Selasa, 20 September 2011

Tauhid


1.     Tauhid dan Pembebasan social
Iman yang benar, sikap kritis, penggunaan akal sehat (rasional), kemandirian, keterbukaan, kejujuran, sikap percaya diri, berani karena benar, serta kebebasan bertanggung jawab, semua hal itu merupakan efek pembebasan dari semangat tauhid.[1] Dari sini, kualitas-kualitas pribadi yang tertanam melalui tauhid itu akan terwujud pula kualitas-kualitas masyarakat yang keanggotaannya terdiri dari pribadi-pribadi serupa itu. Tauhid pada tingkat kemasyarakatan dapat dilihat sebagai kelanjutan efek pembebasan pada tingkat pribadi.
Dalam kitab suci, prinsip tauhid langsung dikaitkan dengan sikap menolak thagut” perkataan “ thagut” sendiri diartikan dalam berbagai makna. Namun kesemua itu artinya mengacu kepada kekuatan sewenang-wenang, otoriter dan tiranik atau “ apa-apa yang melewati batas”
Artinya: Barangsiapa menolak thagut dan beriman kepada Allah maka sungguh ia telah berpegang dengan tali yang kokoh yang tidak akan putus (qs. Al-baqarah : 256 )
Dengan mudah firman ini dapat ditafsirkan bahwa orang yang berhasil melepaskan dirinya dari belenggu kekuatan-kekuatan tiranik, yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun luar, kemudian ia berhasil pula berpegang pada kebenaran yang sejati, maka sungguh ia telah menempuh hidup aman sentosa, tidak akan gagal dan tidak akan kecewa.
Kesanggupan seorang pribadi melepaskan dirinya dari belenggu tiranik dari luar adalah merupakan salah satu pangkal efek pembebasan semangat tauhid bahkan menentang, melawan dan akhirnya menghapus tirani adalah konsekuensi logis faham ketuhanan yang maha esa. Maka tugas setiap rasul ialah menanamkan keimanan yang benar kepada allah dan menentang tirani.
  
Artinya: Dan sungguh kami telah utus untuk seitap umat manusia seorang Rasul, (guna menyeru) sembahlah olehmu semua akan allah saja dan jauhilah para tiran (Qs. An-Nahl ; 36)
Tirani ditolak dalam system tauhid karena ia bertentangan dengan prinsip bahwa yang secara hakiki berada diatas manusia hanyalah Allah. sebab manusia adalah ciptaan tertinggi Tuhan, yang bahkan tuhan sendiri memuliakannya. Oleh karena itu sangat relevan melawan harkat dan martabat manusia sendiri jika ia mengangkat sesuatu selain Tuhan keatas dirinya sendiri keatas manusia yang lain (melalui sikap tiranik atas sesama mannusia ). Inilah salah satu hakikat syirik, efek syirik. Seperti halnya dengan setiap system mitologis dan tirani, ialah pembelengguan dan perampasan kebebasan.
Dari berbagai konsekuensi logis faham tauhid, salah satunya yang amat kuat mempunyai dampak pembebasan social yang besar adalah egaltarianisme.
Berdasarkan egaltarianisme tauhid menghendaki system kemasyarakatan yang demokratis berdasarkan musyawarah, terbuka yang memungkinkan masing-masing anggota saling memperingatkan tentang apa yang benar dan baik, dan tentang ketabahan menghadapi perjalanan hidup serta tentang saling cinta kasih sesama manusia, suatu dasar bagi prinsip kebebasan menyatakan pendapat,[2] kebebasan karena tauhid juga menghendaki kemampuan menghargai orang lain, karena mungkin pendapat mereka lebih baik daripada pendapat pendapat yang bersangkutan sendiri, jadi tidak dibenarkan adanya absolutism antara sesama manusia.
Implikasi logis dari pandangan dunia Tauhid, seperti ditegaskan Ali Syri’ati adalah bahwa menerima kondisi masyarakat dalam keadaan penuh kontradiksi social dan diskriminasi, serta menerima pengkotak-kotakan dalam masyarakat sebagai suatu syirik, yaitu menentang pandangan kesatuan antara Allah, manusia dan alam. Secara tegas Syaria’ati seperti dikutip Eko Supriyadi dalam sosialisme islam : pemikiran ‘Ali Syari’ati’ menyatakan: jadi (tauhid) tidak terbagi-bagi atas dunia dan akherat nanti, atas yang alamiah dengan suprah alamiah, atas subtansi dan arti, atas jiwa dan raga . jadi kita memandang seluruh eksintensi sebagai suatu bentuk tunggal yang hidup dan memiliki kesadaran, cipta, rasa dan karsa.
Dalam pandangan dunia tauhid, tidak ada kontradiksi antara manusia dengan alam ruh dengan badan, dunia dengan akherat dan antara spirit dengan materi. Dengan demikian, tauhid menolak segala bentuk kontradiksi legal, social, politik, rasial, nasional, territorial maupun genetic.[3]
Sebaliknya, segala pertentangan yang muncul didunia adalah disebabkan oleh pandangan hidup syirik, yang ditandai dengan diskriminasi rasial dan kelas,
Pandangan dunia tauhid menuntut manusia hanya takut kepada satu kekuatan, yaitu kekuatan tuhan, selain itu adalah kekuatan yang tidak mutlak atau palsu, pandangan ini menggereakan manusia untuk melawan segala bentuk kekuatan dominasi, belenggu dan kenistaan oleh manusia atas manusia. Tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas dan pembebasan.

 hubungan ilmu tauhid dengan akhlak kehidupan manusia
Ilmu tauhid dikenal pula dengan ilmu ushul al din, ilmu aqaid, dan ilmu kalam, yang pada intinya berkaitan dengan upaya memahami dan meyakini adanya Allah swt dengan segala sifat-sifatnya dan perbuatannya, termasuk pula mengenai rukun iman.[4]
Aqidah menitik beratkan tentang pemahaman tentang rukun iman yang selanjutnya diresap kedalam hati sehingga manusia meyakini kebenarannya.
Akhlak dimulai dari pengenalan kemudian dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, pendekatan aqidah dan akhlak dismaping normative dan dogmatis, dalam beberapa hal tertentu juga rasional dan praktis.
Dalam perspektif aqidah, seseorang harus mempercayai hal-hal yang gaib termasuk hal-hal yang gaib antara lain mempercayai Allah SWT beserta sifat-sifatnya, juga mempercayai keberadaan jin, setan dan iblis.
Iblis adalah makhluk Allah yang diusir dari syorga karena membangkang kepada perintah Allah. Setan merupakan jin yang jahat dan selalu menggoda manusia. Manusia juga harus mempercayai keberadaan syorga, neraka, para rasul, dan kitab-kitab yang diturunkan kepadaNya.
Dalam Islam terdapat beberapa aliran Teologi ada yang bersifat tradisional seperti aliran As ariyah, dan ada yang bersifat liberal seperti aliran Mu’tazilah. Corak pemikiran kedua aliran ini sebenarnya tidak bertentangan dengan islam.
Kemudian timbul kaum Khawarij (lawan kaum syiah) yang memandang diri mereka sebagai kaum yang berhijrah meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasulnya, dan untuk memperoleh pahala dari Allah SWT sesuai dengan firmannya pada surah An-Nisa ayat 100, siapa yang berpindah dijalan Allah, niscaya akan memperoleh rizki yang banyak, siapa yang keluar dari rumahnya untuk hijrah pada Allah an rasulnya, kemudian dia meninggal (ditengah perjalanan) maka pahalanya sudah dijamin oleh Allah, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Meskipun kaum Khawarij dan Syi’ah bermusuhan tetapi keduanya sama-sama menentang kekuasan Bani Umayyah, selain itu juga ada golongan Mutazilah yang mencoba bersikap netral dan tidak mau turut campur kafir mengkafirkan sesama umat Islam, seperti dilakukan oleh kaum Khawarij dan Syi’ah. kaum Murji’ah berpendapat bahwa orang Islam yang berbuat dosa besar masih tergolong mukmin karena dia masih percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan allah”
Orang Islam belum dapat menyembah Allah dengan sebenarnya kallbu, didalam hatinya belum ada iman yang benar, kepercayaan yang dijiwai dengan perasaan, pikiran dan kemauan, mungkin saja ada seoarang muslim mengenal Allah sesuai dengan hak disertai hujjah atau dalil yang biasa disebut orang yang telah ma’rifat, ada juga seorang muslim mengenal Allah sesuai dengan hak namun tanpa dalil dan sekedar ikut-ikutan yang dinamakan taklid shahih, kedua macam muslim ini diakui dalam ilmu kalam, tapi dengan catatan seorang yang taklid shahhih sebaiknya berangsur-angsur mempelajari dalil-dalil, baik aqly maupun naqly.
Dalam soal iman dan Aqidah ,kita perlu waspada dengan tumbuh suburnya aliran kepercayaan ,yaitu komunitas yang percaya kepada Tuhan tetapi menyimpang dari kebenaran dan tidak tahu dalil-dalil.Kelompok semacam ini melakukan “TAUHID BATHIL”.dan menyimpang dari ajaran islam .Tetapi ada yang lebih berbahaya lagi yaitu komunitas yang mnyimpang dari yang hak ,namun dia tahu beberapa dalil naqly dan aqly.Kelompok semacam ini biasa dinamakan “JAHIL MURAQAB”.

Jika ingin  mengenal Allah berarti kita harus mengetahui ,memehami,dan menyakini sifat-sifat Allah yang wajib yaitu Ada ,Dahulu ,Kekal,berbada dengan yang baru ,Berdiri sendiri ,Maha Esa ,Kuasa ,Berkehendak,Maha Mengetahui ,Hidup,Maha Mendengar, ,Maha Melihat,dan Kalam.Dan mustahil bagi Allah bersifat yang berlawanan dengan sifat-sifat tertentu .Dan mungkin bagi Allah mengadakan atau tidak mengadakan sesuatu.
Sifat yang pertama dalam ilmu kalam dinamakan sifat nafsiyah yaitu sifat yang daoat membuktikan adnya dzat Allah SWT.Adapun sifat yang kedua sampai keenam disebut sifat salbiyah yaitusifat yang menafikan sifat-sifat yang tidak mungkin bagi Allah dan tidak layak bagi Allah SWT.Kemudiaan sifat yang ketujuh sampai ketiga belas yaitu sifat Maany yaitu sifat yang pasti dimiliki Allah SWT.
Pengajaran Akhlak dan Moralitas Islam kepada seseorang sebaiknya tidak kita lakukan secara gradual dan berangsur-angsur.Kita sebaiknya membimbing dan mendidik seseorang secara baik dan bijak.Seperti Wali Songo ,yaitu para ulama besar dan pendekatan agama dimasa lalu juga berdakwah dan menyiarkan agama islam secara bijak dan strategis.
Ilmu Tauhid akan mengajarkan amal perbuatan yang di lakukan manusia semata –mata karena dan unyuk Allah semata .Inilah yang di sebut ikhlas,ikhlas adalah akhlak yang mulia.[5]
Selain itu ,kaitan ilmu Tauhid dengan ilmu Akhlak bias dilihat dari segi fungsinya.Ilmu Tauhid menghendaki agar seseorang  yang bertauhid tidak hanya cukup menghafal Rukun Iman saja tetapi yang penting adalah meniru dan mengamalkannya sesuai dengan contoh-contoh yang ad di dalamnya .Rukun Iman erat sekali kaitannya dengan pembinaan akhlak mulia ,dalam Alquran maupun As Sunnah ,Iman dan Amal Shaleh .

3.Pengaruh Tauhid Dalam Kehidupan Globalisasi
Globalisasi dan internasionalisasi sekarang ini ,tatkala semua Bangsa tunduk pada tata dunia baru yang mengingkari ,menolak atau melupakan Tuhan ,spritualitas dan segala bentuk transeden dan orang Muslimdi tuntut mengembangkan pemahaman secara mendalam terhadap keimanan dan ajran mereka sendiri dalam dan melalui Dimensi Unuversalnya.
Dan Tiadalah Kami mengutus Kamu ,melainkan untuk menjadi Rahmat bagi semesta Alam.
Posisi terakhir ini ,melanjuti kajian yang telah kita lakukan tampaknya paling akurat dan relevan ,karena posisi ini membantu kita diluar selubung pertimbangan konstektual lama,menghadapi realitas yang sebenarnya dan menafsir ulang sumber-sumber keislaman kita dari perspektif baru.Inilah yang kita lakukan Faisahl Mawali dengan menempatkan orang Muslim menurut perspektif dunia kontemporer mereka,dalam situasi Nabi SAW ,dan Para Sahabat di Mekkah .Ketika itu,hidup sebagai kelompok minoritas mereka tidak diminta saja untuk beriman,tetapi juga menggambarkan dan menjelaskan agama mereka kepada masyarakat dan suku-suku di sekeliling mereka .Melihat keadaan tersebut sama sekali ,tidak menggambarkan visi dua kutub.Maulawi kembali ke sumber ajaran dan dalam dunia yang telah menjadi desa ,mengingatkan orang muslim akan salah satu tugasnya yang fundamental yaitu Menyeru kepada Keesaan Tuhan .Hakikat Islam “Ini Adalah seruan yang menjadi basis hubungan kita dengan non muslim bukan memerangi atau perang”[6]
Jika kemudian ,wilayah orang muslim hidup memberi mereka keamanan sebagaimana di Barat,maka kita harus menambahkan dimensi esensial yang lain pada hakikat Universal pesan Islam yakni kewajiban orang Muslim untuk memberi kesaksian terhadap kebenaran Nya melalui kehidupan dan tindakan mereka .Di luar model klasifikasi sectarian yang tudak sesuai melalui dan di dalam era globalisasi serta tatanan dunia baru ,Orang Muslim harus menerima tanggung jawab untuk membuktikan kebenaran iman mereka kepada Keesaan Tuhan dan nilai-nilai keadilan dan solidaritas pada satu sisi lain,berbuat sesuai dengan prinsip tersebut,sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
 Maulawi mengajukan konsep dar-al-dakwah .merujuk pada periode Mekkah ketika kaum Muslimin ,meskipun minoritas dalam masyarakat yang menolak wahyu baru yang di sebut dar al kuffur,menganggap diri mereka bertanggung jawab membuktikan kebenaran agama mereka dihadapan Bangsa dan suku Mereka sama halnya orang mengatakan bahwa dalam tata dunia baru dewasa ini yang tampaknya melupakan Sang Pencipta sampai pada derajat mengingkari eksistensiNya dan yang berdasarkan logika ekonomi semata ,orang muslim memikul tanggung jawab yang sama ,khususnya di jantung masyarakat industri .Mereka haus ,secara tegas dan percaya diri ,mengingatkan manusia di sekeliling mereka tentang Tuhan,spritualitas dan menyangkut urusan social ,berupaya menegakkan nilai-nilai etika ,keadilan ,dan solidaritas.Mereka harus memenfaatkannya cara yang positif.
Dimana pun orang Muslim yang menyatakan syahadat “Saya Bersaksi Tidak Ada Tuhan selain Allah Dan Muhammad adalah UtuasanNya”.Dalam keadaan aman dan dapat menjalankan kewajiban fundamental agamanya,berarti dia ada di wilayah sendiri karena Nabi SAW :Mengajarkan kita bahwa seluruh dunia adalah Masjid .Pendapat ini ,yang di dukung  oleh para Ulama atau pemikir Reformis ,seperti AL AFGHANI,ABDUH,IQBAL,dan AL BANNA,sekarang ini mendapatkan relevansi baru.
Mengingat sumber ajaran kita ,pesan Universal Islam,kita dapat secara tepat merujuk pada konsep syahadat (Pembuktian ,Kesaksian),sebab syahadat  menggambarkan dua aspek penting.Yang pertama ,merujuk pada syhadat yang oleh setiap muslim harus dinyatakan di hadapan Tuhan dan semua umat manusia bahwa melalaui kesaksian ini dia menetapkan identitasnya .Yang kedua ,berhubungan dengan kewajiban muslim ,sesuai dengan perintah Alquran “bersaksi(atas kebenaran keimanan mereka).di hadapan manusia.Dengan konsep syahadat kesaksian ,kita dapat menyatukan dua rukun esensial keimanan islam:ketetapan yang jelas tentang identitas kita melalui keimanan kita kepada Keesaan Tuhan (Tauhud)dan wahyu terakhirNya kepada Nabi Muhammad SAW.Disertai kesadaran bahwa kita memikul tanggung jawab mengingatkan manusia akan keberadaan Tuhan dan berprilaku dengan Akhlak Mulia,sehingga kehadirannya kita di tengah-tengah manusia,dengan sendirinya menjadi pengingat adanya pencipta ,spritualitas dan etika .Funsi ganda konsep syahadat ini dapat di ungkapkan melalui enam unsur berikutnya .Ketiga unsure yang pertama  merujuk pada identitas Muslim per se ,dan yang selebihnya merujuk pada perannya dalam masyarakat.
1.Dengan mengucapkan syahadat,Muslim bersaksi atas keimananya dan memberikan potret identitasnya secara jelas.Dia Laki-laki atau Perempuan adalah Muslim atau Muslimah ,percaya kepada Tuhan ,RasulNya,para Malaikat,kitab –kitab suciNya,Takdir dan Hari Kebangkitan .Dia percaya bahwa ajaran –ajaran Islam adalah buah dari wahyu dan dari wahyu dan dia menjadi bagian dari ummat(komunitas)Islam.
2.Syahadat ,sebagai yang pertama diantara lima rukun Islam ,tidak saja bertalian erat dengan ibadah dan amaliah tidak benar tanpanya.
3.Secara lebih luas lagi,dengan syahadat berarti orang Muslim harus atau paling tidak dibolehkan untuk memetahui perintah dan ketentuan agamanya dan bertindak sesuai dengan ketentuan halal dan harum menurut Islam .Dia tidak boleh di paksa untuk bertindak melanggar hati nuraninya karena hal ini sama dengan mengingkari identitasnya.
4.Menyatakan identitas berarti bersaksi di hadapan Tuhan dengan menjunjung tinggi amanhNya,karena iman pada dasarnya suatu amanah(amanat).Hubungan antar manusia juga di dasarkan pada penghargaan ,kepercayaan,dan yang paling utama komitmen mutlak pada kesepakatan ,kontrak yang telah di buat secara eksplist atau implicit.
5.Sebagai orang yang beriman di tengah sesama manusia .Orang Muslim harus membuktikan syahadatnya di hadapan orang lain ,Dia harus menyajikan islam ,menjelaskan isi dari iman dan ajaran Islam secara lengkap .Dalam setiap bentuk masyarakat dan tentu saja di lingkungan non muslim .Dia menjadi seseorang saksi,seorang syahid dan ini mencangkup konsep dakwah.
6.Syahadat bukan Cuma soal berbicara .Seorang Muslim adalah dia yang beriman dan bertindak konsisten dengan keimananya.
Jadi,konsep syahadat ini tampaknya ,menurut hemat kita paling tepat untuk menyampaikan persepsi global mengenai identitas maupun fungsi orang Muslim menurut ajaran islam .Konsep ini juga cocok untuk situasi kita saat ini ,sebab konsep ini memindahkan kita mengungkapkan dan menghubungkan identitas dan tanggung jawab social kita sebagai muslim.

4.Kedudukan Tauhid dalam Islam dan Urgensinya
Dakwah merupakan ibadah yang agung. Sayangnya, dakwah telah banyak disalahgunakan untuk membungkus kampanye politik dalam rangka mencari pengikut, merekrut simpatisan dan kader partai, atau sekedar mencari dunia. Di sisi lain, ada da’i yang mengkhususkan pada persoalan-persoalan politik hingga melupakan hal-hal mendasar dalam Islam. Lalu bagaimanakah sesungguhnya dakwah Rasulullah itu?
Terlalu banyak seruan atau ‘dakwah’ ilallah (menuju Allah) yang kita jumpai di sekeliling kita. Masyarakat pun dengan mudahnya mengatakan bahwa ‘dakwah itu semuanya sama’. Benarkah? Lalu manakah seruan yang benar yang akan mendekatkan kepada Allah?
Beragamnya seruan itu sendiri telah menjadi sunnatullah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari shahabat Abdullah bin Mas’ud, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud bercerita di mana Rasulullah membuat satu garis lurus dan mengatakan: “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Lalu beliau membuat garis-garis yang banyak dari arah kanan dan arah kiri dan beliau mengatakan: “Ini adalah jalan-jalan dan tidak ada satupun dari jalan tersebut melainkan syaitan menyeru di atasnya.” Kemudian beliau membacakan firman Allah: “Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka tempuhlah ia dan jangan kalian menempuh jalan yang banyak tersebut yang pada akhirnya akan memecah diri-diri kalian dari jalan-Nya.”
As Sa’dy menjelaskan apa yang dimaksud dengan jalan yang lurus tersebut di dalam kitab tafsirnya: “Adalah jalan yang sangat jelas yang akan menyampaikan kita kepada Allah dan kepada surga-Nya. Jalan yang lurus itu adalah mengenal yang hak dan mengamalkannya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam juga telah menjelaskan akan munculnya para da’i yang menyeru di atas jurang neraka. Dalam hadits Hudzaifah bin Yaman yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Hudzaifah mengatakan: “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan yang khawatir akan menimpaku. Lalu aku berkata: “Ya Rasulullah, tatkala kami berada dalam kehidupan jahiliyah Allah mendatangkan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan? Rasulullah menjawab: “Ya.” Aku berkata lagi: “Apakah setelah kejelekan ini ada kebaikan?” Rasulullah menjawab: “ Ya, akan tetapi ada asapnya.” Aku mengatakan: “Apakah asapnya wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Kaum yang mengambil petunjuk selain petunjukku kamu kenal dan kamu ingkari.” Aku berkata: “Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Rasulullah menjawab: “Ya, yaitu para da’i yang berada di pintu neraka dan barangsiapa yang memenuhi seruannya, maka akan mencampakkannya ke jurang neraka tersebut.”
Kedua hadits di atas menjelaskan tentang adanya sunnatullah munculnya berbagai seruan yang semuanya mengangkat panji Islam dan mengatasnamakan Islam. Akan tetapi seruan yang benar adalah satu dan jalan yang benar adalah satu dan tidak berbilang. Allah berfirman:
“Tidaklah setelah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Hadits tadi juga menjelaskan bahwa jalan yang tidak benar itu lebih banyak daripada jalan yang benar. Demikian juga dengan da’i yang menyeru kepada kesesatan, lebih banyak dibanding dengan para penyeru kebenaran

Kedudukan Tauhid

Tidak ada keraguan lagi bahwa tauhid memiliki kedudukan yang tinggi bahkan yang paling tinggi di dalam agama. Tauhid merupakan hak Allah yang paling besar atas hamba-hamba-Nya, sebagaimana dalam hadits Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam berkata kepadanya: “Hai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah? Ia menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau mengatakan: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
1. Tauhid merupakan dasar dibangunnya segala amalan yang ada di dalam agama ini. Rasulullah bersabda:
“Islam dibangun di atas lima dasar, bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa pada bulan Ramadhan.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah Ibnu Umar)
2. Tauhid merupakan perintah pertama kali yang kita temukan di dalam Al Qur’an sebagaimana lawannya (yaitu syirik) yang merupakan larangan paling besar dan pertama kali kita temukan di dalam Al Qur’an, sebagaimana firman Allah:
“Hai sekalian manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa. Yang telah menjadikan bumi terhampar dan langit sebagai bangunan dan menurunkan air dari langit, lalu Allah mengeluarkan dengannya buah-buahan sebagai rizki bagi kalian. Maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah”. (Al-Baqarah: 21-22)
Dalil yang menunjukkan hal tadi dalam ayat ini adalah perintah Allah “sembahlah Rabb kalian” dan “janganlah kalian menjadikan tandingan bagi Allah”.
3. Tauhid merupakan poros dakwah seluruh para Rasul, sejak Rasul yang pertama hingga penutup para Rasul yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassallam. Allah berfirman:
Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah dan menjauhi thagut.” (An-Nahl: 36)
4. Tauhid merupakan perintah Allah yang paling besar dari semua perintah. Sementara lawannya, yaitu syirik, merupakan larangan paling besar dari semua larangan.
Allah berfirman:
Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kalian jangan menyembah kecuali kepada-Nya dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.(Al-Isra: 23)
Dan sembahlah oleh kalian Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. (An-Nisa: 36)
5. Tauhid merupakan syarat masuknya seseorang ke dalam surga dan terlindungi dari neraka Allah, sebagaimana syirik merupakan sebab utama yang akan menjerumuskan seseorang ke dalam neraka dan diharamkan dari surga Allah. Allah berfirman:
Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah maka Allah akan mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka dan tidak ada bagi orang-orang dzalim seorang penolongpun.” (Al-Maidah: 72)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
Barang siapa yang mati dan dia mengetahui bahwasanya tidak ada ilah yang benar kecuali Allah, dia akan masuk ke dalam surga.” (Shahih, HR Muslim No.26 dari Utsman bin Affan)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
Barangsiapa yang kamu jumpai di belakang tembok ini bersaksi terhadap Lailaha illallah dan dalam keadaan yakin hatinya, maka berilah dia kabar gembira dengan surga.” (Shahih, HR Muslim No.31 dari Abu Hurairah)
6. Tauhid merupakan syarat diterimanya amal seseorang dan akan bernilai di hadapan Allah. Allah berfirman:
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dan mengikhlaskan bagi-Nya agama. ” (Al-Bayinah: 5)

Tauhid Poros Dakwah Para Rasul

Menggali dakwah seluruh para rasul dan sepak terjang mereka dalam memikul amanat dakwah ini, niscaya akan kita temukan keanehan di atas keanehan yang seandainya kita yang memikulnya, sunggguh kita tidak akan sanggup.
Dakwah membutuhkan keikhlasan agar bisa bernilai di sisi Allah dan untuk mengikat diri kita dengan pemilik dakwah itu, yaitu Allah, serta mendapatkan segala apa yang dipersiapkan di negeri akhirat. Dakwah membutuhkan keberanian untuk tidak gentar, takut, dan lari ketika menghadapi segala tantangan. Dakwah membutuhkan kesabaran terhadap segala ujian dan tantangan di atasnya. Dakwah membutuhkan istiqamah untuk selalu bersemangat di atas dakwah meskipun kebanyakan orang tidak menerimanya. Dakwah membutuhkan iman yang kuat dan yakin terhadap pertolongan pemilik dakwah ini yaitu Allah. Dakwah membutuhkan tawakal, kelembutan, dan segala bentuk akhlak yang mulia.
Allah telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa yang menjadi poros dakwah para rasul adalah seruan untuk mentauhidkan Allah sebagaimana firman Allah:
Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat itu seorang rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah dan menjauhi thagut.(An-Nahl: 36)

Respon Teologis Atas Nasib Manusia
Perkataan Teologi sebagaimana di jelaskan dalam “ENCYCLOPEDIA OF RELIGION AND RELIGIOUS”Berarti “ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan HubungaNya dengan alam semesta ,Namun sering sekali di perluas mencangkup keseluruhan bidang agama”Dari Pengertian ini agaknya perkataan teologi lebih tepat di padankan dengan istilah fiqh ,dan bukan hanya dengan “ilmu kalam atau ilmu Tauhid” .Dengan istilah fiqh disini bukanlah di maksudkan ilmu fiqh sebagaimana kita pahami selama ini ,melainkan istilah fiqh sebagaimana pernah di gunakan sebelum lahirnya ilmu fiqh itu sendiri.
Imam Abu Hanifah ,Bapak ilmu Fiqh menulis buku “Al fiqhul –Akbar(fiqh besar) yang isinya bukan tentang ilmu fiqh ,akan tetapi justru tentang aqidah yang menjadi obyek pembahasan ilmu kalam atau ilmu Tauhid.Boleh jadi ilmu fiqh yang berkembang saat ini ,dalam kerangka pemikiran  Imam Abu Hanifah adalah “Al fiqhul –Asghar”(fiqh kecil).Sebab keduanya baik ilmu kalam atau Tauhid dan ilmu fiqh pada dasarnya fiqh atau pemahaman yang tersistimatisasikan yang pertama menyangkut bidang Ushuliyah (prinsip pokok)dan yang kedua menyangkut bidang furuiyah (detail-cabang)
Akan tetapi,perjalanan sejarah dan tradisi keilmuan islam telah menyingkirkan pengertian fiqh sebagaimana di pergunakan oleh Imam Abu Hanifah .Dengan menyinggung masalah ini saya hanya ingin mengatakan bahwa pemakaian istilah Teologi mempunyai alasan  yang cukup kuat ,sebab ia membantu kita untuk memahami Islam secara  lebih utuh dan padu .Karena itu ,kita tentu sepakat bahwa ide sentral dalam Teologi Alquran adalah ide Tauhid.
Agaknya,kasus kekalahan partai-partai islam dalam pemilu 1999 yang lalu partai Islam yang di maksudkan di sini adalah baik dalam bentuk symbol atau asas Islam ,pengurus Islam ,pendukung Islam maupun program yang islami dapat kita jadikan sebagai studi kasus untuk memahami respon Teologis Alquran terhadap nasib-nasib partai Islam yang kini tengah di permainkan oleh Realitas Sejarahnya .Secara cukup mencengangkan itu ,kegagalan partai-partai Islam untuk memperoleh dukungan yang signifikan dari pemilih Islam ,secara umum  di klaim oleh beberapa kalangan sebagai kegagalan para pamimpin islam dalam membangun cta-cita sosialnya yang Madaniyah di Tanah Air .Sehingga tidak heran bila beberapa pengamat  mengatakannya sebagai “peringatan” dan bahkan azab dari ALLAH SWT untuk para pemimpin Islam yang egois dan Individualistis. 

















[1] ABAD BADRU ZAMAN, dari teologi menuju aksi, pustaka belajar, Yogyakarta, 2009, hal 200
[2] Ibib hal 202
[3] Ibid hal 205
[4] Drs. M. solihin, mag, m rasyid anwar. Sag, akhlak tasawuf manusia, etika dan ma’na hidup. Nuansa, bandung: 2004. Hal 65
[5] ibid,hal 66
[6] Tariq Ramadan,Teologi Dialog Islam Barat,Mizan ,Bandung,2002,HAL 64

all about Muhammadiyah

Khitah Perjuangan
HAKIKAT MUHAMMADIYAH Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari
dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah menyebabkan perubahan tertentu. Perubahan
itu menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang
menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia.
Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu, senantiasa mempunyai
kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang
sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya:
"menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai
Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip gerakannya, seperti yang
dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah
itu senantiasa menjadi landasan gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan hubungannya dengan
kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.
MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan memilih dan
menempatkan diri sebagai Gerakan Islam amar-ma'ruf nahi mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama
ialah membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah. Di samping itu Muhammadiyah
menyelenggarakan amal-usaha seperti tersebut pada Anggaran Dasar Pasal 4, dan senantiasa berikhtiar untuk
meningkatkan mutunya Penyelenggaraan amal-usaha, tersebut merupakan sebagian ikhtiar Muhammadiyah untuk
mencapai Keyakinan dan Cita-Cita Hidup yang bersumberkan ajaran Islam dan bagi usaha untuk terwujudnya
masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. MUHAMMADIYAH DAN POLITIK Dalam bidang politik
Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan
proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara
operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia
yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera,
bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang
teguh pada kepribadiannya Usaha Muhammadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan bagian gerakannya dalam
masyarakat, dan dilaksanakan berdasarkan landasan dan peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah. Dalam
hubungan ini Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan bahwa: Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah
Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris
dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun Setiap anggota Muhammadiyah
sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan
Muhammadiyah. MUHAMMADIYAH DAN UKHUWAH ISLAMIYAH Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah
akan bekerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan Agama Islam
serta membela kepentingannya. Dalam melakukan kerjasama tersebut, Muhammadiyah tidak bermaksud
menggabungkan dan mensubordinasikan organisasinya dengan organisasi atau institusi lainnya. DASAR PROGRAM
MUHAMMADIYAH Berdasarkan landasan serta pendirian tersebut di atas dan dengan memperhatikan kemampuan dan
potensi Muhammadiyah dan bagiannya, perlu ditetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut: Memulihkan kembali
Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang menghimpun sebagian anggota masyarakat, terdiri dari muslimin dan
muslimat yang beriman teguh, ta'at beribaclah, berakhlaq mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah
masyarakat. Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya
sebagai warga negara, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap
persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat Menepatkan kedudukan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai
gerakan untuk melaksanakan dakwah amar-ma'ruf nahi-mungkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di
segala bidang kehidupan di Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya .



IDEOLOGI DAN STRATEGI MUHAMMADIYAH

IDEOLOGI DAN STRATEGI MUHAMMADIYAH
Drs. H. Hamdan Hambali

BAB I: Pendahuluan
1.      Gagasan dan Pokok Pikiran K.H.A. Dahlan
Setiap organisasi tidak dapat dipisahkan dari pendirinya. Demikian pula muhammadiyah. Ia tidak dapat dipisahkan dari K.H.A.Dahlan mengambil keputusan mendirikan persyarikatan muhammadiyah pada tahun 1912, itu dengan maksud agar gagasan dan pokok-pokok pikiran beliau dapat diwujudkan melalui persyarikatan yang beliau dirikan.
2.      Perlunya Rumusan Gagasan dan Pokok Pikiran K.H.A. Dahlan
Pokok-pokok pikiran formal itu dapat dikelompokkan menjadi dua jenis pokok pikiran, yaitu pokok pikiran yang bersifat ideologis dan pokok pikiran yang bersifat strategis. pokok pikiran yang bersifat ideologis, antara lain: Muqaddimah anggaran dasar Muhammadiyah (Th. 1951), Kepribadian Muhammadiyah (1961), Matan Keyakinan dan cita-cita Hidup Muhammadiyah (1969) dan pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000). Sedang pokok pikiran yang bersifat strategis adalah berupa Langkah Muhammadiyah Tahun 1938-1940, Khittah Muhammadiyah Tahun 1956-1959 (khittah Palembang), Khittah Perjuangan Muhammadiyah Tahun 1969 (khittah Ponorogo), Khittah Muhammadiyah Tahun 1971 (khittah Ujung Pandang), Khittah Perjuangan Muhammadiyah Tahun 1978 (khittah Surabaya), Khittah Muhammadiyah Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Tahun 2002 (khittah Denpasar).
Pokok pikiran yang bersifat ideologis adalah sumber dari prinsip ajaran Islam. Oleh karena itu substansinya bersifat tetap dan tidak berubah. Yang perlu barangkali adalah melakukan pembaharuan rumusan dan pengembangan maknanya, sehingga substans pokok pikiran itu tetap relevan dan komunikatif sepanjang waktu, tanpa mengubah, merevisi atau mengganti nilai-nilai dasar yang terkandung didalamnya.
Sedangkan pokok pikiran yang bersifat strategis yang dalam tradisi persyarikatan disebut khittah perjuangan, ia bersifat dinamis. Artinya khittah perjuangan itu dapat berubah, sesuai dengan terjadinya perubahan situasi dan kondisi yang dihadapi muhammadiyah.

BAB II: Ideologi Muhammadiyah
1.      Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
1.      Hakekat Muqaddimah Anggaran Dasar muhammadiyah
Sebagai sebuah ideologi, Muqaddimah Anggaran Dasar menjiwai segala gerak dan usaha muhammadiyah dan proses penyusunan sistem kerjasama yang dilakukan untuk mewujudkan tujuannya.
2.      Matan muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
Dengan muhammadiyah ini, mudah-mudahan umat Islam dapatlah diantarkan kepintu gerbang syurga Jannatun Na’im dengan keridhaan Allah Yang Maha Rahman dan Rahim.
3.      Penjelasan Muqaddimah anggaran Dasar Muhammadiyah
1.      Landasan /Dasar Muhammadiyah didirikan
Muhammadiyah didirikanberlandaskan dan untuk mewujudkan pokokmpikiran yang merupakan prinsip-prinsip/ pendirian-pendirian bagi kehidupan dan perjuangan. Pokok pikiran/ prinsip/ pendirian yang dimaksud itu adalah hak dan niali hidup mhammadiyah secara ideologis.
2.      Proses lahirnya Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dibuat oleh Ki Bagus H. Hadikusuma (ketua pengurus besar Muhammadiyah Th. 1942-1953) dengan bantuan beberapa sahabatnya. Dan merupakan hasil ungkapan Ki Bagus H. Hadikusuma menyoroti kembali pokok pikiran K.H.A. Dahlan yang merupakan keadaran beliau dalam perjuangan selama hidupnya, yang antara lain hasilnya ialah berdirinya persyarikatan Muhammadiyah.
3.      Kandungan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
1.      pokok pikiran pertama: Hidup manusia harus berdasar tauhid
2.      pokok pikiran Kedua: Hidup manusia itu bermasyarakat
3.      pokok pikiran Ketiga: hanya hukum Allah yang sebenar-benarnyalah satu-satunya yang dapat dijadikan sendi untuk membentuk pribadi yang utama dan mengatur ketertiban hidup bersama (masyarakat) dalam menuju hidup bahagia dan sejahtera yang hakiki, didunia dan akhirat.
4.      pokok pikiran Keempat: berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, adalah wajib, sebagai ibadah kepada Allah berbuat ihsan dan islah kepada manusia/masyarakat.
5.      pokok pikiran Kelima: berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, hanyalah akan berhasil bila dengan mengikuti jejak (ittiba) perjuangan para Nabi terutama perjuangan Nabi Besar Muhammad SAW.
6.      pokok pikiran Keenam: perjuangan mewujudkan pokok pikiran tersebut hanyalah akan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan berhasil, bila dengan cara berorganisasi. Organisasi adalah satu-satunya alat atau cara perjuangan yang sebaik-baiknya.
7.      pokok pikiran Ketujuh: pokok pikiran/ prinsip/ pendirian seperti yang diuraikan dan diterangkan dimuka itu adalah yang dapat untuk melaksanakan ideloginya terutama untuk mencapai tujuan yang menjadi cita-citanya ialah terwujudnya masyaraka yang adil dan makmur lahir dan batin yang diridhai Allah ialah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
2.      Kepribadian Muhammadiyah
1.      Pengertian dan Fungsi Kepribadian Muhammadiyah
Kepribadian Muhammadiyah adalah rumusan yang menggambarkan hakekat Muhammadiyah, serta apa yang menjadi dasar dan pedoman amal usaha dan perjuangan Muhammadiyah serta sifat-sifat yang dimilikinya. Yang berfungsi sebagai landasan, pedoman dan pegangan bagi gerak Muhammadiyah menuju cita-cita terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
2.      Matan kepribadian Muhammadiyah
1.      Apakah Muhammadiyah itu?
Yaitu suatu persyarikatan yang merupakan gerakan Islam , maksud gerakannya ialah dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat.
2.      Dasar dan Amal Usaha Muhammadiyah
Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal uusahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam muqaddimah anggaran dasar yaitu:
1.      Hidup manusia harus berdasar tauhid
2.      Hidup manusia itu bermasyarakat
3.      mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
4.      menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, adalah wajib, sebagai ibadah kepada Allah berbuat ihsan dan islah kepada manusia/masyarakat.
5.      ittiba kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad SAW.
6.      melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.
2.      Pedoman dan Amal usaha Perjuangan Muhammadiyah
“berpegan teguh akan ajaran Allah dan RasulNya, bergerak membangun disegenap bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridhai Allah”.
4.      Sifat Muhammadiyah
1.      beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan
2.      memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah islamiyah
3.      lapang dada, luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam
4.      bersifat keagamaan dan kemasyarakatan
5.      mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan serta dasar da falsafah negara yang sah
6.      amar ma’ruf nahi munkar
7.      aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud islah dan pembangnan sesuai dengan ajaran Islam
8.      kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya.
9.      membantu pemerintahdalam memelihara dan membangu negara untuk mencapai masyarakat yang adl dan makmur yang diridhai Allah
10.  bersifat adil serta korektif kedalam dan keluar dengan bijaksana
3.      Sejarah Perumusan Kepribadian Muhammadiyah
1.      Apakah Kepribadian Muhammadiyah itu?
2.      Memahami Kepribadian Muhammadiyah
3.      Kepada Siapa Kepribadian Muhammadiyah ini Kita Pimpinkan/Berikan?
4.      Bagaimana cara Memberikan/ Menuntunkan?
3.      Keyakinan dan cita-cita Hidup Muhammadiyah
1.      Makna Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah
2.      Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah
3.      Sistematika dan Pedoman untuk memahami Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah
4.      Uraian Secara Singkat Mengenai Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah
4.      Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah
1.      Makna Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah
2.      Kandungan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah
Pendahuluan
1.      Pemahaman
2.      Landasan dan Sumber
3.      Kepentingan
4.      Sifat
5.      Tujuan
6.      Kerangka
Pandangan Islam Tentang Kehidupan
Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah
1.      Kehidupan Pribadi
2.      Kehidupan Dalam Keluarga
3.      Kehidupan Bermasyarakat
4.      Kehidupan Berorganisasi
5.      Kehidupan Dalam Mengelola Amal Usaha
6.      Kehidupan Dalam Berbisnis
7.      Kehidupan Dalam Mengembangkan profesi
8.      Kehidupan Dalam Berbangsa dan Bernegara
9.      Kehidupan Dalam Melestarikan Lingkungan
10.  Kehidupan Dalam Mengembangkan Ilmu dan Teknologi
11.  Kehidupan Dalam Seni dan Budaya
Tuntunan Pelaksanaan
Penutup
BAB III: Strategi Muhammadiyah
1.      Langkah Muhammadiyah Tahun 1938-1940
1. 12 Langkah Muhammadiyah Tahun 1938-1940
2. Tafsir Langkah Muhammadiyah Tahun 1938-1940
B. Khittah Muhammadiyah Tahun 1956-1959 (khittah Palembang)
C. Khittah Perjuangan Muhammadiyah Tahun 1969 (khittah Ponorogo)
D. Khittah Muhammadiyah Tahun 1971 (khittah Ujung Pandang)
E. Khittah Perjuangan Muhammadiyah Tahun 1978 (khittah Surabaya)
F. Khittah Muhammadiyah Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Tahun 2002 (khittah Denpasar)

AKTUALISASI KHITTAH MUHAMMADIYAH DAN FORMAT PERAN POLITIK KEBANGSAAN

Oleh Haedar Nashir
Pengantar
Muhammadiyah berada dalam pusaran kehidupan bangsa dan antar bangsa yang sarat dinamika yang kompleks saat ini. Muhammadiyah sebagai organisasai Islam modernis/reformis terbesar di Indonesia bahkan di dunia memiliki beban sejarah dan tanggungjawab yang besar untuk memainkan peranannya sebagai kekuatan kemasyarakatan (civil society, masyarakat madaniyah) untuk bersama-sama kekuatan nasional yang lain mempercepat proses menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju, adil, makmur, sejahtera, bermartabat, dan berdaulat di hadapan bangsa-bangsa lain. Peran sejarah yang penting dan strategis itu hanya dapat dilakukan manakala Muhammadiyah sendiri berdiri dalam posisi yang benar, tepat, dan memiliki modal sosial yang tinggi sebagai gerakan Islam yang mengemban fungsi dakwah dan tajdid di Republik ini.
Dalam konteks posisi dan peran yang penting serta strategis di kancah nasional dan global itu maka Muhammadiyah dengan berbagai perangkat atau instrumen organisasi yang dimilikinya dituntut untuk melakukan revitalisasi seluruh aspek dan struktur gerakannya sehingga mampu bermain secara dinamik dengan tetap berdiri kokoh di atas fondasi atau prinsip gerakannya. Dalam kaitan ini Khittah sebagai Garis Perjuangan Muhammadiyah dapat diletakkan sebagai bingkai atau pagar gerakan sekaligus difungsikan secara objektif/aktual dalam menjalankan peran kebangsaan dari sudut fungsi gerakan kemasyarakatan. Dengan instrumen organisasi yang penting tersebut gerakan Islam yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan tahun 1912 tersebut bukan dimaksudkan untuk menarik diri atau bersifat anti-kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi sebaliknya menjadi proaktif dan terfokus dalam memainkan peranannya sebagai organisasi kemasyarakatan (sosial-keagamaan) dan bukan sebagai organisasi politik yang memang menjadi fungsi partai politik dalam menjalankan peran-peran kebangsaan non-politik kepartaian. Kini tantangannya ialah bagaimana dengan Khittah justru Muhammadiyah mampu mengoptimalisasikan peranannya sebagai gerakan Islam dalam menjalankan peran kebangsaan melalui jalur non-politik-praktis dan terhindar dari tarikan-tarikan kepentingan politik-kekuasaan yang seringkali menggerus idealisme dan keutuhan sistem gerakan, yang dalam jangka panjang membelokkan gerakan dari cita-cita dan tujuan ideal semula.
Masalah Bangsa
Indonesia sebenarnya memiliki fondasi yang kokoh dan peluang yang terbuka untuk tegak menjadi bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Pertama, Indonesia sebagai bangsa memiliki spirit yang kokoh karena lahir dalam pergulatan perjuangan melawan penjajahan hingga akhirnya merdeka pada 17 Agustus 19945. Kedua, Indonesia memiliki falsafah/ideologi negara Pancasila sebagai konsensus nasional dan mengandung nilai-nilai luhur yang utama untuk acuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, Indonesia memiliki cita-cita nasional yang jelas sebagai visi dan arah untuk membangun dirinya, yaitu yaitu terwujudnya (1) Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur; (2) Perikehidupan kebangsaan yang bebas; dan (3) Pemerintahan Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keempat, Indonesia memiliki potensi dan dayadukung yang besar, yakni: (a) Kondisi geografis, sumberdaya alam, dan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, (b) Jumlah penduduk, sumberdaya manusia, dan kemajemukan budaya yang luar biasa, dan (c) Posisi geopolitik, sejarah,  dan penghargaan dunia terutama sejak awal kemerdekaan yang cukup positif sehingga dipandang sebagai negara besar di wilayah Asia Tenggara.
Potensi dan anugerah Allah yang besar itu tampaknya tersia-siakan, sehingga sampai hari ini Indonesia belum berhasil menjadi negara yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat di hadapan bangsa-bangsa lain. Memang sejumlah kemajuan telah dicapai seperti di bidang demokrasi, integrasi nasional, dan lain-lain, tetapi banyak yang belum optimal dan muncul sejumlah masalah antara lain sebagai berikut. Pertama, ketergantungan Indonesia kepada pihak asing cukup tinggi, karena utang Indonesia hingga saat ini makin besar yakni 165 miliar dolar US (awal reformasi warisan Orde Baru 56 miliar dolar US) atau setara Rp. 1.667 triliuan, dengan cicilan dan bunga yang harus dibayar tahun ini sebesar 101,7 triliun rupiah. Dari berbagai sumber media massa (Kompas, Media Indonesia, Majalah Tempo, dll). Sebagai perbandingan tahun 2004 utang Indonesia R.1.294,8 triliun, tahun 2008 Rp. 1.632  triliuan, dan tahun ini menambah lagi menjadi Rp. 1.667 triliun, sehingga dikatakan pemerintah saat ini sifat “ketagihan utang”.  Kedua,  tingkat pertumbuhan ekonomi mulai naik tetapi tidak disertai pemerataan/keadilan sehingga angka kemiskinan dan pengangguran serta masalah-masalah lainnya tetap tinggi dan menjadi beban nasional yang berat, sehingga perekonomian Indonesia belum memenuhi spirit demokrasi ekonomi. Ketiga, demokrasi yang maju di bidang politik disertai dengan persoalan-persoalan yang belum terintegrasi seperti sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang rancu, multipartai politik yang bermasalah, dan pragmatisme politik yang tinggi, sehingga politik belum menjadi bagian dominan untuk membangun negara yang dicita-citakan, dan lebih banyak menjadi ajangg perjuangan kepentingan kekuasaan dan uang bagi kekuatan-kekuatan maupun elite politik sendiri.  Keempat, masalah-masalah sosial-budaya seperti lemahnya rasa dan ikatan kebangsaan, memudarnya kohesi sosial, disorientasi nilai keagamaan, dan lemahnya mentalitas positif. Kini posisi Indonesia di Asia Tenggara tertinggal dalam banyak hal dari Singapura, Malaysia, dan Thailand, serta lebih disejajarkan dengan Philipina, Vietnam, Kamboja, dan bahkan Papua Noegini. Pandangan tersebut bukan berarti merendahkan bangsa dan tidak percaya pada kemampuan sendiri, tetapi justru sebagai sikap koreksi diri dan pertanggungjawaban objektif agar ke depan Indonesia harus keluar dari masalah dan bangkit menjadi bangsa yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat sebagaimana cita-cita kemerdekaan. Kelima, masalah korupsi disertai gurita mafia hukum, makelar kasus, dan penegak hukum yang korup plus lembaga-lembaga politik yang despotik dan kini mulai terlibat korupsi,  sehingga upaya pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum masih jauh dari harapan dan terkesan masuk dalam lingkaran-setan (vicious circle).
Masalah-masalah yang krusial tersebut memerlukan mobilisasi seluruh potensi banga dan pembersihan seluruh institusi negara dari berbagai borok kelembagaan,  sekaligus memerlukan daya tahan moral bangsa  dan  topangan kepemimpinan nasional yang kuat untuk memecahkannya. Kepemimpinan nasional dalam menghadapi masalah tersebut harus berada dalam level manajemen krisis dan bukan manajemen normal apalagi retorik. Kekuatan-kekuatan nasional termasuk organisasi kemasyarakatan dan keagamaan juga dituntut peranannya yang proaktif dalam memecahkan masalah bangsa sebagai problem solver (pemecah masalah) dan bukan part of problem (bagian dari masalah).  Pada titik inilah pentingnya menggerakkan kembali kemandirian bangsa yang ditopang kekuatan visi dan karakter bangsa sebagai modal nasional jangka panjang, selain mencari pemecahan-pemecahan yang signifikan dan prioritas atas masalah-masalah yang menggumpal tersebut.  Semuanya demi kemajuan Indonesia sebagai bangsa besar di hadapan bangsa-bangsa lain.
Bahwa kemajuan bangsa tergantung pada seluruh komponen rakyat untuk mengubah nasibnya sendiri, sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran: “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu sendiri mengubah dirinya sendiri” (QS Ar-Ra’d: 11). Tetapi secara menyeluruh dan dalam konteks sistem bangsa Indonesia kini dan ke depan memerlukan prakondisi dan faktor-faktor strategis yang penting untuk meraih kemajuan, yaitu: (1) Kepemimpinan yang reformatif, yang mampu memadukan karakter/kepribadian yang kuat dengan kemampuan untuk melakukan perubahan ke arah kemajuan, (2) Good Governance, tata pemerintahan yang baik, yang bebas dari korupsi dan berbagai penyimpangan, serta sepenuhnya berfungsi untuk melayani publik atau hajat hidup orang banyak,  (3) Trust atau kepercayaan, yakni berbagai kondisi mental dan segala hal yang membuat bangsa dan negara Indonesia dipercaya dan memperoleh kepercayaan, baik secara internal maupun eksternal, dan (4)  Karakter bangsa, sebagai prasyarat mentalitas dari seluruh warga negara untuk menampilkan diri sebagai bangsa yang memiki watak dan kepribadian yang kuat, yang ditandai oleh sifat-sifat relijius, moderat, cerdas, dan mandiri (lihat: PP Muhammadiyah, Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa, 2009).
Ranah Politik
Politik secara klasik berkaitan dengan urusan negara atau pemerintahan. Politik dalam ranah yang konkret selalu dikaitkan dengan kekuasaan, termasuk di dalamnya pengaruh dan kekuatan. Politik berkaitan dengan beragam kegiatan manusia dalam sistem politik. Politik sering dikaitkan dengan kepentingan atau seni memperjuangkan kepentingan. Politik juga  menyangkut nilai, yakni alokasi nilai yang dipandang berharga untuk diperjuangkan dalam kehidupan masyarakat, yang nilai itu sering direduksi menjadi nilai kekuasaan dan kepentingan.  Politik tidak pernah lepas dari denyut nadi masyarakat sebagai makhluk politik.
Politik itu penting dan strategis karena menyangkut urusan negara atau pemerintahan dalam arti luas. Namun politik dalam konteks negara atau pemerintahan itu tidaklah sekadar urusan perjuangan kekuasaan (power struggle) semata sebagaimana yang tumbuh kuat dalam alam pikiran sebagian masyarakat. Perrjuangan kekuasaan tersebut yakni menyangkut perjuangan who gets what, when and how (siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana caranya) seperti pandangan Harold Lasswell. Dalam pandangan Lasswellian politik terfokus pada bagaimana memperjuangkan kursi kekuasaan yakni memperoleh, memupuk, dan melanggengkan kekuasaan dalam pemerintahan. Politik yang demikian sering disebut dengan politik-praktis atau real politics, yang lazimnya menjadi fungsi atau peran utama partai politik.
Padahal dalam arti atau cakupan yang luas politik itu selain berurusan dengan perjuangan kekuasaan, tidak kalah pentingnya menyangkut pengoperasian negara, yaitu bagaimana negara atau pemerintahan  itu diurus atau dikelola dengan benar (how to manage state). Politik juga menyangkut penentuan kebijakan umum (public policy), yakni menentukan keputusan-keputusan praktis dan strategis untuk kepentingan hajat hidup rakyat. Politik dikaitkan pula dengan urusan kepentingan umum (public interst), yakni bagaimana hajat hidup orang banyak tertutama warganegara diperjuangkan. Politik terkait pula dengan urusan kebaikan atau kebajikan umum (public goods), yakni tegaknya hal-hal yang baik bagi kepentingan orang banyak seperti tegaknya keadilan, kebenaran, moral, dan hal-hal yang positif secara objektif dan dibutuhkan masyarakat luas. Dengan cakupan politik yang demikian maka politik sebenarnya tidak terbatas pada perjuangan kekuasaan belaka, juga tidaklah kotor, sebagaimana menjadi bias atau stigma tentang politik. Namun dalam praktiknya memang sering dijumpai politik dalam makna kekuasaan dan kotor itu, yang melahirkan adagium the end justifies the means, tujuan menghalalkan cara. Hal itu terjadi karena politik dicandra dalam proses dan kepentingan yang serba pragmatis dan menjurus menjadi pragmatisme, sehingga nilai-nilai politik yang ideal dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan kegunaan yang beraroma perjuangan kekuasaan belaka.
Dalam politik juga tidak boleh dilupakan faktor orang atau manusianya. Faktor aktor atau pelaku yang bertindak menentukan apakah politik itu menjadi serba pragmatis atau tidak. Politik itu pada dasarnya baik sebagaimana aspek kehidupan lainnya, tetapi politik menjadi kotor karena dikotori oleh pelakunya, di mana hukum seperti ini berlaku untuk ranah kehidupan lain termasuk agama. Politik dalam tradisi Islam itu “sawasa al-amr”, mengurus urusan dengan sebaik-baiknya. Menurut Ibn ‘Aqil, as-siasatu ma kana fa’ala yakunu minhu al-nasu aqrabu ila al-shalah wa ab’adu ‘an al-fasad, wa an lam yakun yasyra’ahu al-Rasulu wa la nazala bihi wahyu (Politik itu adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, kendati Rasulullah  tidak menetapkannya dan Allah SWT tidak mewahyukannya). Muhammadiyah memandang politik sebagai alat perjuangan Islam melalui kekuasaan negara, yang termasuk dalam wilayah al-umur al-dunyawiyyat. Karena itu perjuangan politik harus ditempuh oleh para kader politik Muhammadiyah dengan segenap kemampuan dan komitmen yang tinggi.
Politik juga menjadi serba pragmatis dalam cakupan semata perjuangan kekuasaan yang naif ketika sistem politik di suatu negara belum mapan dan kondisi kehidupan bangsa dan negara sarat dengan masalah-masalah struktural. Dalam sistem politik yang masih tradisional, transisi, dan rentan tumbuh pragmatisme politik yang meluas tanpa proses kendali yang objektif dari sistem dan warga negara. Semakin demokratis suatu negara yang ditopang oleh sistem hukum yang baik dan kemakmuran rakyat yang tinggi maka politik menjadi lebih positif dan kondusif sebagaimana fungsinya yang luas. Dalam masyarakat atau negara yang masih rapuh atau lembek (soft state), politik pun sebagaimana hukum dan lain-lain ikut menjadi lembek dan rimba. Politik sekadar menjadi alat perjuangan kekuasaan dan para aktor yang berkuasa menjadi ajimumpung dengan kekuasaannya, sehingga lahirlah praktik kesewenang-wenangan atau penyelewengan kekuasaan sebagaimana teori Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power tends absolutely (kekuasaan itu cenderung sewenang-wenang atau menyimpang, dan kekuasaan yang abolut cenderung menjadi sewenang-wenang atau menyimpang secara absolut pula). Inilah hukum rimba atau primitif politik dalam praktik maupun alam pikiran, yang membuat Muhammad Abduh bersumpah: aku berlindung kepada Allah dari politik dan apa-apa yang terkait dengannya.
Namun politik memang penting dan strategis, kerana itu tidak dapat dinegasikan apalagi dibuang jauh-jauh dari kehidupan. Kini yang diperlukan ialah bagaimana menegakkan politik yang sehat dan para pelaku politik yang sama sehatnya, sehingga politik menjadi alat strategis untuk sebesar-besarnya kemaslahatan hidup umat manusia.  Dalam kaitan inilah Muhammadiyah mencoba memilah atau melakukan pembagian kerja antara ranah politik kekuasaan yang menjadi fungsi-tugas kekuatan-kekuatan politik yakni partai politik dan politik kemasyarakatan atau kebangsaan yang menjadi fungsi-tugas kelompok-kelompok kepentingan (interst groups).
Dalam kaitan inilah sejak awal Muhammadiyah lebih memilih perjuangan membangun bangsa dan negara melalui jalur gerakan kemasyarakatan non-politik-praktis atau di luar perjuangan partai politik. Pilihan politik yang demikian bukan karena Muhammadiyah alergi atau anti-politik dan bukan pula karena kekalahan di ranah politik, tetapi sejak awal memang Muhammadiyah diproyeksikan untuk menjadi gerakan Islam yang berjuang di lapangan dakwah dan tajdid kamasyarakatan serta tidak menjadi gerakan atau kekuatan politik sebagaimana lembaga partai politik. Dalam banyak pandangan tumbuh keyakinan, bahwa politik terlalu penting hanya menjadi urusan perebutan kekuasaan dan diserahkan kepada partai politik serta politisi semata. Kekuatan-kekuatan civil-society dengan peran politik kebangsaannya tidak kalah pentingnya untuk membangun bangsa dan negara mencapai tujuannya.
Namun perlu diingat betapapun kekuatan cicil-society berperan sebagaimana mestinya dalam membangun bangsa dan negara, pada saat yang sama semestinya partai politik pun berfungsi signifikan dalam membangun bangsa dan negara di jalurnya. Beban bangsa Indonesia sebenarnya dapat lebih ringan manakala partai-partai politik memainkan peranan sebagaimana mestinya, yang keseluruhan orientasinya untuk membangun bangsa dan negara sesuai cita-cita nasional. Partai politik tidak sekadar melakukan perjuangan meraih, menduduki, dan mempertahankan kekuasaan di pemerintahan meskipun hal itu memang pekerjaan utama partai politik secara legal. Partai politik juga dituntut melakukan pendidikan politik dan mengoperasikan fungsi-fungsi politik negara yaitu mengelola pemerinatahan dengan benar, merumuskan dan menentukan kebijakan-kebijakan publik,  menegakkan kebajikan-kebajikan politik, yang semuanya dihajatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat dan negara. Partai politik juga perlu menjunjung tinggi fatsoen atau tatakrama dan moral politik, sehingga dalam memperjuangkan kekuasaan tidak terjebak pada penghalalal segala cara demi mencapai tujuan. Apa yang disaksikan di negeri ini partai politik cenderung makin terjebak pada pragmatisme politik, sehingga fungsi-fungsi politik yang utama seolah terabaikan dan terkalahkan oleh hasrat kekuasaan meraih, menduduki, dan mempertahankan kekuasaan.
Partai politik sebagaimana berlaku dalam sistem politik modern juga diharapkan profesional, yakni  terfokus pada perjuangan politik sesuai fungsi-fungsi partai politik modern. Memang pasca reformasi terdapat ruang untuk tumbuh dan berkembangnya partai politik ideologis termasuk yang berbasis keagamaan, tetapi semestinya tidak bersifat ganda yang menghimpitkan fungsi partai politik dan organisasi keagamaan atau keormasan, sehingga menjadi tumpang-tindih dan membuka peluang konflik kepentingan dan konflik horizontal dengan kekuatan-kekuatan masyarakat. Sekilas secara dalam pandangan ideologis tertentu penghimpitan parpol dan ormas dalam satu tubuh seolah ideal, terutama dari sudut pandang politik keagamaan atau ideologi keagamaan yang monolitik. Tetapi dalam jangka panjang selain menimbulkan konflik dan benturan kepentingan yang tajam di masyarakat, pada saat yang sama beban politik dan ideologis pun menjadi semakin berat atau kental sehingga dapat memberi peluang untuk pragmatisme politik yang kian kuat dan sarat ambisi berlebihan, yang pada akhirnya akan menjadikan politik menjadi serba absolut sekaligus menghalalkan segala cara karena harus “mengejar setoran”  melampaui takaran untuk kepentingan politik-kekuasaan di ranah negara atau pemerintahan sekaligus kesuksesan gerakan kemasyarakatan-keagamaan di ranah masyarakat. Pembagian kerja antara partai politik dan organisasi kemasyarakatan secara tegas jauh lebih realistik, produktif, dan mencegah konflik yang keras, yang sebenarnya kurang begitu cocok bagi budaya politik Indonesia maupun kultur dan sistem politik modern.
Khittah Politik
Khittah Muhammadiyah sering dianggap oleh sebagian kalangan sebagai “biang” alergi dan anti-politik, bahkan membuat gerakan Islam ini “banci” atau ambigu dalam menghadapi politik, maksudnya politik kekuasaan dalam makna perebutan kursi kekuasaan di pemerintahan. Dengan Khittah itu Muhammadiyah menjadi pasif, bahkan tidak ada jalan keluar sebaiknya bagaimana peran politik Muhammadiyah. Muhammadiyah bahkan dipandang tidak memiliki konsep politik yang jelas, cenderung sekuler karena memisahkan politik dari gerakannya. Dipandang pula Muhammadiyah menjauhi politik itu sebagai bentuk keputusasaan atau marjinalisasi (peminggiran) diri dari dinamika politik yang sesungguhnya jauh lebih penting ketimbang dakwah.
Pandangan yang demikian mungkin ada benarnya dilihat dari satu sudut kepentingan politik-praktis, yakni politik yang berorientasi pada perjuangan merebut, menggunakan, dan mempertahankan kekuasaan politik di pemerintahan. Para politisi pada umumnya berada dalam posisi yang berpandangan demikian. Hal itu tentu wajar karena di satu pihak politik-kekuasaan memang penting dan para politisi maupun partai politik memerlukan dukungan politik dari kekuatan-kekuatan masyarakat seperti Muhammadiyah. Namun bukan berarti Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan harus mengubah diri menjadi partai politik, memberikan dukungan proaktif atau mendirikan partai politik, maupun terlibat dalam perjuangan politik-praktis sebagaimana fungsi partai politik. Muhammadiyah melakukan pilihan politik untuk tidak berpolitik-praktis itu justru sebagai langkah sadar sejak awal bahwa perjuangan politik-praktis memang bukan niat awal Muhammadiyah. Tentu plus-minus dari pilihan itu tetapi itulah sebuah pilihan gerakan, sebab menjadi partai politik atau terlibat dalam perjuangan politik-praktis pun sama plus-minusnya, sehingga posisi yang demikian wajar adanya dan perlu dihormati sebagai suatu pilihan gerakan yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi objektivitas politik maupun idealisme gerakan.
Pandangan yang terlalu pro-politik dan menegasikan peran Muhammadiyah tersebut lebih-lebih dengan memandang Khittah sebagai “biang” kesulitan Muhammadiyah, sesungguhnya juga tidak tepat jika dipahami Khittah dalam spirit dan konteks gerakan Muhammadiyah secara keseluruhan. Lebih-lebih dengan Khittah Denpasar tahun 2002 tentang Khittah Berbangsa dan Bernegara, di dalamnya terkandung pandangan sekaligus garis dan alternatif langkah Muhammadiyah dalammenghadapi politik. Dalam telaahan penulis, Khittah Denpasar merupakan konsep yang cukup mewakili dari seluruh Khittah sebelumnya termasuk Khittah tahun 1971, yang memberikan sinyal pandangan Muhammadiyah tentang politik, posisi Muhammadiyah dalam politik, dan pilihan jalan keluar dari tidak berpolitik-praktis. Khittah Denpasar sebenarnya merupakan Khittah utama yang dapat menjadi bingkai pandangan, pembatas, sekaligus jalan keluar bagi Muhammadiyah dalam menghadapi politik.
Khittah apapun penting karena dengan Khittah itu terdapat garis atau bingkai pembatas mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan Muhammadiyah, yang mengikat seluruh anggota lebih-lebih pimpinannya. Boleh jadi Khittah sebaik apapun masih memiliki kelemahan atau melalui Khittah terdapat plus-minus dari gerakan Muhammadiyah. Namun Khittah tetap diperlukan baik karena sudah menjadi garis resmi organisasi yang tentu saja lahir karena pengalaman yang panjang suka-duka yang dialami Muhammadiyah maupun karena dipandang sejalan dengan jatidiri gerakan ini sejak awal, sehingga telah menjadi bagian dari prinsip atau manhaj gerakan Muhammadiyah. Hal yang diperlukan ialah konsistensi komitmen dari anggota Muhammadiyah untuk menjadikan Khittah benar-benar sebagai garis pembatas dan pembingkai gerakan Islam ini dalam menghadapi dunia kehidupan politik.
Dalam kasus tertentu boleh jadi terdapat kebijakan atau pilihan organisasi yang berbeda dari Khittah karena pertimbangan-pertimbangan darurat atau situasional, sejauh hal itu dilakukan secara kelembagaan melalui mekanisma organisasi yang diproses secara matang demi mencegah kedaruratan atau karena kepentingan yang lebih besar,  tentu dapat dibenarkan sebagai bentuk fleksibilitas organisasi. Tetapi semestinya secara umum tetap mengacu atau mempertimbangkan Khittah dan prinsip organisasi sehingga tidak melampaui batas garis gerakan. Para kader atau elite pimpinan dalam menerjemahkan kebijakan organisasi pun dituntut kearifan, kecerdasan, dan etika organisasi agar kebijakan organisasi tidak keluar jauh dari koridornya karena apapun Muhammadiyah itu merupakan organisasi Islam yang besar dan menjadi amanah sejarah perjuangan umat Islam dan bangsa Indonesia yang harus tetap dijaga eksistensi, keutuhan, dan komitmen utama gerakannya. Muhammadiyah tidak boleh menjadi lahan pertaruhan politik dan karena itu diperlukan Khittah Perjuangan.
Adapun Khittah Denpasar tahun 2002 atau Khittah Muhammadiyah dalam Berbangsa dan Bernegara yang bersifat lengkap itu berisi sembilan butir pernyataan pokok, yaitu sebagai berikut:
(1)    Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.
(2)    Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan di mana nilai-nilai Ilahiah melandasi dan tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, kebersamaan, dan keadaban untuk terwujudnya “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”.
(3)    Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.
(4)    Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis atau berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara. Dalam hal ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945.
(5)    Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.
(6)    Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.
(7)    Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.
(8)    Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar.
(9)    Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban.
Peran Politik
Khittah Muhammadiyah bagaimanapun lengkapnya tidaklah sempurna, selalu terdapat celah kekurangan. Tetapi dengan Khittah terdapat garis pembatas sekaligus bingkai bahwa Muhammadiyah sejatinya berposisi dan berperan sebagai organisasi kemasyarakatan (sosial-keagamaan) yang bergerak dalam lapangan pembangunan masyarakat,  sebaliknya Muhammadiyah bukanlah organisasi politik atau yang berperan sebagaimana organisasi politik seperti halnya partai politik dengan segala aktivitasnya dalam perjuangan kekuasaan di ranah negara atau pemerintahan. Namun baik organisasi kemasyarakatan maupun organisasi politik melalui jalur yang berbada tetap bertemu dalam satu titik yaitu bersama-sama membangun bangsa dan negara. Karenanya baik ormas keagamaan/kemasyarakatan maupun partai politik memiliki posisi dan peran yang berbeda tetapi sama-sama penting dan strategis dalam membangun kehidupan bangsa dan negara.
Muhammadiyah akan menjadi salah posisi dan tidak tepat manakala dipandang dan diposisikan dari sudut partai politik atau kepentingan perjuangan kekuasaan yang bersifat praktis. Partai politik dan perjuangan politik kekuasaan itu sendiri memang penting dan strategis tetapi juga bukan segala-galanya.  Urusan bangsa dan negara terlalu penting hanya diserahkan dan menjadi garapan partai politik dan sekadar kepentingan perjuangan kekuasaan belaka. Lebih dari itu kenyataan juga menunjukkan bahwa kehidupan partai politik dan perjuangan politik kekuasaan sebagaimana menjadi agenda utama urusan politik tidaklah serba ideal sebagaimana dibayangkan oleh para pendukung politik praktis. Dalam sejumlah hal, untuk tidak menyatakan banyak hal, ranah politik kekuasaan bahkan seringkali sarat masalah, sehingga bukan sekadar dunia yang indah. Seorang pimpinan partai politik di negeri ini berangkat dari pengalamannya di lapangan bahkan sempat menyatakan bahwa politik itu dalam praktiknya sungguh jahat dan kotor, kendati tentu saja dalam sisi lain politik itu juga menunjukkan nilai luhur terutama ketika dibingkai moral dan sepenuhnya memperjuangkan hajat hidup bangsa dan negara.
Jika sebagian pandangan menyatakan hasil kerja politik itu luar biasa bagaikan memancing ikan hiu, sedangkan dakwah sekadar mengail ikan teri, sesungguhnya tidak selamanya demikian. Ketika menang memang besar ikan tangkapannya, tetapi manakala kalah juga tak kalah besar jatuh dan bangkrutnya. Ormas-ormas Islam yang di masa lalu jaya kemudian berubah menjadi partai politik pada akhirnya juga tenggelam, atau ketika menjadi partai politik kemudian sarat masalah sedangkan urusan dakwah kemasyarakatannya terlantar. Partai politik Islam yang di masa lalu jaya kemudian mati dan menjadi beban sejarah atau partai-partai politik yang demikian ideal sejak awal tetapi setelah di perjalanan bagaikan kacang lupa kulit, sehingga resikonya pun tak kalah bera. Kerja politik dapat menghasilkan menteri atau posisi strategis di kekuasaan, tetapi pada saat yang sama kehilangan menteri atau jabatan kekuasaan karena tawar menawar politik selalu disertai pertukaran kepentingan, akhirnya dapat satu kehilangan satu. Perjuangan di ranah politik pun selalu diwarnai prgamatisasi yang luar biasa sehingga konlik, intrik, saling jegal, politik uang, dan masalah-masalah perebutan kepentingan menjadi sangat vulgar dan terbuka. Hal-hal yang demikian jangan diabaikan dari neraca politik, sehingga dunia politik kendati sekali lagi penting dan strategis, tidak seindah sebagaimana yang diagungkan para pejuang politik kekuasaan.
Adapun gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan memang kelihatan genggaman tangannya tak seberapa, mungkin kecil dan mengais-ngais. Tetapi dalam jangka panjang sering tidak kalah besar hasil dan manfaatnya. Kalau berandai-andai bahwa Muhammadiyah menjadi partai politik atau terus bergumul dalam perjuangan politik mungkin meraih sukses besar, tetapi juga terbuka kemungkinan bangkrut besar sehingga tidak seperti sekarang memiliki 171 perguruan tinggi, ribuan sekolah dan taman kanak-kanak, puluhan rumah sakit, ratusan balai pengobatan dan panti asuhan, dan lebih penting lagi masih mengakar di masyarakat luas dengan kepercayaan yang melekat di dalamnya. Ketika sesekali masuk ke ranah perjuangan atau dukungan politik, sering dengan mudah kritik dan peluruhan kepercayaan mengemuka ke ruang publik. Muhammadiyah juga tidak akan memiliki basis sosial yang kuat dalam berdakwah, sehingga boleh jadi kehilangan kepercayaan dari umat atau masyarakat, yang lama kelamaan surut dan mengecil sebagaimana ormas Islam yang lebih dulu lahir dan kemudian nyaris hilang dari peredaran. Pertimbangan yang demikian juga perlu dikemukakan dan menjadi perhatian agar tidak dengan mudah menegasikan posisi dan peran penting Muhammadiyah karena demikian kuat hasrat membawa gerakan Islam ini masuk ke kancah perjuangan politik-praktis baik langsung maupun tidak langsung. Politik sekali lagi penting dan strategis, tetapi juga ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lebih-lebih dakwah kemasyarakatan tak kalah penting dan strategisnya manakala ditekuni, digarap, dikelola, dan diperjuangkan sepenuh hati dengan istiqamah.
Karena itu, Muhammadiyah baik dengan Khittah maupun tanpa Khittah, sesungguhnya telah berada di jalur yang tepat, sebagaimana pihak atau organisasi lain yang mengambil jalur perjuangan politik sama tepatnya, manakala semuanya dilakukan dengan terfokus, optimal, sungguh-sungguh, dan lebih penting lagi dengan mengerahkan segala potensi dan berpijak pada idealisme. Kepalan tangan yang kecil dalam jalur gerakan dakwah kemasyarakatan manakala disatukan dari ratusan ribua hingga jutaan warga Muhammadiyah dalam menyangga gerakan Islam ini insya Allah akan melahirkan karya amaliah yang luar biasa.
Dalam posisi yang demikian maka sebagaimana Khittah Denpasar, Muhammadiyah dengan tetap berada dalam kerangka gerakan dakwah dan tajdid yang menjadi fokus dan orientasi utama gerakannya, dapat mengembangkan fungsi kelompok kepentingan atau sebagai gerakan sosial civil-society dalam memainkan peran berbangsa dan bernegara tanpa harus bergumul dalam kancah perjuangan politik-praktis sebagaimana partai politik. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial-keagamaan yang memerankan fungsi kelompok kepentingan sebagai kekuatan masyarakat madaniah merupakan format yang tepat dalam memainkan peran politik-kebangsaan untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, sejahtera, bermartabat, dan berdaulat sebagaimana cita-cita nasional kemerdekaan tahun 1945.
Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan dapat memainkan peran politik lobi, komunikasi politik, sosialisasi politik, pendidikan politik, melakukan kritik atau tekanan publik, dan distribusi kader politik atau kader profesional lainnya yang dapat masuk ke seluruh lini pemerintahan. Peran kelompok kepentingan tersebut dengan tetap dilakukan berdasarkan spirit dakwah al-amr bi al-ma’ruf wa nahyu ‘an al-munkar, yang dilakukan dengan pendekatan berwajah kultural dan tidak sebagaimana peran politisi dan partai politik yang sering bersifat serba terbuka, vulgar, dan sarat tawar menawar kepentingan yang bersifat pragmatis. Dalam menjalankan fungsi kelompok kepentingan tersebut dapat dilakukan melalui kelembagaan sesuai mekanisme yang  berlaku dalam Muhammadiyah maupun perseorangan dengan tetap menjunjung tinggi prinsip, etika, dan kepentingan Muhammadiyah.
Kendati fungsi kelompok kepentingan sebagai aktualisasi peran politik kebangsaan selaku kekuatan masyarakat madaniyah dan wujud dari peran amar makruf dan nahi munkar, Muhammadiyah dan para pelaku gerakannya tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip  dan etika organisasi termasuk di dalamnya komitmen pada Khittah Muhammadiyah. Tidak boleh karena alasan menjalankan fungsi kelompok kepentingan kemudian terjebak pada langkah politik-praktis dan menjadikan organisasi sebagai pertaruhan politik, karena sampai batas tertentu pula melalui fungsi kelompok kepentingan akan terjadi proses politik-praktis manakala tidak dijaga jarak dan keseimbangan dalam menjalankannya. Baik dalam mendukung (amar makruf) maupun mengkritisi (nahi munkar) kebijakan pemerintah misalnya manakala dilakukan melampaui garis Khittah dan kepatutan organisasi maka pada akhirnya akan bermuara pada proses politik-praktis pula. Hingga di sini faktor etika gerakan dan kearifan dalam menjalankan fungsi kelompok kepentingan dari para pelaku gerakan menjadi penting dalam Muhammadiyah. Segala sesuatu dan langkah harus tetap berada dalam koridor organisasi dan tidak melampaui batas  takaran. Hal tersebut kelihatan rumit atau konservatif tetapi apapun dalam menjalankan amanah organisasi memang perlu garis pembatas, kearifan, dan pertimbangan yang matang karena menyangkut sistem dan amanat gerakan yang tidak boleh dipertaruhkan dengan sembarangan tanpa mekanisme dan etika organisasi yang membingkai.
Kesantunan, objektivitas, moralitas atau akhlak, dan kearifan dalam  menjaga batas-batas prinsip gerakan maupun dalam menjalankan fungsi kelompok kepentingan tetap diperlukan dari seluruh pelaku gerakan Muhammadiyah. Hindari pemaksaan kehendak, berjalan sendiri tanpa memperhatikan koridor organisasi, dan sikap berlebihan atau melampaui takaran dalam menjalankan fungsi politik kepentingan atasnama Muhammadiyah. Sebab manakala peran atau fungsi kelompok kepentingan itu dilakukan melampaui takaran atau kebablasan maka proses dan hasil akhirnya akan sama dengan fungsi atau peran partai politik dan masuk ke kancah atau jalur perjuangan politik-praktis.  Pada situasi yang demikian maka selain selalu memperhatikan spirit dan binkai Khittah maupun prinsip-prinsip organisasi yang selama inimenjadi manhaj gerakan Muhammadiyah, pada saat yang sama perlu dikedepankan kearifan dan etika dari para elite atau pelaku gerakan kelompok kepentingan dan Muhammadiyah secara keseluruhan. Di sinilah integrasi antara koridor organisasi dan akhlak politik  setiap anggota Muhammadiyah sebagaimana terkandung dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah menjadi sangat penting dan harus menjadi pijakan bagi setiap kader, elite,dan pimpinan Persyarikatana dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam mengoptimalkan peran Muhammadiyah dalam politik kebangsaan dapat dikembangkan pula jaringan kader politik kebangsaan, baik yang berada dan melalui jalur partai politik dan lembaga legislatif, maupun di jalur lembaga eksekutif dan yudikatif serta lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.  Jika secara kelembagaan Muhammadiyah tidak memainkan fungsi politik-praktis, maka secara fungsional dan non-institusional dapat dikembangkan jaringan kader politik sebagai langkah pengembangan potensi kader di berbagai struktur kelembagaan di luar organisasi. Pengembangan jaringan kader politik atau kader kebangsaan tersebut berfungsi sebagai kepanjangan tangan atau anak panah gerakan Muhammadiyah. Dengan demikian sekaligus dapat dipecahkan kesenjangan hubungan antara kader politik / kader bangsa dengan Persyarikatan yang selama ini sampai batas tertentu menjadi keluhan sementara pihak. Lebih jauh lagi melalui jaringan kader politik kebangsaan tersebut dapat diptimalkan misi Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui para kadernya di ranah kebangsaan.
Agar peran kader politik kebangsan tersebut dapat dioptimalkan bagi kepentingan misi Muhammadiyah maka diperlukan usaha-usaha pemahaman misi ideologi gerakan bagi para kader bangsa tersebut.  Muhammadiyah tentu akan terus mendorong para kadernya yang berkiprah di dunia politik-praktis maupun di berbagai jalur kehidupan lainnya secara positif, karena dakwah memang memerlukan penyangga dari seluruh lini dan struktur kehidupan. Namun para kader politik  atau kader bangsa dari Muhammadiyah tersebut seyogyianya terus memupuk idealisme, prinsip, etika, dan modal dasar yang kuat atau memadai untuk berkiprah di ranah politik-praktis atau di ranah kebangsaan,  selain faktor kemampuan-kemampuan objektif yang diperlukan sebagaimana layaknya pelaku politik yang idealis dan profesional.
Peran kader Muhammadiyah dalam politik kebangsaan yang perlu dikembangkan antara lain sebagai berikut: (1) Membawa dan mengaktualisasikan misi dan usaha Muhammadiyah secara objektif dan inklusif; (2) Memelihara integritas, komitmen, dan akhlak atau moral politik sebagaimana Kepribadian dan Pedoman Hidup Islami serta nilai-nilai yang berlaku dalam Muhammadiyah; (3) Ketika berkiprah dan berada dalam lingkungan internal Muhammadiyah lebih menunjukkan ke-Muhammadiyahan-nya daripada kepartaiannya, meski menjadi politisi tentu saja perlu meraih simpati, dukungan, dan trust dari warga Muhammadiyah; (3) Memberikan dukungan dan topangan terhadap kepentingan Muhammadiyah melalui kiprahnya di dunia politik di ranah perjuangan kekuasaan/pemerintahan; (4) Menjadi politisi yang benar-benar sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah dengan mengedepankan kewajiban dan tugas utama sebesar-besarnya memperjuangkan kepentingan rakyat; (5) Berkiprah optimal dalam memajukan bangsa dan negara sehingga Indonesia menjadi bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat sebagaimana cita-cita nasional yang diletakkan oleh para Pendiri Bangsa dan tertuang dalam Pembukaan UUD tahun 1945.
Penutup
Muhammadiyah dengan Khittah dan manhaj gerakan yang melandasai serta membingkainya dapat memainkan peran kebangsaan secara lebih proaktif melalui aktualisasi kerja-kerja dakwah kemasyarakatan yang lebih progresif, baik untuk memperkuat basis civil-society maupun penguatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam menghadapi tuntutan dinamika kebangsaan yang semakin kompleks dan memerlukan peran-peran proaktif dari kekuatan-kekuatan kemasyarakatan, Muhammadiyah dapat mengembangkan fungsi kelompok kepentingan dan pengembangan jaringan kader politik kebangsaan melalui berbagai aktivitas/partisipasi berbangsa dan bernegara. Dengan peran-peran kemasyarakatan dan kebangsaan yang lebih artikulatif maka diharapkan Muhammadiyah dapat mempengaruhi kehidupan bangsa dan negara sesuai dengan misi dan tujuannya sekaligus memajukan kehidupan nasional yang sejalan dengan cita-cita kebangsaan/kemerdekaan.
Karena itu seluruh elemen dalam Muhammadiyah perlu meningkatkan fungsi-fungsi gerakan dalam menyangga peran Persyarikatan dalam kehidupan bangsa dan negara. Dengan demikian Khittah tidak menjadi kendala, sebaliknya justru memperkuat artikulasi peran politik kebangsaan Muhammadiyah menuju terwujudnya Indonesia sebagai bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, sejahtera, bermartabat, dan berdaulat di hadapan bangsa-bangsa lain. Karena itu Muhammadiyah pun perlu memperbesar kapasitas dirinya agar menjadi kekuatan yang berada di garis depan bersama kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya. Indonesia yang besar dan memiliki peluang untuk tumbuh dan berkembang menjadi negara maju di berbagai bidang kehidupan, memerlukan penyangga dari seluruh kekuatan nasional, baik kekuatan organisasi kemasyarakatan maupun kekuatan-kekuatan politik nasional. Namun negara dan bangsa ini terlampau penting jika urusannya hanya digantungkan dan diserahkan pada kekuatan-kekuatan politik belaka, tanpa keterlibatan proaktif dari kekuatan-kekuatan kemasyarakatan seperti Muhammadiyah.
Dalam lalulintas dinamika politik yang luar biasa dan permasalahan serta agenda bangsa yang semakin kompleks, maka sesungguhnya baik bagi partai-partai politik maupun organisasi kemasyarakatan sesuai fungsinya masing-masing justru diperlukan pembagian kerja dan kerjasama yang semakin konstruktif. Energi politik dan sosial yang dimiliki bangsa ini perlu disinergikan dan dimobilisasi secara optimal demi kemajuan dan kejayaan bangsa. Sebaliknya praktik-praktik politik dan sosial yang konvensional atau tidak sejalan dengan sistem politik modern yang demokratis semakin ditinggalkan menuju tata peradaban baru Indonesia yang lebih unggul. Bangsa ini tidak akan maju pesat manakala terlalu banyak beban politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang  ongkosnya terlalu tinggi dan kontraproduktif.
Dalam dinamika dan tuntutan kehidupan kebangsaan yang demikian kompleks dan sarat tantangan itu maka peran Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan-kemasyarakatan dengan fungsi moral-force atau kelompok kepentingan yang dapat dimainkannya secara optimal merupakan keniscayaan yang signifikan bagi Muhammadiyah sendiri maupun masa depan bangsa yang lebih baik ketimbang berkutat pada dilema berpolitik-praktis yang penuh pertaruhan. Kini yang diperlukan ialah mobilisasi seluruh potensi yang dimiliki dan perankan fungsi-fungsi keormasan secara otimal baik dalam penguatan masyarakat madaniyah maupun dalam mempercepat kemajuan bangsa secara keseluruhan. Di sinilah dengan tetap berpijak pada Khittah pentingnya kepekaan, orientasi advokasi, dan partisipasi politik-kebangsaan secara lebih artikulatif diperlukan dari para anggota atau elite Muhammadiyah dalam memperkuat posisi dan peran gerakan Islam ini dalam memajukan kehidupan bangsa dan negara.
Khittah berfungsi sebagai garis pembatas dan pembingkai Muhammadiyah agar tetap berada di koridornya yakni bergerak di bidang dakwah dan tajdid di lapangan kemasyarakatan, serta tidak bergerak dalam politik-praktis di ranah perjuangan kekuasaan sebagaimana partai politik. Tetapi dengan Khittah itu Muhammadiyah dapat memainkan fungsi kelompok kepentingan atau kekuatan moral dan proaktif dalam dinamika politik kebangsaan, dengan tetap pelaksanannya berpijak pada prinsip-prinsip organisasi dan etika gerakan yang berlaku dalam Muhammadiyah.  Khittah jangan dijadikan penghalang untuk warga Muhammadiyah dalam berperan aktif memajukan kehidupan bangsa dan negara menuju Indonesia yang lebih baik dan bermartabat sejauh semuanya dilakukan secara organisatoris dan berpijak pada prinsip-prinsip gerakan Muhammadiyah. Tetapi berperan dalam kehidupan bangsa dan negara juga bukanlah pekerjaan serampangan yang boleh dilakukan dengan liar (oportunisme) tanpa idealisme, bingkai, dan orientasi yang jelas sebagaimana prinsip dan cita-cita utama Muhammadiyah untuk menjadikan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di negeri tercinta ini. Peran yang demikina  memang tidak mudah tetapi di situlah tantangan bagi Muhammadiyah dan para pelaku gerakannya dan untuk itulah kita diberi anugerah akal-sehat untuk terus berikhtiar dalam kehidupan yang kadang sarat tarik-menarik yang tidak sederhana. Namun sejauh komitmen dan ikhtiar terus dilakukan serta ditopang oleh kolektivitas dan sistem yang solid  maka akan banyak jalan menuju kesuksesan bagi Muhammadiyah dalam menjalankan misi gerakan untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana janji Allah:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik  (QS Al-Ankabut [29]: 69).

KHITTAH PERJUANGAN PEMUDA MUHAMMADIYAH

I. Pendahuluan
Secara etimologis, kata khittah berasal dari derivasi bahasa Arab- خِـطةً - يَخُطﱡ –  خَطﱠ yang berarti rencana, jalan, atau garis (Kamus Al-Munawwir). Dengan demikian, khittah perjuangan dapat diartikan sebagai rencana, jalan, atau garis perjuangan Pemuda Muhammadiyah dalam mewujudkan misi dan cita-cita gerakannya.
Khittah perjuangan Pemuda Muhammadiyah berisi pokok-pokok pikiran yang diharapkan dapat menjadi garis perjuangan gerakan Pemuda Muhammadiyah ke depan. Di dalam rumusan Khittah Perjuangan ini terkandung aspek pembaruan sekaligus kesinambungan. Aspek pembaruan diarahkan pada upaya peneguhan eksistensi Pemuda Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang mampu menyelesaikan problematika umat Islam, khususnya mereka yang bernaung di bawah panji-panji persyarikatan Muhammadiyah. Sementara aspek kesinambungan merupakan upaya mempertahankan capaian-capaian positif yang selama ini dilakukan oleh Pemuda Muhammadiyah.
Khittah Perjuangan Pemuda Muhammadiyah diharapkan bukan hanya sekedar retorika yang kaya wacana tetapi miskin kerja nyata. Melalui khittah, gerakan Pemuda Muhammadiyah diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemulihan krisis yang telah lama menghimpit sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Sudah saatnya Pemuda Muhammadiyah bangkit sebagai kekuatan terdepan di dalam merespon dan menyikapi dinamika zaman. Pemuda Muhammadiyah harus tekun, rajin, dan cerdas dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi hari esok. Dalam konteks ini, firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 18 berikut ini perlu menjadi pijakan dalam setiap gerak dan langkah Pemuda Muhammadiyah :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok; dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Secara objektif, perumusan khittah perjuangan Pemuda Muhammadiyah didorong oleh faktor internal dan eksternal organisasi. Faktor internal merujuk pada evaluasi dan otokritik terhadap kiprah organisasi di dalam melayani umat Islam dan masyarakat lain pada umumnya.
Sedangkan faktor eksternal merujuk pada fenomena perubahan dunia yang menuntut setiap orang untuk terlibat aktif dalam mewarnai perkembangan peradaban. Kompetisi dan persaingan dalam seluruh aspek kehidupan harus dihadapi, bukan dihindari.
Sejalan dengan itu, motto perjuangan Pemuda Muhammadiyah “FASTABIQUL KHAIRAT” harus kembali menjadi spirit dan landasan gerak bagi setiap aktivitas dan kreativitas yang dilakukan oleh kader-kader Pemuda Muhammadiyah di semua level kepemimpinan. Dengan semangat ini, Pemuda Muhammadiyah harus tampil sebagai pelopor dalam mewujudkan pencerahan peradaban dan pembebasan umat dari keterkungkungan kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Semua itu harus menjadi cita-cita umat yang semestinya diperjuangkan secara kolektif tanpa memandang perbedaan suku, ras, tingkat pendidikan, bahkan agama.
II. Doktrin Perjuangan
Pemuda Muhammadiyah melandasi kiprah perjuangannya pada cita-cita Muhammadiyah untuk menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sehingga seluruh gerakan Pemuda Muhammadiyah diarahkan pada upaya akselerasi pencapaian tujuan tersebut. Dengan demikian, dimensi keagamaan, keilmuan, dan kemasyarakatan yang menjadi inspirasi perjuangan Muhammadiyah selama ini harus dijadikan ruh pergerakan Pemuda Muhammadiyah.
Pada tataran praktis, Pemuda Muhammadiyah meneguhkan doktrin perjuangannya melalui upaya:
Pertama, mempertegas komitmen dan jati dirinya pada pemberdayaan umat di seluruh sektor kehidupan.
Kedua, melakukan rekruitmen kader-kader berkualitas secara proaktif di tengah-tengah masyarakat dengan cara melibatkan mereka pada setiap pelaksanaan program-program kerja Pemuda Muhammadiyah.
Ketiga, meningkatkan kapasitas dan kualitas para kader melalui jenjang pendidikan kader yang terencana secara sistematis dan berkesinambungan.
III. Dimensi-dimensi Perjuangan
A. Dimensi Keagamaan
Pada dimensi keagamaan, Pemuda Muhammadiyah diharapkan dapat berperan aktif dalam menggiring umat ke posisi arus tengah Islam (ummatan wa syatha). Dengan posisi ini, umat Islam tidak terjebak dalam skenario yang dimainkan oleh pihak lain yang kerapkali bertujuan untuk memecah belah umat Islam. Sudah saatnya umat Islam dikembalikan pada satu cita-cita, yaitu membebaskan manusia dari setiap patologi sosial dan penyakit peradaban yang selama ini merasuki alam pikiran manusia modern. Untuk itu, seluruh kader Pemuda Muhammadiyah harus menebar pesona Islam di setiap waktu dan tempat dengan cara melaksanakan ajaran Islam secara total sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 208 yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara total, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Untuk melaksanakan ajaran Islam secara total, Pemuda Muhammadiyah diharapkan dapat mengaktifkan kembali gerakan dakwah jama’ah dengan menjadikan masjid sebagai pusat informasi dan komunikasi antar aktivis. Dakwah jama’ah diperlukan bukan hanya untuk meningkatkan ukhuwah Islamiyah di kalangan aktivis pemuda, tetapi lebih dari itu da’wah jama’ah juga diharapkan mampu melindungi persyarikatan Muhammadiyah dari upaya “penyusupan” yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu di kalangan umat Islam yang memiliki kiprah dan ideologi yang berbeda dengan Muhammadiyah.
Selain itu, Pemuda Muhammadiyah harus memperluas jaringan dakwahnya ke seluruh masyarakat hingga menyentuh berbagai suku, ras, budaya dan adat istiadat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Jalan yang dapat ditempuh adalah dengan menghidupkan gerakan dakwah kultural yang juga berfungsi sebagai sebagai salah satu sarana perekrutan kader-kader persyarikatan.
Dalam tatanan kehidupan beragama di tengah komunitas umat Islam, Pemuda Muhammadiyah harus mampu menampilkan dirinya sebagai teladan dalam menjembatani sekaligus memediasi setiap perbedaan pandangan, penafsiran, dan praktek keagamaan yang terjadi di kalangan umat Islam.
Pemuda Muhammadiyah harus mampu merajut dan merekatkan ukhuwah Islamiyah dengan cara mengajak semua pihak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah secara bersama-sama.
Seiring dengan itu, Pemuda Muhammadiyah dituntut agar selalu menjadi inspirator dan motivator dalam mengembangkan dakwah Islam yang humanis, terbuka, dan mencerahkan. Pemuda Muhammadiyah menolak secara tegas segala tindak kekerasan atas nama agama dalam memperjuangkan dan menegakkan agama Islam. Agama Islam harus disampaikan dengan cara damai, santun, dan beradab agar Islam benar-benar tampil sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Terkait dengan heterogenitas agama di Indonesia, Pemuda Muhammadiyah harus membuka diri untuk selalu melakukan dialog antar umat beragama. Cara yang paling efektif untuk dilakukan adalah menjalin kerjasama lintas agama dalam kerja-kerja kemanusiaan. Pemuda Muhammadiyah dapat memulai gerakan ini dengan menciptakan musuh bersama (common enemy) agama-agama berupa kebodohan, kemiskinan, krisis lingkungan, bencana alam, penyakit menular, narkotika, dan lain-lain.
B. Dimensi sosial
Pada dimensi sosial, Pemuda Muhammadiyah diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam merajut kohesivitas sosial dengan seluruh komponen bangsa. Dengan kohesivitas sosial yang baik, seluruh anak bangsa akan dapat bekerja sama dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih menjanjikan. Kohesivitas sosial hanya dapat diwujudkan jika keadilan dapat ditegakkan pada seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, Pemuda Muhammadiyah harus berani melawan setiap ketidakadilan yang terjadi baik yang dilakukan secara personal maupun yang diorganisir secara struktural. Pemuda Muhammadiyah berpandangan bahwa bangsa ini hanya dapat berdiri dengan kokoh atas dasar prinsip-prinsip keadilan sebagaimana telah diperintahkan Allah dalam surat Al-Nisaa’ ayat 58 yang berbunyi:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.
Dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, Pemuda Muhammadiyah mendasarkan pokok perjuangannya kepada empat macam persoalan mendasar. Pertama, rendahnya kualitas dan tidak meratanya akses pendidikan bagi semua anak bangsa. Berkenaan dengan hal ini, Pemuda Muhammadiyah dituntut untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam memperjuangkan kualitas dan kuantitas lembaga-lembaga pendidikan. Di samping itu, Pemuda Muhammadiyah juga dituntut untuk selalu mengikuti, mengkritisi, sekaligus memberikan masukan konstruktif pada setiap produk regulasi pendidikan yang ditetapkan pemerintah.
Kedua, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk menjawab masalah ini, Pemuda Muhammadiyah dituntut agar selalu berperan aktif dalam memperjuangkan peningkatan kuantitas dan kualitas sarana pelayanan kesehatan, peningkatan kuantitas anggaran pembiayaan kesehatan, dan sosialisasi pola dan gaya hidup sehat.
Ketiga, tingginya angka pengangguran dan maraknya tindak kriminalitas. Menyikapi masalah ini, Pemuda Muhammadiyah diharapkan dapat berpartispasi aktif dalam menciptakan lapangan kerja dan mendukung setiap usaha semua pihak yang diarahkan pada upaya perbaikan taraf hidup rakyat.
Keempat, rendahnya moral dan akhlak anak bangsa. Terkait masalah ini, Pemuda Muhammadiyah harus memprakarsai berbagai macam program yang berorientasi pada upaya revitalisasi akhlak dan moral bangsa. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara menghidupkan kembali ajaran agama sebagai basis utama pertahanan akhlak dan moral. Selain itu, kearifan-kearifan lokal yang dijadikan sebagai panutan di masa lalu dapat dijadikan tawaran alternatif dalam mengimbangi moralitas sekuler, hedonis, dan materialis akibat perkembangan informasi dan teknologi serta arus globalisasi yang tidak terkendali.
C. Dimensi Ekonomi
Dimensi eknomi merupakan elan vital yang harus menjadi fokus perhatian utama Pemuda Muhammadiyah. Secara umum, tingkat ekonomi umat Islam masih berada di bawah tingkat ekonomi umat beragama lain. Fakta empiris menunjukkan bahwa saat ini umat Islam cenderung dijadikan sebagai sasaran market paling empuk dari negara-negara produsen. Umat Islam sama sekali tidak mampu bersaing dalam pasar global yang semakin hari semakin kompetitif. Padahal, ajaran Islam mengharuskan umat Islam untuk tidak hanya memperhatikan persoalan-persoalan ukhrawi semata, tetapi juga harus memperhatikan persoalan-persoalan duniawi sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qashas ayat 77 yang berbunyi:
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Melalui refleksi yang cukup dalam terhadap ayat tersebut, Pemuda Muhammadiyah merasa terpanggil untuk segera mencari solusi dalam memberdayakan ekonomi umat Islam. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah mengembangkan sistem ekonomi syariah pada seluruh dimensi ekonomi umat sebagai antitesis terhadap sistem ekonomi kapitalis yang selama ini “menjajah” umat Islam. Pengembangan ekonomi syariah dapat dilakukan dengan mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM) melalui pemberdayaan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) baik formal seperti bank, asuransi, zakat, infaq, shadaqah, dan koperasi maupun informal seperti pendirian lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berorientasi pada pemberdayaan ekonomi umat pada sektor pertanian, perikanan, dan unit-unit ekonomi kerakyatan lainnya.
Sejalan dengan itu, Pemuda Muhammadiyah juga dituntut untuk mendidik kader-kadernya agar siap diterjunkan ke dunia usaha sebagai pejuang-pejuang ekonomi umat di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks ini, potensi jaringan Pemuda Muhammadiyah secara nasional perlu dikembangkan sehingga memiliki daya saing yang cukup tangguh dalam menggerakkan perekenomian umat. Potensi lain yang dapat dikembangkan adalah pemberdayaan institusi-institusi Islam seperti mesjid, sekolah-sekolah Islam, majlis ta’lim, dan Islamic center sebagai pusat perekonomian umat.
D. Dimensi Politik
Pemuda Muhammadiyah berpandangan bahwa agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Oleh karena itu, Pemuda Muhammadiyah menilai bahwa politik dan berpolitik bukanlah hal yang dilarang oleh agama. Dan Pemuda Muhammadiyah bukanlah organisasi apolitik. Bahkan sebaliknya, Pemuda Muhammadiyah menjadikan politik sebagai salah satu sarana dakwah yang paling efektif dalam membumikan kehendak Tuhan di muka bumi. Namun demikian, Pemuda Muhammadiyah meyakini bahwa kekuasaan politik merupakan ujian yang diberikan oleh Allah kepada manusia sebagaimana firman-Nya dalam surat al-An’am ayat 165 yang berbunyi:
Artinya : Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di muka bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Oleh karena kekuasaan politik merupakan bagian dari ujian Allah, maka Pemuda Muhammadiyah harus mengarahkan perjuangan politiknya bagi kepentingan Islam dan umat Islam. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemuda Muhammadiyah dituntut melakukan langkah-langkah sistematis dan strategis melalui empat strategi dan lapangan perjuangan politik yaitu: Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan negara.
Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara.
Ketiga, mengelola fragmentasi potensi dan kekuatan politik secara baik dan benar agar seluruh kepentingan umat Islam dapat terakomodasi secara maksimal. Bila usaha untuk mempersatukan partai-partai politik Islam di bawah satu bendera sulit dilakukan, maka hal yang paling mungkin dilakukan adalah mempersatukan politisi Islam di lembaga-lembaga legislatif mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah. Meskipun kenderaan politik berbeda, namun tujuan dan orientasinya haruslah tetap sama.
Keempat, pembumian nilai-nilai keislaman di jalur kultural (cultural approach). Melalui lahan ini, Pemuda Muhammadiyah memiliki peluang yang cukup besar untuk meningkatkan energi sumber daya umat sebagai basis penguatan civil society. Target akhir yang ingin dicapai adalah agar Pemuda Muhammadiyah dapat menyalurkan aspirasi politiknya secara maksimal dalam menjaga kelangsungan agama sekaligus menata kehidupan dunia (hirasat al-din wa siyasat al-dunya).
E. Dimensi Kebudayaan dan Peradaban
Melalui kalkulasi sederhana, Pemuda Muhammadiyah memandang bahwa peradaban Barat lebih maju dari peradaban Islam, antara lain dibuktikan dengan perkembangan ekonomi, teknologi, dan stabilitas kehidupan sosial-politik yang dicapai Barat. Dengan menggunakan ukuran-ukuran yang bersifat fisik material, fenomena kebangkitan peradaban Barat merupakan keniscayaan.
Namun bila dikaji lebih dalam, kemajuan sains dan teknologi yang menjadi basis fundamental bangunan peradaban Barat justru telah menelantarkan dunia di ambang pintu krisis global yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Krisis global yang dihadapi umat manusia di planet ini telah menyentuh hampir seluruh dimensi kehidupan seperti bidang kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, ekologi, dan hubungan sosial. Krisis juga melanda dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual. Anehnya, peradaban Barat ini dijadikan sebagai cermin yang harus diikuti oleh semua negara, termasuk negara-negara Islam. Inilah yang menyebabkan rapuhnya fondasi peradaban dunia secara global.
Kerapuhan fondasi peradaban Barat itu merupakan peluang besar bagi Pemuda Muhammadiyah untuk membangun peradaban alternatif yang berdimensi moral dan spiritual. Agenda utama yang harus dikedepankan antara lain membangun kesadaran eksistensial manusia yang tidak terpisahkan dari Tuhan. Keyakinan terhadap kehadiran
Tuhan dalam seluruh dimensi kehidupan akan memberikan kekuatan sekaligus kedamaian dalam hati setiap manusia yang menjadi aktor pendukung setiap kebudayaan.
Bertolak dari realitas obyektif di atas, Pemuda Muhammadiyah dituntut untuk mewujudkan peradaban Islam masa depan dengan melakukan upaya-upaya rekonstruktif melalui upaya pembumian wahyu melalui kontekstualisasi ajaran Islam. Kontekstualisasi ajaran Islam tentu saja harus dibarengi dengan upaya eksplorasi ilmu pengetahuan (scientific exploration). Di samping itu, Pemuda Muhammadiyah juga harus mengambil peran dalam upaya mencari penemuan-penemuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan (scientific discovery). Dengan ilmu pengetahuan yang berorientasi ilahiyah-lah, tatanan kebudayaan dan peradaban dunia dapat diwujudkan secara baik.
I.  Penutup
Khittah perjuangan ini harus dapat mencerminkan kemandirian Pemuda Muhammadiyah dalam menjalankan fungsinya sebagai organisasi modern yang berorientasi masa depan. Selain itu, Khittah perjuangan ini harus menjadi variabel pengubah kultur atau budaya berorganisasi kader-kader Pemuda Muhammadiyah ke arah yang lebih baik. Agar kultur dan budaya hasanah merekat dalam setiap nadi gerakan Pemuda Muhammadiyah, maka diperlukan upaya pembumian semangat saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran dan saling berlomba untuk menuju cinta dan kasih sayang Allah.
Ya Ilahi anta Maqshudana, wa ridhaka mathlubana.