner mengenai kelas buruh, mendukung suatu gabungan antara kelompok borjuis dan proletar, sampai dominasi aristokrasi dilenyapkan, fase revolusi ini pada gilirannya akan mempersiapkan kondisi-kondisi materil dan sosial untuk kemenangan akhir kelas proletar atas kelas borjuis. Tetapi harapan-harapan Marx ini terbukti mendahului waktunya. Sementara kelompok borjuis berdebat tentang bagaimana terus maju dan beberapa kelompok proletariat menuntut suatu revolusi proletar dengan segera walaupun kondisi-kondisi materil dan sosial belum mencukupi, kekuatan-kekuatan konservatif berinisiatif untuk kembali bersama kelompok borjuis dalam posisi yang lebih berkuasa lagi. Dengan kembalinya masa-masa yang lebih jaya diawal tahun 1850-an, api-api revolusi sudah padam. Surat kabar Neue Rheinische Zeitung tidak terbit lagi tahun 1849 dan Marx diusir lagi dari Jeman. Dia kembali ke Paris tetapi tidak diijinkan tinggal disana, lalu dia bertolak ke pembuangannya di London dimana dia tinggal mengakhiri sisa-sisa hidupnya.

Sementara itu kondisi materil Marx yang sangat menyedihkan dan tidak menentu itu membuat dia tidak mampu untuk membiayai keluarga secara mencukupi. Situasi ini diringankan sedikit dengan bantuan keuangan dari Engels, yang kembali bekerja di salah satu perusahan kapas ayahnya. Marx juga dapat mencari uang sedikit dengan membuat artikel-artikel mengenai peristiwa-peristiwa di Eropa yang dimuat dalam New York Daily Tribune. Pada pertengahan tahun 1850-an Marx menerima warisan kecil dari keluarga istrinya yang sudah meninggal, warisan itu memberikan daya tahan sementara. Pada tahun 1883 (dua tahun setelah kematian istrinya) Marx meninggal.

Karya yang paling penting dihasilkan Marx selama tahun-tahun hidupnya di London adalah Das Kapital sebagai karya besarnya (magnum opus). Secara keseluruhan pusat peerhatian Das Kapital adalah kontradiksi internal dalam sistem kapitalis. Kontradiksi-kontradiksi ini mendorong dinamisme sistem itu secara meluas, tetapi sekaligus merupakan benih-benih perubahan radikal terakhir. Yng lebih penting lagi, karyanya ini dimaksudkan sebagai satu kritik terhadap teori-teori ortodoks mengenai ekonomi politik, seperti teori Smith dan Richardo dengan asumsi-asumsi individualistiknya, implikasi-implikasi politik laissez-faire-nya serta optimismenya yang bersifat naif mengenai konsekuensi-konsekuensi jangka panjang yang menguntungkan dalam suatu pasar bebas yakni ekonomi kapitalis. Karir Marx tidak dapat dipisahkan dari perkembangan gerakan sosialis di pertengahan abad ke-19. Seperti Comte dia seorang marjinal tetapi dengan alasan yang berlainan. Status marjinal Comte berasal dari pelbagai sifat keanehan pribadinya. Sifat marjinal Marx berhubungan dengan keterlibatannya dalam hal-hal radikal. Mungkin antara lain karena sifat marjinalnya ini, Marx merupakan seorang katalisator untuk tiga orientasi intelektual yang berbeda. Sumbangan teoritisnya banyak diambil dari:
1.      Metode dialektik Hegel dan historisme Jerman
2.      Teori ekonomi politik Inggris
3.      Pemikiran sosialis Perancis

Tetapi ketiga orientasi ini sangat berubah dalam karya Marx dan ide-ide sentral Marx , meskipun berulang kali dinyatakan selama perjalanan hidupnya, memperlihatkan suatu sumbangan kreatif yang penting tehadap perkembangan sosiologi modern.
Titik Temu Pemikiran

Aliran ini berpandangan bahwa antara agama dan demokrasi tidak bisa dipertemukan. Kelompok ini terbagi pada dua kutub yakni pengusung agama dan anti agama. Di antara tokoh yang anti agama adalah Karl Marx, Max Weber dan Nietzche. Argumen yang mereka kemukakan antara lain adalah; Pertama, sejarah agama memberikan gambaran peran agama tidak jarang hanya digunakan oleh penguasa politik dan pimpinan organisasi keagamaan untuk mendukung kepemimpinan kelompok. Kedua, argumen filosofis yang menyatakan bahwa keterikatan pada doktrin agama akan menggeser otonomi dan kemerdekaan manusia, yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip demokrasi. Ketiga, argumen teologis yang menegaskan bahwa agama bersifat deduktif, metafisis dan menjadikan rujukannya pada Tuhan, padahal Tuhan tidak hadir secara empiris, sementara demokrasi adalah persoalan empiris, konkret dan dinamis. Maka agama tidak mempunyai kompetensi menyelesaikan persoalan demokrasi. Hanya ketika agama disingkirkan, maka manusia akan lebih leluasa, mandiri dan jernih berbicara soal demokrasi.

Setelah melihat karakteristik sosiologis postmodernisme dapat dikatakan, bahwa pemikiran tentang agama telah mengalami perubahan, yaitu dari aspek sifatnya. Pemikiran modern-postmodern mereduksi teologi menjadi antropologi, sebagai refleksi pemikiran manusia (Supernatural human mind). Pada perkembangan selanjutnya konsep agama atau gambaran Tuhan secara antropologis menjadi penjelasan situasi sejarah manusia. Seperti Karl Marx yang berpendapat, bahwa agama itu mengekspresikan penderitaan manusia yang disebabkan oleh perubahan ekonomi atau pemisahan kehidupan manusia yang egoistis dalam masyarakat sipil dari kehidupannya sebagai makhluk mansuia dalam masyarakat politik. Menurut Nietzsche, agama adalah ekspresi penderitaan, akan tetapi penderitaan yang sifatnya berbeda. Manusia menderita karena ia sebagai hewan yang sakit (sickly animal), menderita karena internalisasi instingnya sendiri yang disebabkan kehidupan sosialnya, dan menderita karena problem tentang makna dirinya. Pendapat Nietzsche ini menjelaskan bahwa realitas, nilai dan kekuasaan yang absolut, telah “mati” (God is Dead) dan diganti dengan nilai-nilai kemanusiaan. Alfred North Whitehead mengatakan bahwa pemikiran pada abad ke 20 adalah menjauh dari keimanan (away of faith).
Akbar S. Ahmed, intelektual Muslim, juga berpendapat sama bahwa kecenderungan pemikiran postmodern adalah penolakan terhadap agama yang telah mapan, postmodernisme terlihat anti kemapanan agama. Foucoult mendeskripsikan postmodern melalui konsekuensi-konsekuensi loginya sebagai berikut:
Most of us no longer believe that ethic is founded in religion, nor do we want a legal system to intervene in our moral, personal, private life. Recent liberation movements suffer from the fact that they cannot find any principle on which to base the elaboration of a new ethic. They need an ethic, but they cannot find any other ethic than an ethic founded on so-called scientific knowledge of what the self is, what desire is, what the unconscious is and so on.
Agama tidak lagi dipercaya sebagai dasar dari etika dan moral. Manusia semakin kehilangan semangat etis dari suatu agama, mereka lebih percaya pada pijakan ilmiah tentang diri, keinginan, kesadaran, dan lain-lainnya. Pijakan hidup manusia hanyalah dapat disandarkan pada kenyataan pengetahuan ilmiah dan konsep akal, inilah persepektif era modern-postmodern. Jadi, agama dalam pandangan postmodernisme merupakan sesuatu yang telah diputuskan dari status terdahulunya sebagai sumber nilai dan kebenaran bagi manusia. Maka wajar bila ada anggapan, bahwa postmodernisme akan menggoyahkan konsep kepercayaan, keberagamaan, dan kebenaran yang telah melekat bagi manusia beragama. Postmodernisme lebih berpijak pada konsep akal dalam segala hal termasuk menentukan nilai etika dan moral. Pada tahap selanjutnya, sebagai konsekuensi konsep akal, postmodernisme sebagai alur kritik modern akan melahirkan pluralisme agama dan relativisme kebenaran.
Dengan ini, agama ditantang dapat merasuki wilayah postmodernisme tanpa harus menghilangkan prinsip-prinsip transendensinya. Suatu keharusan dan kemestian agama juga ikut andil mengisi “ruang kosong” postmodernisme, supaya kekaburan yang ditimbulkan tidak semakin membuta dan menghanguskan nilai-nilai etika yang memang sudah mapam dalam diri agama. Dengan usaha agama semacam ini akan menemukan titik dialog yang diharapkan, yaitu keharmonisan, toleransi, kedamaian, dan lainnya. Agama tidak hanya berkutik dalam persoalan universalitas yang abstrak, akan tetapi juga harus membumi dan memanusia.
Nietzche mengkritik konsep Tuhan agamawan tradisional yang abstrak dengan pernyataannya “Tuhan telah mati”. Pernyataan filosofis ini lebih baik daripada konsepsi teologis tentang Tuhan yang tidak dapat mendengar, dan jikapun Ia mendengar, tidak tahu bagaimana untuk menolong. Tuhan juga tidak dapat menjadikan dirinya mudah dimengerti dan Ia sendiri juga kabur tentang diriNya dan tentang apa yang Ia maksud. Nietzche seakan memberikan sok terapi agar kesadaran kemanusiaan tumbuh sebagai kebaikan universal. Memang, pernyataan filosofis tersebut terdengar atheistik, akan tetapi kalau dipahami lebih mendalam terkandung nilai spiritualistik yang luar biasa.
Heidegger juga berpendapat sama dengan Nietzche, ia menolak konsep Tuhan yang metafisis dan non-metafisi. Menurutnya pemikiran teologis adalah berhenti berfikir tentang Tuhan sebagai cause sui, yaitu Tuhan yang dianggap sebagai kekuatan penyebab yang mencipta dan menjaga alam kosmos, dan sebagai gantinya adalah Tuhan yang manusia dapat menari dan melutut didepanNya, Tuhan yang sebenarnya (Truly Divine God). Pendapat Heidegger sejalan pula dengan pandangan Witgenstein, yang mengakui memahami konsep Tuhan sejauh menyangkut kesadaran individu tentang dosa dan kesalahan pribadi, bukan memahami konsep Tuhan sebagai Pencipta. Pendapat Witgenstein ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh para filosof Aristitelian.
Pandangan beberapa tokoh postmodernisme dalam memahami agama menimbulkan konsekuensi-konsekuensi. Agama tidak lagi menjadi konsep yang abstrak, melainkan sesuatu yang membumi dan terlihat secara antropologis. Menurut Witgenstein religiusitas bukan sifat yang diambil dari kegiatan ritual keagamaan yang biasanya ditandai oleh banyaknya doa, tapi ditandai oleh kegiatan sosial, hal ini dapat kita lihat dari kritiknya terhadap kekristenan:
But remember that Christianity is not a matter saying a lot of prayers; in fact we are told not to do that. If you and I are to live religious lives, it mustn’t be that we talk a lot about religion, but that our manner of life is different. It is my belief that only if you try to be helpful to other people will you in the end of your way to God.
Konsep keberagamaan Witgenstein dalam hal ini sependapat dengan pengertian Nietzsche tentang agama. Jika Witgenstein menganggap keberagamaan merujuk kepada kegiatan sosial dan bukan ritual, Nietzsche menyatakan bahwa agama tidak semestinya berdasarkan pada keimanan, dogma atau kepercayaan pada Tuhan yang personal. Akan tetapi dalam hal ini terlihat kabur dan tidak jelas apa yang menjadi asas dasarnya dan titik etikanya. Mereka melepaskan diri dari kungkungan dogma agama yang jauh dari jangkauan sosial, tapi tidak memperlihatkan asas dasar yang dapat memperjelas etika dan moralitas sosialnya.
Sebagaimana pendapat Huston Smith, bahwa dalam pemikiran postmodern tidak ada kebenaran dalam realitas, bahkan para postmodernis ragu apakah kebenaran itu mempunyai makna. Kebenaran dalam pemikiran postmodern terlihat problematik yang masih memerlukan suatu evaluasi dan perubahan sebab asa dasar kebenaran. Artinya, postmodernisme membangun suatu “teologi” berdasarkan pada asasnya sendiri, meskipun tidak disebut teologi. Dalam “teologi” ini Tuhan dimasukkan kedalam sistem penjelasan rasional yang tertutup (closed system of rational explanation), seperti yang terdapat dalam pemikiran modern. Karena akal manusia tidak dapat memahami hakekat Tuhan, pikiran postmodern merobohkan jalan berfikir matafisis. Akibatnya, postmodernis memahami agama dengan cara yang sangat berbeda dari kepercayaan yang dianut para kaum agamawan tradisional. Dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi agama, bahwa agama harus memasuki ranah kemanusiannya yang tidak hanya berkutik pada persoalan absolut yang abstrak.
Perubahan konsep agama juga disoroti oleh Alfred North Whitehead, dalam Science and Modern Word, sebagaimana ia mengatakan;
“Suatu agama merupakan agama yang kuat kalau dalam ritualnya dan dalam cara berpikirnya memberikan suatu visi yang menggerakan hati. Kebaktian kepada Tuhan bukan jalan untuk mencari rasa aman, melainkan suatu petualangan roh, suatu usaha untuk menggapai yang tak tergapai. Kematian suatu agama datang bersamaan dengan terjadinya represi terhadap harapan tinggi akan suatu petualangan”.
Katakanlah Whitehead sebagai seorang penyelamat agama dari kekejaman era modern. Ia mengembalikan agama pada yang semestinya, yaitu mencoba membangunkan agama yang tertidur lelap, merombak konsep-konsep agama yang semakin jauh dari detak jantung hati manusia dan membangun konsep agama yang sudah semestinya sebagaimana harapan postmodernisme. Lebih lanjut, Whitehead mengatakan, dalam Religion in the Making, bahwa;
“Sifat khas kebenaran agama-agama adalah bahwa kebenaran tersebut secara eksplisit berkaitan dengan nilai-nilai. Kebenaran itu menyadarkan kita akan aspek yang tetap dari alam semesta yang dapat kita pandang bernilai. Oleh kerenanya kebenaran tersebut memberi suatu makna, dalam arti nilai, pada eksistensi kita, suatu makna yang mengalir dari hakikat kenyataan sendiri”.
Agama ketika dihadapkan dengan modern-postmodern seakan tak dapat bernafa. Klaim-klaim yang begitu abstrak mengakibatkan banyak celaan di bawah tekanan masyarakat sains. Dan tak dapat disangkal pula, konflik intern yang mencuat akibat religi memasuki wilayah praksis politis, mengakibatkan ‘sejarah-darah’ yang berbicara. Menurut Alfred North Whitehead, agama-agama telah kehilangan genggaman pengaruhnya atas dunia. Baginya, kemerosotan itu disebabkan pertama, stagnasi atau kemandegan yang menimpa kehidupan beragama. Kemandegan ini terungkap dari sikap konservatisme dan sikap defensif kaum agamawan dalam menghadapi perubahan-perubahan masyarakat yang diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi. Kendati kaidah-kaidah dasar agama itu bersifat abadi, ungkapannya dalam perjalanan sejarah memerlukan perubahan dan penyesuaian. Bagi Whitehead, agama-agama melakukan bunuh diri kalau mendasarkan inspirasinya terutama pada dogma mereka. Karena masalah-masalah yang nyata dalam praksis hanya dapat dikaji dari pengalaman-pengalaman hidup yang konkret, maka pokok kehidupan beragama terletak dalam sejarah.



DAFTAR PUSTAKA


Berlin, Isaiah, Karl Marx: His Life and Environment. New York: Oxford University Press, 1948.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi: klasik dan modern I. Terjemahkan Robert M.Z Lawang. Jakarta: Gramedia, 1994.
Suseno, Franz Magnis, “editor: Prof. Dr. John Raines” Marx Tentang Agama.

Friedrich Nietzsche

Friedrich Nietzsche di Basel, 1875.
Friedrich Wilhelm Nietzsche (lahir di Röcken dekat Lützen, 15 Oktober 1844 – meninggal di Weimar, 25 Agustus 1900 pada umur 55 tahun) adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno.
Nietzsche dilahirkan di kota Röcken, di wilayah Sachsen. Orang tuanya adalah pendeta Lutheran Carl Ludwig Nietzsche (1813-1849) dan istrinya Franziska, nama lajang Oehler (1826-1897). Ia diberi nama untuk menghormati kaisar Prusia Friedrich Wilhelm IV yang memiliki tanggal lahir yang sama. Adik perempuannya Elisabeth dilahirkan pada 1846. Setelah kematian ayahnya pada 1849 dan adik laki-lakinya Ludwig Joseph (1848-1850) keluarga ini pindah ke Naumburg dekat Saale.

 

Filosofi

Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also sprach Zarathustra). Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zaman-nya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan). Walaupun demikian dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk menaklukan nihilisme [1] (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai manusia purna Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).
Selain itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman (Künstlerphilosoph) dan banyak mengilhami pelukis modern Eropa di awal abad ke-20, seperti Franz Marc, Francis Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti Robert Musil, dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan seni adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk me-transformasi-kan tragedi hidup.

Filsafat Friedrich Nietzsche dan National Socialism

Filsafat Friedrich Nietzche yang berkembang selama abad kesembilan belas, menjadi lebih populer lagi pada abad kedua puluh dan tentu menjadi sangat berpengaruh. Terkait dengan karyanya, entah berapa jumlahnya yang diinterpretasikan secara berbeda-beda soalnya Nietzsche tidak pernah secara khusus menguraikan filsafatnya dengan tepat dan ia pun menulis dalam gaya yang sangat menggugah! Banyak dari aspek gayanya berfilsafat membuat dia terasing dari pendirian filosofis dirinya sendiri selama hidupnya. Dia mengkritik berbagai moral terkemuka pada zaman dia hidup termasuk Kristen, ia inginkan sebuah evaluasi ulang berbagai nilai dan adat istiadat Yahudi-Kristen dunia.
Konsep moralitas tentang tuan-budak menempati pokok utama dalam pemikiran dan filsafatnya. Dia menyatakan bahwa:
  • Moralitas tuan adalah sistem yang asli di mana nilai moral timbul sebagai sebuah perjuangan antara baik dan buruk (kekayaan, kesehatan, kekuatan dan kekuasaan) dilawankan dengan (miskin, lemah, sakit dan menyedihkan).
  • Namun pada moralitas budak nilai ini digantikan dengan sebuah perjuangan antara jahat dan baik – (kejam, egois, ramah) dilawankan dengan (amal, kesalehan, menahan diri dan kelemahlembutan).
Dengan demikian mengembangkan suatu tipuan oleh para budak dan lemah dari Roma kuno, terutama diturunkan dari orang Yahudi dan Kristen, untuk membalikkan nilai-nilai tuan-tuan mereka dan mengambil alih kekuasaan untuk diri mereka sendiri. Nietzsche memandang moralitas sebagai budak merupakan wabah yang telah mengalahkan Eropa dan menghambat orang dalam memperoleh kekuasaan dan vitalitas atas dunia.
Memang benar Nazi dipengaruhi oleh filsafat Nietzsche tetapi mereka sangat selektif. Filsafat Nietzsche yang diasosiasikan dengan National Socialism berdampak negatif pada reputasinya pada masa setelah Perang Dunia II, tetapi di lain pihak banyak gagasan dari Nietzsche yang memiliki pengaruh besar pada banyak filsuf Eropa terkemuka termasuk Foucault, Derrida, Heidegger, Camus dan Sartre.







Jalannya Orang yang ingin Berhasil Dalam Menuntut Ilmu Tarekat Dan Tasawuf

Harus bersikap dan berperilaku sebagai berikut:
1.Niat karena Allah dan Rasulullah SAW,syaratnya bersemangat ,bersyareat,riadloh(tirakat),berdoa dan iktiqat
2.Melaksanakan sholat lima waktu dan jumat,melaksanakan sholat sunnat yang sembilan (a)rawatib, (b)tahajud,(c)tasbih (d)dluha (e)khajat (f)fajar (g)istikharah (h)syukur wudhu (i) dua hari raya
3.Ta'zim hormat dan taat kepada kedua orang tua nya,dan kepada orang sebayanya
4.Ta'zim ,hormat dan taat kepada kiyai/guru dan kepada kiyai lain-lainnya berikut ahlinya
5.Aktif membaca Al Quran .sholawat dan salam ,tasbih,tahlil,tahmid,istighfar,dan wirid-wirid tertentu
6.Tekun membaca Pelajaran,mengulang_ngulang ,jangan gengsian dan juga jangan bosenan(Pemalas)
7.Mengurangi tidur ,makan,minum,hiasan,kemewahan dan keluyuran
8.Menjauhi pacaran ,hiburan,bercanda,sulingan,samongan dan permainan
9.Pakaian harus syah dan halal lagi bersih walaupun bertambal -tambal
10.Makanan dan minuman harus syah dan halal walaupun hanya satu segukan
11.Selalu menutup aurat ,menggantungkannya wudlu,dan jangan tinggalkan siwak kecuali waktu mendatangi hajat atau daurat
12.Setia dan patuh kepada guru/kiyai jangan semanunya sendiri
13.Tabah ,tekun,bertahan,menerima keadaan,sabar,syukur dan berakhlak yang mulia lagi bermurah hati.
14.Jangan sombong,riya,sok pinter,sok suci,melamun dan berbantahan(berdebat),putus asa,marah dan lagi masih harus wira'i
15.Jangan berhianat ,nyacat(selalu menyalahkan orang lain),mengundat-ngundat dan jangan memuji guru/kiyai
16.Jangan mengikuti perbuatan dan pergaulan kiyai/guru ,tetapi perhatikan dan ikutilah ajaran kiyai /guru kecuali mendapat izin(sudah mampu)
17.Kalau ada dan punya harta benda jangan berkeberatan untuk berjuang karena ALLAH ,masih harus beramal shaleh ikhtiar,iman,islam,ikhsan dan ikhlas

Dikutip dari buku
Ki.Imam Mahali ,MA .Risalah Abi kamim Manazi Wal Islam Fi Indunisiyyi wat Thoriq ila Taukhidi.

Kamis, 26 Mei 2011

Juru Selamat dan Mithra

Mithra adalah juru selamat ummat manusia .Begitu juga Tamuz,Adonis dan Oziris.Anggapan bahwa Yesus itu adalah Juru-selamat,bukannya merupakan idea Yahudi,dan tidak pernah pernah menjadi kepercayaab orang-orang Kristen yang pertama di Palestina .Al-Masih yang di harap-harapkan datang oleh orang-orang Kristen pertama ,bukanya Anak ALLAH ,akan tetapi seorang utusan dari Tuhan ,bukannya seorang yang menyelamatkan dengan Pengorbanan darah akan tetapi seorang yang menyelamatkan dengan jalan memerintah dunia dalam kerajaan keagamaan.
"Orang-orang Kristen pertama tidak memikirkan  keselamatan yang menyampaikan mereka ke Surga ,akan tetapi keselamatan yang membawa orde baru di dunia ini .Keyakinan ini berlangsung terus,walaupun mereka itu percaya kepada keabadian hidup sesudah mati.
"Ketika agama Kristen tersiar di daerah-daerah kafir ,timbullah gambaran ,bahwa Yesus itu Tuhan-Juru-Selamat.Idea tersebut di sesuaiakan dengan kepercayaan yang telah ada ,khususnya mengenai Mithra.
"Hari lahir Mithra adalah tanggal 25 Desember .Hari itulah yang oleh orang-orang Kristen baru di jadikan hari lahir Yesus -Sabbath ,hari sabtu yang di sebutkan oleh Taurat sebagai hari istirahat sesudah nekerja enam hari menciptakan alam ,telah di abadikan oleh orang-orang KRISTEN baru dan di gantikan dengan hari ahad ,hari pertama dalam agama Mithra ,hari Matahari(Sunday).
"Didaerah-daerah sekitar Lautan Tengah sewaktu tersianya agama Kristen ,di mana-mana orang percaya kepada Ibu yang masih Perawan,dan anaknya lelaki yang menderita dan akan mati.Pada hakikatnya yang di namakan dengan ibu yang masih perawan adalah bumi ,yang di anggap Dewi (Dewa Perempuan)yang menjadi perawan tiap-tiap musim semi ,Anaknya lelaki adalah buah-buahan yang tumbuh dari dalam tanah ,di lahirkan hanya untuk mati,untuk di tanam lagi di bumi,sebagai biji-biji yang akan memperbarui giliran(cycle).
"Ini adalah mythos tumbuh-tumbuhan yang dari padanya di ciptakan drama:Tuhan-Juru-Selamat(Savior -God) dan ibu yang menderita (Mater Dolorasa),nanti di bawah akan kami uraikan lebih panjang.
"Giliran musim di atas bumi mempunyai bandingan yaitu giliran di langit .Di langit ada Dewi Perawan,yaitu kumpulan bintang yang di namakan Virgo yang nampak dari langit sebelah Timur ,ketika Sirus,bintang dari Timur menjadi alamat lahirnya Matahari.Garis cakrawala yang melalui kumpulan bintang Virgo, di anggap sebagai menggambarkan bahwa Anak -Gadis itu hamil dari pada Matahari.
"Mythos bumi di campurkan dengan mythos dari langit dan di tambah dengan dongengan pahlwan-pahlawan kuno yang mungkin benar dan mungkin legendair dan akhirnya terciptalah mythos Penebus Dosa(Redeemer).
"Gua yang kemudian di anggap tempat lahir Yesus ,adalah gua tempat lahir Horus yang kemudian menjadi Osiris,dan mati untuk keselamatan pengikut-pengikutnya .Isis adalah Ibu yang menderita (Mater Dolorasa).Pada zaman dahulu banyak sekali upacara untuk menyelamatkan dewa,sebagai yang di terangkan oleh Sir James Frazer dalam bukunya "Golden Boughdan oleh Prof Gilbert Murray dalam bukunya "Five stages of Greek Religion".
"Dalam upacara itu terdapat upacara-upacara yang kemudian di katakan upacara agama Kristen .Eucharist(Santapan Kudus) adalah upacara agama Mithra yang di pinjamdan di hubungkan dengan santapan suci agama Kristen .Tidak hanya sacrament ,tetapi konsep seperti Darah Anak Kambing ,atau Taurus sapi jantan juga di ambil dari Mithra -isme.Dan bukan saja konsep upacara,tetapi idea moral juga di ambil dari agama-agama yang kemudian masuk dalam agama Kristen.Di samping itu ada pula ajaran -ajaran moral falsafah Stoic.
"Pengambilan agama Kristen dari pada agama Kafir (pagan)adalah terlalu banyak ,sehingga kalau tak ada bibit sekelompok manusia Yahudi-Kristen ,hanya sedikit ajaran-ajaran Kristen yang di bawa oleh orang-orang Kristen dari asal mulanya ,yakini orang-orang Kristen Palestina.
Setelah masa permulaan agama Kristen,Yesus jarang sekali di sebut Guru.Al Masih di namakan Juru Selamat dan TUHAN  orang Kristen.sesungguhnya tak ada perbedaan,apakah Yesus ataukah Tuhan atau Mithra yang menjadi Tuhan dalam ajaran penebus sacrament dan upacara-upacara gereja yang mengatakan bahwa Kristus adalah Tuhan Juru Selamat,yaitu yang telah di resmikan dalam majelis Nicea pada tahun 325 AD dengan terbanyak"
"Akan menjadi terang nanti,bahwa apa yang para sarjana tahu dan apa yang orang wam tidak tahu,ialah kalau tidak ada Yesus dan sahabat-sahabatnya ,bagaimanakah bentuknya agama Kristen?Hal yang penting yang tidak terdapat dalam agama Kristen ialah gambaran Al Masih sebagai Guru,Akan tetapi hal ini tidak di anggap penting lagi oleh agama Kristen setelah bercampur dengan agama Kafir.Pada abad ke III ,gambaran Yesus sebagai Guru telah hilang.Gambaran itu baru kembali pada zaman Enlightenment dan Reformasi Protestant ,khususnya ketika mesin cetak sudah di ciptakan orang,sehingga kitab Injil dapat di baca orang .Kitab Injil di pandang sangat berbahaya jika di baca oleh orang awam(bukan pendeta)karena akan mengakibatkan murtad.
"Gereja Kristen hanya mementingkan Al Masih sebagai kepercayaan (Anak Tuhan)dan mementingkan sacrament serta Tuhan Juru Selamat dan gereja Kristen tidak mengenal Yesus,Nabi dari Galilee di Palestina..."

Rabu, 25 Mei 2011

RELASI NEGARA DAN AGAMA

Nampaknya saat ini bangsa Indonesia semakin lupa bahwa bumi ini semakin tua, dan tak dapat dipungkiri bahwa bumi tempat hunian umat manusia adalah hanya satu. Namun telah menjadi sunnatullah, bahwa para penghuninya terdiri dari berbagai etnis, suku, ras, bahasa, profesi, kultur dan agama. Dengan demikian kemajemukan adalah suatu keniscayaan dan merupakan suatu fenomena yang tidak bisa dihindari. Keragaman terdapat di pelbagai ruang kehidupan, termasuk dalam kehidupan beragama. Pluralitas tidak hanya terjadi dalam suatu kelompok atau masyarakat, bahkan terjadi pada lingkup negara (Ghazali, 2009). Manusia adalah sebagai makhluk homo socious tetapi juga sebagai makhluk homo religious, manusia selain sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, juga sebagai maklhuk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa manusia tidak dapat mengelak dari sifat kodratnya sebagai warga masyarakat, bangsa dan negara. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara manusia menghadapi dua hak dan wajib, yaitu sebagai makhluk Tuhan diberikan berbagai kenikmatan dan hak, dan sebagai warga masyarakat negara memiliki hak namun juga harus memenuhi wajibya bagi orang lain. Hidup dalam suatu masyarakat negara itu tidaklah sendirian melainkan senantiasa bersama orang lain, kadang kesadaran yang demikian ini justru sulit dipahami oleh manusia modern dewasa ini.      
Di era globalisasi dewasa ini telah banyak diramalkan oleh para cendekiawan dunia bahwa keberlangsungan dan eksistensi negara kebangsaan akan mendapat tantangan yang serius, sehingga jikalau segenap elemen kebangsaan tidak memberikan perhatian terhadap masalah tersebut, maka tidak menutup kemungkinan negara kebangsaan tersebut akan mengalami krisis kebangsaan atau bahkan dapat mengalami keruntuhan. Bangsa Indonesia yang hampir mencapai enam puluh empat tahun merdeka ini persoalan kenegaraan dan kebangsaan bukannya menatap kedepan mengatasi persoalan kesejahteraan dalam hidup bersama, malainkan terdistorsi ke kancah persoalan kebangsaan yang seharusnya sudah kita hayati bersama. Sebagai contoh adalah persoalan kehidupan keagamaan di negara Indonesia yang pluralis ini yang bersendi ke-Tuhanan Yang Maha Esa, akhir-akhir ini dalam kenyataannya semakin menunjukkan kekurang dewasaan sebagian masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya kasus Ambon, kasus Poso, kasus Sampit, kasus Achmadiyah, kasus Monas, dan kasus lainnya. Derivasi nilai ketuhanan dalam kehidupan kebangsaan dewasa ini semakin menunjukkan kerancuan derivatif, artinya penjabaran secara ‘das sein’ di dalam masyarakat secara objektif menimbulkan kesimpangsiuran, dan nampak dalam derivasi normatif yuridis belum menunjukkan esensi negara yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pada kancah politik misalnya sering disebut secara dikotomis dalam kehidupan politik kita disebutkan adanya partai sekuler yang berabsis nasionalis dan partai agama yang berbasis agama (Islam). Dalam kenyataannya partai nasionalis adalah religius, dan partai yang berdasarkan agamapun juga nasionalis. 

Tantangan dalam proses globalisasi yang begitu cepat dan berpengaruh secara signifikan terhadap semua manusia di berbagai negara termasuk bangsa Indonesia. Ulrich Beck (1998) mengungkapkan bahwa globalisasi akan berpengaruh terhadap relasi-relasi antar negara dan bangsa di dunia, yang akan mengalami ‘deteritorialisasi’. Konsekuensinya kejadian-kejadian di berbagai belahan dunia ini akan berepengaruh secara cepat terhadap negara lain. Prinsip kebebasan dalam sistem negara demokrasi sekuler berpengaruh secara cepat terhadap negara lan di dunia, termasuk negara Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Kasus Yeland Fosten tentang karikatur Nabi Muhammad menimbulkan suatu benturan peradaban antara sistem kebebasan versi sekuler dan negara Berketuhanan Yang Maha Esa.

Sementara itu Anthony Giddens (2000) menamai proses globalisasi sebagai ‘the runaway world’. Menurutnya perubahan-perubahan di berbagai bidang terutama perubahan sosial di suatu negara akan berpengaruh secara cepat terhadap negara lain. Sementara itu Robertson (1990), mengingatkan bahwa globalisasi merupakan ‘compression of the world’ yaitu menciutnya dunia dan menurut Harvey sebagai proses menciutnya ruang dan waktu ‘time-space compression’, karena intensivikasi dan mobilitas manusia serta teknologi. Dalam kondisi seperti ini terjadilah pergeseran dalam kehidupan kebangsaan (Rosenau, 1990), yaitu pergeseran negara yang berpusat pada negara kebangsaan (state centric world) kepada dunia yang berpusat majemuk (multy centric world) (Hall, 1990), (Sastrapratedja, 1996). Kiranya sinyalemen yang layak kita perhatikan adalah pandangan Kenichi Ohmae (1995) bahwa globalisasi akan membawa kehancuran negara-negara kebangsaan. Pengaruh globalisasi yang sangat cepat ini sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia.

Bahkan A.M. Hendropriyono dalam karyanya Nation State di Masa Teror (2007), bahwa di era globalisasi ini negara-negara yang sedang mengembangkan proses demokratisasi akan mendapatkan tantangan yang sangat hebat, terutama ancaman terorisme yang menyalahgunakan kesucian agama. Nampaknya sinyalemen A.M. Hendropriyono ini diperkuat oleh pandangan Bahmueller bahwa dalam proses demokratisasi harus diperhatikan (1) the degree of economic development, (2) a sense of national identity, (3) historical experience and (4) element of civic culture. Jadi pengembangan demokrasi harus diperhatikan tentang bagaimana kondisi ekonomi dalam suatu negara, dasar filsafat negara sebagai suatu identitas nasional suatu bangsa, bagaimana proses sejarah terbentuknya bangsa itu beserta unsur-unsurnya (Winataputra, 2005).
Konstatasi yang layak diperhatikan adalah sinyalemen dari Naisbitt, bahwa di era globalisasi tersebut akan muncul suatu kondisi paradoks, di mana kondisi global diwarnai dengan sikap dan cara berpikir primordial, bahkan akan muncul suatu gerakan ‘Tribalisme’ yaitu suatu gerakan di era global yang berpangkal pada pandangan primordial yaitu fanatisme etnis, ras, suku, agama, maupun golongan (Naisbit, 1994). Bahkan Hantington dalam The Clash of Civilization menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan akan terjadinjya suatu benturan peradaban (Hantington, 1993), yang tidak menutup kemungikinan juga berakibat pada adanya konflik horizontal. Bahkan ditambahkan oleh A.M. Hendropriyono (2009), bahwa pada panggung politik dunia benturan peradaban itu mencapai klimaksnya antara dua peradaban besar yaitu fundamentalisme politik Islam dengan kekuasaan kapitalisme neoliberal dengan kekuasaan kerasnya (hard power) di bawah komando Amerika serikat. Kita sadari atau tidak bahwa isu global tentang radikalisme agama dalam negara akan berpengaruh terhadap negara Indonesia, terutama dalam hubungan negara dengan agama. Bahkan adakalanya persoalan itu ditarik dengan memutar jarum jam ke belakang, yaitu persoalan muncul kembali pada kemelut tarik-menarik antara Negara agama dan Negara sekuler, sebagaimana dibahas oleh para founding fathers kita dahulu. Pada hal kita lupa bahwa suatu kesepakatan filosofis dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan itu sangat penting bagi bangsa Indonesia.  

  Negara modern yang melakukan pembaharuan dalam menegakkan demokrasi niscaya mengembangkan prinsip konstitusionalisme. Menurut Friederich, negara modern yang melakukan proses pembaharuan demokrasi, prinsip konstitusionalisme adalah yang sangat efektif, terutama dalam rangka mengatur dan membatasi pemerintahan negara melalui undang-undang. Basis pokok adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat, mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara (Assiddiqie, 2005: 25). Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Dalam hubungan ini sekali lagi kata kuncinya adalah consensus atau general agreement.

Bagi bangsa Indonesia consensus itu terjadi tatkala disepakatinya Piagam Jakarta (Endang S. Anshori). Jika kesepakatan itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya akan terjadi suatu perang sipil (civil war), atau dapat juga suatu revolusi. Hal ini misalnya pernah terjadi pada tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi Perancis tahun 1789, di Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, (Andrews, 1968: 12), adapun di Indonesia terjadi pada tahun 1965 dan 1998 yaitu gerakan reformasi (Assiddiqie, 2005: 25).

Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme negara modern pada proses reformasi untuk mewujudkan demokrasi, pada umumnya bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu: (1) Kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama (the general goal of society or general acceptance of the same philosophy of government). (2) Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaaan negara (the basis of government). (3)Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). (Andrews, 1968:

  Kesepakatan pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya memungkinkan untuk mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup ditengah-tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, dalam kesepakatan untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai filsafat kenegaraan atau staatsidee (cita negara), yang berfungsi sebagai filosofischegrondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara (Assiddiqie, 2005: 26).

  Bagi bangsa dan negara Indonesia, dasar filsafat dalam kehidupan bersama itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai core philosophy negara Indonesia, sehingga konsekuensinya merupakan esensi staatsfundamentalnorm bagi reformasi konstitusionalisme. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam filsafat negara tersebut, sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan cita-cita negara, baik dalam arti tujuan prinsip konstitusionalisme sebagai suatu negara hukum formal, maupun empat cita-cita kenegaraan yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu: (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan (meningkatkan) kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kesepakatan kedua, adalah suatu kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan kedua ini juga bersifat dasariah, karena menyangkut dasar-dasar dalam kehidupan penyelenggaraan negara. Hal ini akan memberikan landasan bahwa dalam segala hal yang dilakukan dalam penyelengaraan negara, haruslah didasarkan pada prinsip rule of the game, yang ditentukan secara bersama. Istilah yang biasa digunakan untuk prinsip ini adalah the rule of law (Dicey, 1971). Dalam hubungan ini hukum dipandang sebagai suatu kesatuan yang sistematis, yang di puncaknya terdapat suatu pengertian mengenai hukum dasar, baik dalam arti naskah tertulis atau Undang-Undang Dasar, maupun tidak tertulis atau convensi. Dalam pengertian inilah maka dikenal istilah constitutional state yang merupakan salah satu ciri negara demokrasi modern (Muhtaj, 2005: 24).

Kesepakatan ketiga, adalah berkenaan dengan (1) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (2) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (3) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan itulah maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Oleh karena itu bagi negara Indonesia akhir-akhir ini muncul usulan untuk melakukan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang kelima, pada hal hasil amademen tersebut baru diimplementasikan kurang dari empat tahun.

  Jikalau kita kaji ulang proses reformasi dewasa ini bangsa Indonesia telah melakukan reformasi dalam bidang politik dan hukum, sebagai upaya untuk mewujudkan suatu negara demokrasi modern. Namun satu hal yang menjadi pertanyaan kita adalah prinsip yang merupakan basic philosophy bangsa dan negara Indonesia, tidak diletakkan sebagai basic philosophy dari proses reformasi. Bahkan ironisnya justru pada era reformasi ini eksistensi dasar filsafat negara Pancasila sebagai basic philosophy negara konstitusionalisme Indonesia, sengaja ditenggelamkan yang hanya diakui sebatas rumusan verbal dalam Pembukaan UUD 1945 saja. Misalnya sebagai contoh dirumuskannya reformasi pendidikan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, menunjukkan adanya kesengajaan untuk meletakkan Pancasila hanya sekedar sebagai peninggalan sejarah bangsa, tanpa melakukan aktualisasi dan derivasi dalam bidang keidupan kenegaraan dan kebangsaan.  

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menemukan suatu formulasi yang khas tentang hubungan negara dan agama, di tengah-tengah tipe negara yang ada di dunia, yaitu negara sekuler, negara ateis dan negara teokrasi. Para pendiri negara bangsa ini menyadari bahwa ‘kausa materialis’ negara Indonesia adalah pada bangsa Indonesia sendiri.  Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu adalah bangsa yang religius, yang mengakui adanya ‘Dhzat  Yang Maha Kuasa’, yaitu Tuhan, dan hal ini merupakan suatu dasar ontologis bahwa manusia sebagai warga negara adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Jikalau dilakukan analisis secara hermeneutis, maka proses perumusan dasar filsafat negara yang menemukan core values ’Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai basis nilai filosofis hubungan negara dan agama di Indonesia, merupakan suatu ‘local genius’ bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Kesepakatan tentang filosofi hubungan negara dengan agama tersebut merupakan suatu kesepakatan yang luhur, yang meletakkan landasan etis bagi kehdupan bangsa dan negara, sekaligus sebagai suatu pemikiran yang kreatif tentang bentuk hubungan negara dan agama di tengah-tengah paham sekuler dan teokrasi.

Roeslan Abdoelgani dalam sidang Konstituante menegaskan bahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan filsafat kenegaraan mengandung arti bahwa dalam suatu negara kedaulatan adalam berasal dari Tuhan. Dalam menjalankan kedaulatan Tuhan di dunia pada masa abad pertengahan Sri Paus dibantu oleh sistem kepadrian. Gereja Katolik dengan sistem kepadriannya merupakan suatu faktor progresif bagi timbulnya negara-negara yang lebih luas dan teratur. Dalam kesatuan-kesatuan negara baru itu, banyak raja dinobatkan oleh Gereja, sehingga dengan demikian memberikan kepada monarkhi-monarkhi tersebut suatu goddelijkheid, yaitu gereja memiliki kekuasaan-kekuasaan kontrol dan kemudian kekuasaan pelaksanaan yang pada mulanya bersifat supranational. Jadi mulailah timbul pemusatan kekuasaan keduniawian di dalam satu tangan, yaitu di bawah Gereja Romawi (Abdoelgani, dalam Kusuma, 2008).

Pada tahun 1517 Martin Luther dan John Calvin menempelkan 95 pernyataan bersejarah di pintu altar gereja, yang intinya menuntut kepada gereja untuk memisahkan kekuasaan gereja atas ranah keduniawian. Peristiwa bersejarah itulah yang dikenal dengan terjadinya suatu reformasi, yang kemudian menghasilkan suatu paham yang dikenal dengan ’sekulerisme’ (Schmandt, 2002: 231). Kemudian bermunculanlah paham sekulerisme yang pada awalnya memisahkan soal-soal keagamaan atau soal-soal keakheratan dengan kekuasaan kerajaan atau negara, sedangkan soal-soal keagamaan dan keakheratan dikembalikan kepad gereja (Abdoelgani, 2008: 41). Kemal A. Faruki dalam Islamic Constitution (1952), menjelang perdebatan konstitusi Pakistan, menjelaskan bahwa pengertian sekulerisme mengandung dua arti: (1) to be concerned with wordly problems, yaitu menyangkut soal-soal keduniawian, dan (2) to separate spiritual from temporal affairs, with temporal superior, yaitu memisahkan soal-soal spiritual dari keduniawian dan bahkan mendahulukan keduniawian.

Berdasarkan konstatasi tersebut maka pemikiran filosofis tentang hubungan negara dengan agama yang tertuang dalam dasar filsafat negara Pancasila, yang sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah merupakan pemikiran inovatif para pendiri bangsa ini. Dalam hubungan ini pendiri Republik ini mampu meletakkan konteks hubungan negara dan agama di tengah-tengah model negara sekuler, teokrasi dan ateis, berdasarkan local wisdom bangsa Indonesia sebagai kausa materialis. Pemikiran pertama, menyatakan bahwa antara agama dan negara tidak harus dipisahkan, karena Islam sebagai agama yang integral dan komprehensif mengatur baik kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrawi. Menurut pandangan ini, tidak ada aspek dari aktivitas keseharian umat Islam termasuk dalam pengelolaan negara dapat dipisahkan dari agama. Oleh karena itu, konstitusi negara secara resmi harus didasarkan pada syariat Islam. Teori ini antara lain dikemukakan oleh antara lain Abdul A’la Maududi  (1903-1979) (Khurshid, 1990), Sayyid Quth (1906-1966) dan para ideolog lain dari Ikhwan al-Muslimin. Baik Jamaat-Islami maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan fundamentalis. Saudi Arabia, Iran dan Pakistan dapat dilihat sebagai contoh dari negara Islam dalam tipe ini. Mereka mengembangkan ideologi bahwa kesatuan negara dan agama dimanifestasikan dalam qhitoh politiknya bahwa Islam adalah ‘al-din wa al-daulah’ (agama dan negara).

Pemikiran kedua, negara dan agama harus dipisahkan, dan dalam hal ini agama terbatas pada urusan-urusan pribadi. Dalam hubungan negara harus tidak ada campur tangan agama dalam urusan-urusan politik. Konstitusi negara tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai-nilai sekuler. Contoh dari teori ini adalah pada negara Turki Modern di bawah Kemal Attaturk (Berkes, 1964).

Pemikiran ketiga, menghendaki pemisahan resmi antara negara dan agama, sehingga negara tidak didasarkan atas Islam namun negara tetap memberikan perhatian terhadap atau mengurusi persoalan-persoalan agama. Dengan kata lain, negara terlibat dalam masalah-masalah agama yang ada dalam wilayahnya. Ketiga kemungkinan hubungan agama dengan negara tersebut nampaknya dapat memberikan gambaran atas pilihan-pilihan yang dapat menentukan semua karakteristik struktur sosial dan politik dari negara Muslim dan bagaimana negara harus dijalankan dalam menghadapi tuntutan dan tantangan modernitas. Dalam hubungan ini Ali Abdul al-Raziq (1888-1966), menegaskan bahwa khalifah pada hakikatnya bukan rezim agama, namun rezim keduniaan tanpa landasan agama. Raziq berpendapat bahwa meskipun mempunyai klaim terhadap kekuasaan, para khalifah tidak mungkin menggantikan Nabi, karena menurutnya, Nabi tidak pernah menjadi seorang raja dan tidak pernah berupaya membangun pemerintahan atau negara. Beliau adalah sebagai utusan Tuhan dan tidak pernah menjadi pemimpin politik (Imarah, 1988). Menurut Raziq bahwa Islam tidak menentukan suatu rezim tertentu dan tidak memaksakan umat Islam untuk mengikuti sistem tertentu dari pemerintahan yang ada, tetapi Islam memberikan kebebasan penuh untuk mengatur negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi di mana kita berada dengan mempertimbangkan pembangunan sosial kita dan kebutuhan zaman (Imarah, 1988). 

Nampaknya formulasi hubungan negara dengan agama Islam dalam proses pendirian negara Indonesia memang tidak secara historis dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran teori-teori tersebut. Dalam perkembangan berikutnya ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945, yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, atas nama selu-ruh bangsa Indonesia, kemudian PPKI (Panitia Persiapan Kemrdekaan Indone-sia) yang diketuai oleh Soekarno dan Hatta sebagai wakil ketuanya memulai tugas-tugasnya. Menjelang pembukaan sidang resmi pertamanya pada tanggal 18 Agustus 1945, Hatta mengusulkan pengubahan rancangan Pembukaan UUD dan isinya, dan hal ini dilakukan oleh karena menerima keberatan dari kalangan rakyat Indonesia timur, tentang rumusan kalimat dalam Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya”. Pada pertemuan bersejarah tersebut, kemudian disetujui dengan melaui suatu kesepakatan yang luhur menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.

B. Negara dan Agama

Pendiri negara Indonesia nampaknya menentukan pilihan yang khas dan inovatif tentang bentuk negara dalam hubungannya dengan agama. Dengan melalui pembahasan yang sangat serius disertai dengan komitmen moral yang sangat tinggi sampailah pada suatu pilihan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Mengingat kekhasan unsur-unsur rakyat dan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam etnis, suku, ras agama nampaknya Founding Fathers kita sulit untuk menentukan begitu saja bentuk negara sebagaimana yang ada di dunia.

Negara demokrasi model barat lazimnya bersifat sekuler, dan hal ini tidak dikehendaki oleh segenap elemen bangsa Indonesia. Negara komunis lazimnya bersifat atheis, yang menolak agama dalam suatu negara, sedangkan negara agama akan memiliki konsekuensi kelompok agama tertentu akan menguasai negara dan di Indonesia dalam hal ini Islam. Oleh karena itu negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan pilihan kreatif dan merupakan suatu proses eklektis inkorporatif. Artinya pilihan negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah khas dan nampaknya yang sesuai dengan kondisi objektif bangsa Indonesia. Agus Salim menyatakan bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa adalah merupakan pokok atau dasar dari seluruh sila-sila lainnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pedoman dasar bagi kehidupan kenegaraan yang terdiri atas berbagai elemen bangsa  (Salim, 1997). Berdasarkan pandangan Agus Salim tersebut prinsip dasar kehidupan bersama berbagai pemeluk agama dalam suatu negara Republik Indonesia. Dalam kehidupan bersama ini negara maupun semua paham dan aliran agama tidak dibenarkan masuk pada ruang pribadi akidah masing-masing orang.

Demikian pula bilamana kita perhatikan pendapat Mohammad Roem sebagai tokoh Masyumi, sebagai berikut :
Kepercayaan manusia tentang Tuhan Yang Maha Esa, tentang penciptaan bukan bidang untuk campur tangan bagi yang berkuasa, baikpun ia badan eksekutif, maupun ia badan legislatif. Negara yang pada akhirnya dijelmakan oleh orang-orang yang berkuasa, tidak mencampuri penghidupan bathin rakyat sampai sedalam-dalamnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (Roem, 1977: 115).
Kata sepakat tentang dasar negara mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti bahwa masing-masing percaya kepada Tuhan menurut agamanya sendiri-sendiri, dengan kesadaran bahwa bersama kita dapat mendirikan negara yang kuat sentausa karena esensi dari agama, ialah hidup berbakti, menjunjung keadilan, cinta dan kasih sayang terhadap sesama makhluk (Roem, 1977: 116). 

Berdasarkan pernyataan para tokoh agama dan negara Indonesia, maka sebenarnya Ketuhanan Yang Maha Esa, sama sekali bukan merupakan suatu prinsip yang memasuki ruang akidah umat beragama melainkan suatu prinsip hidup bersama dalam suatu negara, dari berbagai lapisan masyarakat yang memiliki keyakinan agama yang berbeda-beda. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan manusia yang bermartabat dan berkeadaban.

Oleh karena itu dalam negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, kehidupan agama tidak dipisahkan sama sekali melainkan justru agama mendapatkan legitimasi filosofis, yuridis dan politis dalam negara, hal ini sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Secara filosofis Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung dalam sila pertama Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sehingga sila pertama tersebut sebagai dasar filosofis bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dalam hal hubungan negara dengan agama.  Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia bukan mengatur ruang akidah umat beragama melainkan mengatur ruang publik warga negara dalam hubungan antar manusia. Sebagai contoh berbagai produk peraturan perundangan dalam hukum positif Islam, misalnya UU RI No. 41 tentang  Wakaf, UU RI No. 38 tentang Pengelolaan Zakat, ini mengatur tentang  wakaf dan zakat pada domein kemasyarakatan dan kenegaraan. 

Dalam toleransi kehidupan antar umat beragama di negara Indonesia dijamin dalam konstitusi negara, yaitu kebebasan beragama dijamin dalam UUD 1945 hasil amandemen pasal 28 E, Ayat (1), ”Setiap orang bebas meeluk agama,dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengejaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara, dan meninggalkannya dan berhak kembali”; Ayat (2) ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakinikepercayaannya, menyatakan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Dan Pasal 29 Ayat (2), ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Toleransi dalam kehidupan umat beragama di negeri ini, nampaknya pandangan para tokoh pendiri Republik ini senada dengan Piagam Madinah pasal 25 dan pasal 37, bahwa umat muslim hidup secara damai dengan umat agama lainnya dan menciptakan perdamaian (mu’ahad) (Rachman, 2000).


Secara filosofis relasi ideal antara negara dengan agama, prinsip dasar negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga negara bebas berkeyakinan atau memeluk agama sesua dengan keyakinan dan kepercayaannya. Kebebasan dalam pengertian ini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada domain privat atau pada tingkat individu. Dapat juga dikatakan bahwa agama perupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara dalam hubungan ini cukup menjamin secara yuridis dan memfasilitasi agar warga negara dapat menjalakan agama dan beribadah dengan rasa aman, tenteram dan damai. Akan tetapi bagaimanapun juga manusia membentuk negara tetap harus ada regulasi negara khususnya dalam kehidupan beragama. Regulasi tersebut diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara. Regulasi tersebut berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order), etik dan moral masyarakat (moral public), kesehatan masyarakat (public healt) dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental right and freedom orders) (Shofan, 2008).  Regulasi yang dilakukan oleh negara terhadap kebebasan warga negara dalam memeluk agama, nampaknya masih memerlukan pengembangan lebih lanjut. Misalnya dalam KUHAP, hanya dimuat dalam beberapa pasal saja misalnya Pasal 156 yang mengatur tentang kebencian dan penghinaan pada suatu agama, Pasal 156a tentang penodaan agama, Pasal 175 merintangi dengan kekerasan upacara keagamaan, Pasal 176 tentang mengganggu pertemuan keagamaan.     

Secara yuridis Ketuhanan Yang Maha Esa tercantum dalam sila pertama dan terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam ilmu hukum kedudukan Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terkandung nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia. Dalam pengertian ini Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip konstitutif maupun regulatif bagi tertib hukum Indonesia, sehingga merupakan suatu pangkal tolak derivasi bagi tertib hukum Indonesia serta hukum positif yang berada di bawahnya.

Dalam suatu pelaksanaan kenegaraan suatu piranti yang harus dipenuhi demi tercapainya hak dan kewajiban warga negara, maupun negara adalah perangkat hukum sebagai hasil derivasi dari dasar filsafat negara Pancasila. Dalam hubungan ini agar hukum dapat berfungsi dengan baik sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, maka hukum seharusnya senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan dan dinamika aspirasi masyarakat. Oleh karena itu hukum harus senantiasa diperbaharui, agar hukum bersifat aktual dinamis sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat. Dalam hubungan ini Pancasila merupakan suatu sumber nilai bagi pembaharuan hukum yaitu sebagai suatu “cita-cita hukum”, yang berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia. Sebagai suatu cita-cita hukum Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi konstitutif Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi regulatif-nya Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang adil atau tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum Indonesia termasuk Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945  (Mahfud, 1999: 59).

Dalam filsafat hukum suatu sumber hukum meliputi dua macam pengertian, yaitu (1) sumber formal hukum, yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum yang mengikat terhadap komunitasnya, dan (2) sumber material hukum, yaitu sumber hukum yang menentukan materi atau isi suatu norma hukum. Sumber material hukum ini dapat berupa nilai-nilai misalnya nilai kemanusiaan, nilai ketuhanan, nilai keadilan dan dapat pula berupa fakta yaitu realitas perkembangan masyarakat, dinamika aspirasi masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya (Darmodiharjo, 1996: 206). Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum moral, nilai hukum kodrat, dan nilai hukum Tuhan merupakan suatu sumber hukum material bagi hukum positif Indonesia. Dengan demikian Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tersusun secara hierarkhis. Dalam susunan yang hierarkhis ini Pancasila menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi di antara berbagai peraturan perundang-undangan secara vertikal maupun horisontal. Hal ini mengandung suatu konsekuensi jikalau terjadi ketidakserasian atau pertentangan norma hukum yang satu dengan lainnya yang secara hierarkhis lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila sebagai sumbernya, maka hal ini berarti jika terjadi ketidak sesuaian maka hal ini berarti terjadi suatu inkonstitusionalitas (unconstitutionality) dan ketidaklegalan (illegality), dan oleh karenanya maka norma hukum yang lebih rendah itu batal demi hukum (Mahfud, 1999: 59).
Konsekuensinya dalam filsafat hukum nilai-nilai hukum Tuhan bersama-sama dengan nilai hukum kodrat, hukum etis dan filosofis merupakan sumber hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu seharusnya hukum di Indonesia memiliki sumber dasar moral yang berpangkal pada nilai-nilai Ketuhanan. Berdasarkan analisis filosofis tersebut, maka sebenarnya sudah tidak ada masalah lagi terhadap Pancasila sebagai dasar filsafat negara dalam kaitannya dengan kehidupan dan eksistensi agama di negara Indonesia yang tercinta ini. Pancasila bukanlah agama, karena Pancasila dirumuskan berdasarkan kausa materialis nilai-nilai agama, sehingga antara Pancasila dengan agama sebenarnya memiliki hubungan kausalitas.


Kesimpulan
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa di dunia nampaknya ditakdirkan memiliki karakteristik, baik dalam konteks geopolitiknya maupun struktur sosial budayanya, yang berbeda dengan bangsa lain di dunia ini. Oleh karena itu para founding fathers Republik ini memilih dan merumuskan suatu dasar filosofi, suatu kalimatun sawa yang secara objektif sesuai dengan realitas bangsa ini, yaitu suatu dasar filsafat bangsa dan negara Indonesia yang sila pertamanya berbunyi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, di tengah-tengah negara ateis, sekuler serta negara teokrasi. Perumusan dasar filosofi negara ini dalam suatu proses yang cukup panjang dalam sejarah. Negara Indonesia dengan dasar filosofi ’Ketuhanan Yang Maha Esa’ memiliki ciri khas jika dibandingkan dengan tipe negara ateis dan negara sekuler.  Oleh karena itu dalam negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, kehidupan agama tidak dipisahkan sama sekali melainkan justru agama mendapatkan legitimasi filosofis, yuridis dan politis dalam negara, hal ini sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Secara filosofis Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung dalam sila pertama Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sehingga sila pertama tersebut sebagai dasar filosofis bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dalam hal hubungan negara dengan agama.  Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia bukan mengatur ruang akidah umat beragama melainkan mengatur ruang publik warga negara dalam hubungan antar manusia. Sebagai contoh berbagai produk peraturan perundangan dalam hukum positif Islam, misalnya UU RI No. 41 tentang  Wakaf, UU RI No. 38 tentang Pengelolaan Zakat, ini mengatur tentang  wakaf dan zakat pada domein kemasyarakatan dan kenegaraan. 
Secara filosofis relasi ideal antara negara dengan agama, prinsip dasar negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga negara bebas berkeyakinan atau memeluk agama sesua dengan keyakinan dan kepercayaannya. Kebebasan dalam pengertian ini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada domain privat atau pada tingkat individu. Dapat juga dikatakan bahwa agama perupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara dalam hubungan ini cukup menjamin secara yuridis dan memfasilitasi agar warga negara dapat menjalakan agama dan beribadah dengan rasa aman, tenteram dan damai. Akan tetapi bagaimanapun juga manusia membentuk negara tetap harus ada regulasi negara khususnya dalam kehidupan beragama. Regulasi tersebut diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara. Regulasi tersebut berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order), etik dan moral masyarakat (moral public), kesehatan masyarakat (public healt) dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental right and freedom orders).  Regulasi yang dilakukan oleh negara terhadap kebebasan warga negara dalam memeluk agama, nampaknya masih memerlukan pengembangan lebih lanjut. Misalnya dalam KUHAP, hanya dimuat dalam beberapa pasal saja misalnya Pasal 156 yang mengatur tentang kebencian dan penghinaan pada suatu agama, Pasal 156a tentang penodaan agama, Pasal 175 merintangi dengan kekerasan upacara keagamaan, Pasal 176 tentang mengganggu pertemuan keagamaan. 

konflik kebudayaan

Pendahuluan
Menjelaskan hubungan yang terjalin di antar agama dan kebudayan dapat dilakukan dengan mengenal secara utuh esensi, tujuan dan peran agama dan kebudayaan dalam masyarakat.

Meski sebagian orang mengingkari adanya hubungan antara agama dan kebudayaan namun sejatinya pandangan ini tidak memiliki dasar dan pijakan. Adapun perkara bahwa sebagian unsur dari kebudayaan lantaran tidak sejalan dengan tujuan-tujuan transedental agama samawi yaitu sampainya manusia kepada kesempurnaan, bertolak belakang dengan agama atas alasan ini tidak diterima oleh agama, merupakan perkara yang jelas. Akan tetapi banyak unsur kebudayaan yang sejalan dengan program dan agenda agama. Dan adalah suatu hal yang wajar apabila mendapatkan sokongan agama. Dari sisi yang lain, banyak hal dari kebudayaan yang disuguhkan dalam tataran nilai-nilai yang dimunculkan dari agama.
Terkait pembahasan utama kita di sini tentang apakah terjalin hubungan antara agama dan kebudayaan atau tidak? Apabila terjalin hubungan eksistensial di antara keduanya? Apakah agama dan kebudayaan itu merupakan hal yang satu? Atau agama merupakan bagian dari kebudayaan setiap kaum dan bangsa. Atau agama itu sendiri adalah pencetak kebudayaan, dengan memperhatikan pelbagai definisi yang dibeberkan terkait dengan kebudayaan, masalah ini merupakan masalah yang dibahas tak henti-hentinya dan terdapat perbedaan pendapat di dalamnya.
Rumusan Masalah
1.Apakah kaitannya agama dengan budaya?
2.Pada posisi apa realitas pluralitas dapat terjalin? 

Agama
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi".[1]. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri , yaitu :
  • menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
  • menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama
. Arti Definisi / Pengertian Budaya Dan Kebudayaan
Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurutSoerjanto Poespowardojo 1993).
Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seniagama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.
Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

“Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.” (Hlm. 2-18 alinea I)
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.









Konflik dan Krisis Kebudayaan
Dalam puncak perkembangan kebudayaan dewasa ini, kebudayaan telah menjadi sistem jaringan kehidupan yang mengua­sai manusia, seakan-akan mempunyai daya hidup yang membuat manusia tidak berdaya, menghadapi dilema kebudayaan yang kom­pleks. Di satu pihak manusia ingin melepaskan din dari faring kebudayaan yang menjerafiya, dan pada sisi yang lain realitas ke­tidak berdayaan untuk menghadapinya, apalagi melepas dan meng­ubahnya, sebagaimana yang terjadi dalam pettumbuhan industri di qegara-negara sedang berkembang seperti kasus perusahaan tam­bang emas Freeport di Indonesia. Di satu sisi industri telah merusak lingkungan, menciptakan kesenjangan pendapatan yang makin tajam, tetapi pads sisi yang lain, kehidupan manusia sudalh amat tergantung kepadanya, tanpa industri tidak bisa dibayangkan bagaimana manusia dapat mengobati penyakit yang berkembang makin kompleks.
Dalam menghadapi kompleksitas perkembangan puncak kebudayaan, mulai muncul kebutuhan manusia terhadap spiritualitas baru yang dapat mencerahkan hatinya, menentramkan kegelisahan dan rasa keterasingan yang makin merisaukan. Spiritualitas baru itu tidak dapat diperoleh dari institusi agama yang telah terkooptasi oleh keempat pilar kekuatan penyangga industri, karena institusi agama itu telah berkembang menjadi alat legitimasi dari perluasan usaha dunia industri, terutama untuk meredam kegelisahan para karyawan dan mendorongnya untuk tetap mengabdi kepada perusa­haan industrinya.[1] Alquran 2:174 mengatakan :



Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah dari al-kitab dan mereka menjualnya dengan harga yang murah, mereka itu tidak memaknn ke dalam perut ntereka melainkan api, Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, dan tidak menyucikan mereka, dan hagi mereka azab yang pedih.
Sementara pada sisi lain, dalam masyarakat yang majemuk, selalu muncul adanya perbedaan-perbedaan yang kompleks, baik antara individu dengan individu yang lainnya, maupun antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya, baik dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun agama, dan dalam perkembangannya, perbedaan-perbe­daan itu seringkali berubah bentuk menj adi konflik, terutama ketika masing-masing individu atau kelompok masyarakat itu terlibat dalam perebutan kekuasaan dan kepentingan politik yang berten­tangan, dan karena bentuk-bentuk kompromi tidak dapat ditemukan untuk menyelesaikan pertentangan, maka konflik itu memicu lahir­nya bentuk tindakan yang destruktif, seperti kerusuhan, penjarahan dan bahkan pembunuhan.[2]
Sementara itu, konflik dalam kebudayaan, tidak selamanya dapatmencari dan menemukan bentuk-bentuk sintetik baru, untuk menci` takan kebudayan yang mencair dan rnengalir sesuai dengan desain dan rancangan kebudayaan yang dibuat, sehingga mengakibatan alirannya menjadi tak terkendali dan merusakkan tatanart kehidu an yang sudah ada. Datam tahap ini, sesungguhnya Ke­budaya itu sedang menghadapi suatu krisis, dan biasanya karena terjadiny krisis moral yang melanda berbagai aspek kehidupan manusia.

1. Agama dan Kebudayaan
Apakah agama itu kebudayaan? jawaban pertayaan ini telah menimbulkan adanya berbagai perdebatan, satu pihak menyatakan bahwa agama bukan kebudayaan, sementara pihak yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan. Keberatan orang yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama itu tidak datang dari manusia, tetapi datang dari Tuhan, dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak bisa disebut kebudayaan, seperti wahyu yang diturunkan Tuhan kepada manusia melalui utusan-Nya, yang menjadi sandaran fun­damental bagi agama.
Sementara itu, orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan, karena praktik agama tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Memang benar bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia, dan sepenuhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal kesanggupan pemikiran intelektual untuk memahaminya, maupun kesanggupan dirinya untuk menjalankannya daiam kehidupan, makaa dalam soal ini realisasi dan aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan, sehingga agama mau tidak mau menjadi soal kebudayaan.
Jika ditarik garis batas antara agama dan kebudayaan itu adalah garis batas Tuhan clan manusia, maka wilayah agama dan wilayah kebudayaan itu pada dasamya tidak statis, tetapi dinamis, karena Tuhan dan manusia berhubungan secara dialogis, di mana manusia menjadi khalifah (wakil) Nya di bumi. Pada tahapan ini, maka adakalanya antara agama dan kebudayaan menempati wilayahnya sendiri-sendiri, dan adakalanya pula keduanya berada dalam wilayah yang sama, yaitu wilayah kebudayaan agama, seperti dapat di gambarkan dalarn bagan sebagai berikut.



K         = Kebudayaan
A         = Agama
KA      = Kebudayaan
   Agama
Agama sesungguhnya untuk manusia, dan keberadaan agama dalam praktik hidup sepenuhnya bersandar pada kapasitas diri manusia, bukan sebaliknya manusia untuk agama. Oleh karena agarna untuk manusia, maka agama pada hakikatnya menerima adanya pluralitas dalarn memahami dan menjalankan ajarannya. Bukan itu saja, bahkan agarna diturunkan dengan memahami sepenuhnya realitas plural dalam kehidupan manusia itu sendiri. Realitas plural itulah yang melahirkan adanya pluralitas agarna, baik pluralitas eksternal dengan adanya agama agama yang lebih dari satu, yaitu Islam, Kristen Katolik dan Protestan, Budha, Hindu, maupun pluralitas internal agarna yaitu aliran-aliran keagamaan yang ada dalarn satu agama, seperti Syi'ah, Sunni dalam Islam dan masih banyak lagi yang lainnya.
Jika agama untuk manusia, maka agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan,dan menyejarah menjadi ke­budayaan, sehingga sejarah agama adalah sejarah kebudayaanagama, yang menggambarkan dan menerangkan bagaimana terja­dinya proses pemikiran, pemahaman dan isi kesadaran manusia tentang wahyu, doktrin dan ajaran agama, yang kemudian dipraktik­kan dalam realitas kehidupan manusia dan dalarn sejarah perkem­bangan agama itu, sehingga agamayang menyejarah telah sepenuh­nya menjadi wilayah kebudayaan, karena tanpa menjadi kebu­dayaan, maka sesungguhnya sejarah agama-agama itu tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah dituliskan.
Oleh karena itu, jika kitab suci dibicarakan dan dipahami sebagai wahyu dari Tuhan yang diturunkan kepada seoang nabi, maka sesungguhnya harus ada batas-batas yang dapat diterangkan secara jelas, kapan wahyu itu sebagai wahyu yang datang dari Tuhan dan sepenuhnya bersandar kepada Tuhan, dan kapan wahyu itu kemudian dituliskan, diajarkan dan dijelaskan oleh seorang nabi kepada. umatnya, yang kemudian dipraktikkannya dalam kehidupan bersama, yang sepenuhnya bersandar pada realitasnya sebagai seorang nabi, karena bagaimana pun, seorang nabi itu sesungguhnya manusia juga. Alquran 18; 110 mengatakan :

Artinya : Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu hanyalah Tuhan Yang Satu, maka siapa yang mengharapkan perjump,aan dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan antal kesalehan dan janganlah dia mempersekutukan Tuhannya dalam beribadah dengan seorang pun.
Dalam konsep filsafat Islam, kebudayaan Islam baik pada dataran konsep maupun produk, pada dasarnya harus ditegakkan dan dibangun oleh berfungsinya aqal quds secara seimbang, baik dalam dimensi pikir maupun zikir, berdasarkan wawasan hikmah dan kitab, sehingga kebudayaan Islam tidak dibangun dan ditegak­kan berdasarkan rasio semata-mata, yang akan mengakibatkan kebudayaan kehilangan dimensi spiritualitasnya, dan mempunyai, kecenderungan terlepas dari wawasan moralitas kemanusiaan universal dan spiritualitas agama.
Agama sebagai Sebuah Model untuk Realitas dan Interaksi Antara Keduanya: Islam sebagai Suatu Sistem Budaya Tentu saja harus dibuat suatu pembedaan antara "model-model mengenai realitas" (models of reality) dengan "model-model untuk realitas" (models for reality),' Model-model mengenai realitas ber­hubungan dengan penyajian objek, seperti yang terdapat pada alam, sementara model-model untuk realitas berlaku untuk konsep-konsep benda, seperti aktivitas manusia. Model-model mengenai realitas bersifat kongkret, yang menggambarkan kongruensi struktural dengan objek yang digambarkan, semen­tara model-model untuk realitas bersifat abstrak, yang berupa teori, dogma, atau doktrin untuk suatu realitas yang dengan realitas itu teori, dogma atau doktrin itu tidak merupakan kongruensi struktural. Sebaliknya, baik secara metafisik atau se­cara rasional, teori itu berhubungan dengan persepsi manusia mengenai realitas serta karakternya; teori itu tidak dapat dipe­netrasi secara eksperimental, hanya secara interpretatif.
Beberapa penelitian agama yang berorientasi pada sosiologi cen­derung ke arah reduksionisme yang menolak otonomi parsial agama-agama dengan tanpa ragu menempatkan agama itu sebagai sistem budaya dalam suatu hubungan kausal dengan level perkembangan dari masyarakat masing-masing. Isi agama, yang se­lalu disamakan dengan pola-pola budaya, menurut Geertz, me­miliki aspek ganda: Isi agama itu memberikan arti pada berbagai realitas sosial dan psikologis bagi para penganut-penganutnya, yang dengan demikian mendapatkan "suatu bentuk konseptual yang obyektif"; isi agama itu terbentuk oleh realitas dan pada saat yang sama membentuk realitas itu sesuai dengan isi agama itu.' Dalam interpretasi awal ini, simbol-simbol religiokultural membentuk bagian dari realitas tetapi bukan sekadar refleksi dari realitas, karena simbol-simbol itu juga mempengaruhi realitas. Selanjutnya, bahwa penurunan posisi sebuah agama ke tingkat perkembangan masyarakat tidaklah tepat. Geertz memberikan perhatian terhadap masyarakat-masyarakat dengan level perkembangan yang sebanding, yang di dalam level itu "tingkat artikulasi agama"8 yang ada sangat berbeda. Ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk menyangkal gagasan bahwa ide-ide agama dapat dikoielasikan dengan evolusi sosial; yang dikritik di sini adalah reduksi ide-ide agama menjadi suatu struktur masyarakat.
Dalam konteks antropologi interpretatifnya; upaya Geertz untuk memahami agama sebagai suatu sistem yang terdiri atas berbagai simbol yang memberikan arti, tampaknya akan bermanfaat di sini. Menurut Geertz, agama adalah "(1) suatu sistem simbol yang ber­tindak untuk (2) menetapkan dorongan hati dan motivasi yang kuat, menembus, dan bertahan lama pada manusia (3) dengan cara memformulasikan berbagai konsep tentang: suatu tatanan umum dari yang hidup dan (4) mewarnai konsep-konsep ini dengan aura faktualitas sehingga (dorongan hati dan motivasi itu tampak sangat realistik. Sekarang kita akan menguraikan definisi yang komprehensif ini menjadi komponen-komponennya secara in­dividual dari secara berproses berupaya untuk mengetahui dengan pasti validitas dari statemen-statemen yang dibuat di dalamnya untuk keperluan analisis kita tentang Islam sebagai suatu sistem budaya.
Pertama, agama dideskripsikan sebagai suatu sistem simbol, simbol-simbol yang ada bersatu membentuk pola-pola budaya, yang pada gilirannya membentuk model. Di sini penting untuk mengingat perbedaan antara "model-model mengenai realitas" dengan " model-model untuk realitas". Model-model mengenai realitas berhubungan dengan objek-objek yang digambarkannya, yang memiliki arti penting untuk membedakan antara symbol dengan objek. "Model-model mengenai realitas" dengan demikian terdiri atas simbol-simbol yang berkorespondensi dengan objek­objek nyata, sementara "model-model untuk realitas" menlberikan konsep-konsep atau doktrin-doktrin untuk realitas. Dalam penger­tian ini, agama adalah model untuk realitas dan bukan objek mengenai realitas; agama memiliki karakter ganda. Sekarang,lebih mudah untuk memahami, tetapi dengan alasan ini maka pema­haman itu hanya dapat diperoleh dengan baik dengan cara inter­pretatif.
Menurut Geertz, simbol-simbol untuk realitas yang ditawarkan oleh suatu agama sebagai suatu sistem budaya menghasilkan mo­tivasi yang menembus dan bertahan lama sehingga menyebabkan orang untuk bertindak. Tindakan-tindakan ini harus serasi dengan Kitab Suci, akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Dalam kaitannya dengan Islam, di sini saya dapat mengutip contoh mengenai larangan keras utang berbunga yang diterima secara subjektif oleh umat Muslim pada Abad Pertengahan, walaupun tindakan mereka secara objektif menentang larangan ini. Pada saat itu, apa yang kita kenal sebagai hiyal (muslihat dan tipuan yang bersifat legal) dikembangkan untuk mendorong orang untuk mengelak dari larangan terhadap bunga dan pada saat yang sama memperlonggar kesadaran dari orang-orang Muslim yang saleh.  Interpretasi Geertz tentang motivasi dan dorongan hati yang ditimbulkan oleh suatu sistem simbolik tertentu mampu untuk menjelaskan kondisi ini secara utuh: "Untuk menjadi saleh tidak harus melaksanakan sesuatu yang kita sebut tindakan yang saleh, tetapi harus mampu melaksanakan tindakan-tindakan itu."2' Dengan demikian jelas bahwa antropolog interpretatif tidak akan mampu menemukan kesalehan dalam bentuk motivasi dan dorongan hati dengan cara mencari sumber-sumber literernya dalam teks-teks agama, walaupun mereka harus mempelajarinya dalam teks-teks agama itu; tugas mereka adalah memahami per­sepsi dan praktek ajaran agama yang dipandang Islami, walau­pun dalam prakteknya sangat beragam dalam berbagai situasi yang sangat beragam secara historis dan kultural.

 Kebudayaan merupakan salah satu pahaman yang paling menyeluruh dan universal dalam ilmu-ilmu Sosial dimana terdapat ragam definisi yang diberikan tentangnya.

Secara leksikal kebudayaan (culture) bermakna adab, ilmu, pengetahuan dan makrifat
Sebagian orang berpandangan bahwa di antara redaksi agama dan kebudayaan tidak terjalin hubungan apa pun; karena kebudayaan merupakan warisan komunitas yang memiliki sisi kebangsaan yang diperoleh atas proses menuju kesempurnaan secara natural dan gradual masyarakat. Kondisi-kondisi natural dan demografis mempengaruhi adanya perbedaan dalam kebudayaan. Dengan kata lain, apa yang diciptakan masyarakat dalam pelbagai kondisi natural, geografis dan mungkin historis dan dipersembahkan kepada manusia adalah kebudayaan. Akan tetapi agama bukan warisan masyarakat atau komunitas dan agama-agama bukanlah produk yang dicipta oleh manusia. Mengikut para teolog agama merupakan pranata Ilahi. Dengan asumsi sedemikian dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan antara agama dan kebudayaan, akan tetapi sejalan satu dengan yang lain.
Sebagian pemikir meyakini bahwa menolak hubungan antara pahaman agama dan kebudayaan merupakan suatu hal pelik dilakukan. Apabila dalam agama dibahas masalah akhlak dan akidah maka ruh kebudayaan juga demikian adanya. Jika adab dan kebiasaan merupakan bagian dari kebudayaan maka syariat agama juga bertutur-kata tentang adab dan kebiasaan
Akan tetapi kebudayaan tidak satu karena perbedaan pelbagai kondisi dan situasi geografis. Sebagian kebudayaan seperti tradisi mengubur hidup-hidup anak-anak putri pada zaman jahiliyah. Pelbagai bid'ah dan khurafat yang merebak di tengah masyarakat dan seiring dengan berlalunya waktu berubah menjadi sebuah kebudayaan bagi masyarakat tersebut. Jelas bahwa kebudayaan semacam ini tidak ada sama sekali sangkut pautnya dengan agama. Sebagian kebudayaan diterima oleh agama dengan menggunakan metode jarh dan ta'dil dan pada kebanyakan perkara agama menjadi peletak dasar berkembangnya sebuah kebudayaan.
Terkait dengan munculnya agama, sejarah agama-agama menunjukan bahwa agama muncul tatkala perangkat-perangkat agama sebelumnya telah mengalami kerusakan dan penyimpangan moral-sosial dalam sebuah masyarakat. Bagaimanapun, tatkala sebuah agama atau maktab (school of thought) muncul biasanya terjadi sebuah revolusi atau perubahan asasi pada nilai-nilai dan sistem yang dianut sebuah masyarakat yang menjadi penyebab goncangnya kebudayaan. Sebagian dari unsur-unsur kebudayaan lama rontok dan unsur-unsur baru yang selaras dengan nilai-nilai baru atau maktab baru diadopsi. Melalui jalan ini, agama atau maktab-maktab mengkonstruksi kebudayaan.

Meski tatkala setiap agama muncul, ia tidak serta merta muncul bersama kebudayaan. Namun setiap agama memunculkan nilai-nilai baru atau mengemukakan nilai-nilai baru. Nilai-nilai ini, pertama, berada dalam format kebudayaan yang menggusur kebudayaan lama yang tidak sejalan dengan nilai-nilai ini, misalnya kemunculan Islam yang menggusur kebudayaan mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan. Kedua, format-format yang kosong dari sisi kandungan dan bertentangan dengan nilai-nilai baru, namun dapat ditiupkan ruh kepadanya yang didasarkan pada nilai-nilai baru dan mengeluarkannya dari kerusakan serta menjadikannya sebagai media bagi kemunculan nilai-nilai ini.
Dalam Islam, haji dapat dijadikan contoh dari format-format ini. Haji pada masa sebelum kedatangan Islam modelnya berisikan kemusyrikan, namun Islam tidak mengeliminir bentuk-bentuknya dan tetap memelihara adab-adab dan kebiasaan haji model lama lalu memberikan kandungan tauhid di dalamnya. Karena itu, kebudayaan lama itu menjadi kuat dan bertahan dalam sistem kebudayaan baru. Atau misalnya lagi, hari raya tahun baru di Iran sebelum dan setelah Islam.
ada hakikatnya, agama baru tidak serta merta memunculkan kebudayaan baru, tetapi mengemukakan nilai-nilai baru dan masyarakat berdasarkan nilai-nilai ini melahirkan kebudayaan baru. Setelah munculnya kebudayaan baru, berdasarkan agama baru kini agama termasuk bagian dari kebudayaan masyarakat tersebut.[10]
Hal yang patut diperhatikan di sini adalah bahwa masuknya satu agama pada pelbagai kaum dan bangsa menjadi penyebab munculnya pelbagai ragam kebudayaan berdasarkan nilai-nilai maka agama dan kebudayaan akan menjadi satu. Gambaran semacam bukanlah gambaran benar sehingga kita menyangka bahwa agama yang masuk pada daerah mana pun akan melahirkan kebudayaan yang satu. Tidak demikian. Yang benar bahwa agama menjadikan nilai-nilai yang satu itu sebagai ukuran dan kriteria di setiap masyarakat. Namun ragam kebudayaan akan bermunculan lantaran adanya kebudayaan-kebudayaan lama; karena pembentukan format-format kebudayaan ini bergantung sepenuhnya pada situasi geografis dan gaya hidup setiap kaum dan bangsa.[11][Islam Quest]
Hubungan Agama dan Budaya: Tinjauan Sosiokultural

    Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuatdengan yang tidak. Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India, Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga mempengaruhi agama. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya (Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama.


Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak budaya itu  terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79)
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau  lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi  bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitukasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam  dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau (Philipus Tule 1994:159).
Kenyataan adanya legacy tersebut membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia telah membuat manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia untuk menjadi manusia.



Kesimpulan
Jika ditarik garis batas antara agama dan kebudayaan itu adalah garis batas Tuhan clan manusia, maka wilayah agama dan wilayah kebudayaan itu pada dasamya tidak statis, tetapi dinamis, karena Tuhan dan manusia berhubungan secara dialogis, di mana manusia menjadi khalifah (wakil) Nya di bumi. Pada tahapan ini, maka adakalanya antara agama dan kebudayaan menempati wilayahnya sendiri-sendiri, dan adakalanya pula keduanya berada dalam wilayah yang sama, yaitu wilayah kebudayaan agama, seperti dapat di gambarkan dalarn bagan sebagai berikut.



K         = Kebudayaan
A         = Agama
KA      = Kebudayaan
   Agama
Agama sesungguhnya untuk manusia, dan keberadaan agama dalam praktik hidup sepenuhnya bersandar pada kapasitas diri manusia, bukan sebaliknya manusia untuk agama. Oleh karena agarna untuk manusia, maka agama pada hakikatnya menerima adanya pluralitas dalarn memahami dan menjalankan ajarannya. Bukan itu saja, bahkan agarna diturunkan dengan memahami sepenuhnya realitas plural dalam kehidupan manusia itu sendiri. Realitas plural itulah yang melahirkan adanya pluralitas agarna, baik pluralitas eksternal dengan adanya agama agama yang lebih dari satu, yaitu Islam, Kristen Katolik dan Protestan, Budha, Hindu, maupun pluralitas internal agarna yaitu aliran-aliran keagamaan yang ada dalarn satu agama, seperti Syi'ah, Sunni dalam Islam dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sebagian orang berpandangan bahwa di antara redaksi agama dan kebudayaan tidak terjalin hubungan apa pun; karena kebudayaan merupakan warisan komunitas yang memiliki sisi kebangsaan yang diperoleh atas proses menuju kesempurnaan secara natural dan gradual masyarakat. Kondisi-kondisi natural dan demografis mempengaruhi adanya perbedaan dalam kebudayaan. Dengan kata lain, apa yang diciptakan masyarakat dalam pelbagai kondisi natural, geografis dan mungkin historis dan dipersembahkan kepada manusia adalah kebudayaan
DAFTAR PUSTAKA

Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik,   Bandung, Pustaka Hidayah, 1998.
Budi Purnomo, Alays, Jakarta:  Penerbit Buku Kompas, 2003.
Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Ranaka Cipta,1990
O’Dea, Thomas, Sosiologi Agama, Jakarta: CV Rajawali, 1984.
Mulyono Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Jakarta;  Pustaka Sinar Harapan, 1982.
Tule, Philipus, Wilhelmus Julei, ed Agama-agama, Kerabat Dalam Semesta, Flores:Penerbit Nusa Indah, 1994.
Wach, Jajachim, Ilmu Perbandingan agama, Jakarta : CV Rajawali, 1984.