Senin, 14 November 2011

Istighotsah dan urgensi nya

  • Makna Istighotsah
  •  oleh KH A. Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Kata “istighotsah” استغاثة berasal dari “al-ghouts”الغوث yang berarti pertolongan. Dalam tata bahasa Arab kalimat yang mengikuti pola (wazan) "istaf’ala" استفعل atau "istif'al" menunjukkan arti pemintaan atau pemohonan. Maka istighotsah berarti meminta pertolongan. Seperti kata ghufron غفران yang berarti ampunan ketika diikutkan pola istif'al menjadi istighfar استغفار yang berarti memohon ampunan.

Jadi istighotsah berarti "thalabul ghouts" طلب الغوث atau meminta pertolongan. Para ulama membedakan antara istghotsah dengan "istianah" استعانة, meskipun secara kebahasaan makna keduanya kurang lebih sama. Karena isti'anah juga pola istif'al dari kata "al-aun" العون yang berarti "thalabul aun" طلب العون yang juga berarti meminta pertolongan.

Istighotsah adalah meminta pertolongan ketika keadaan sukar dan sulit. Sedangkan Isti'anah maknanya meminta pertolongan dengan arti yang lebih luas dan umum.

Baik Istighotsah maupun Isti'anah terdapat di dalam nushushusy syari'ah atau  teks-teks Al-Qur'an atau hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam surat Al-Anfal ayat 9 disebutkan:


إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ

"(Ingatlah wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu lalu Dia mengabulkan permohonanmu." (QS Al-Anfal:9)

Ayat ini menjelaskan peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW memohon bantuan dari Allah SWT, saat itu beliau berada di tengah berkecamuknya perang badar dimana kekuatan musuh tiga kali lipat lebih besar dari pasukan Islam. Kemudian Allah mengabulkan permohonan Nabi dengan memberi bantuan pasukan tambahan berupa seribu pasukan malaikat.

Dalam surat Al-Ahqaf ayat 17 juga disebutkan;


وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ

"Kedua orang tua memohon pertolongan kepada Allah." (QS Al-Ahqaf:17)

Yang dalam hal ini adalah memohon pertolongan Allah atas kedurhakaan sang anak dan keengganannya meyakini hari kebangkitan, dan tidak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh keduanya untuk menyadarkan sang anak kecuali memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dari kedua cuplikan ayat ini barangkali dapat disimpulkan bahwa istighotsah adalah memohon pertolongan dari Allah SWT untuk terwujudnya sebuah "keajaiban" atau sesuatu yang paling tidak dianggap tidak mudah untuk diwujudkan.

Istighotsah sebenamya sama dengan berdoa akan tetapi bila disebutkan kata istighotsah konotasinya lebih dari sekedar berdoa, karena yang dimohon dalam istighotsah adalah bukan hal yang biasa biasa saja. Oleh karena itu, istighotsah sering dilakukan secara kolektif dan biasanya dimulai dengan wirid-wirid tertentu, terutama istighfar, sehingga Allah SWT berkenan mengabulkan permohonan itu.

Istighotsah juga disebutkan dalam hadits Nabi,di antaranya :

إنَّ الشَّمْسَ ‏تَدْنُوْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ, فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ ثُمَّ ‏بِمُوْسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ

Matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, sehingga keringat sebagian orang keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada pada kondisi seperti itu mereka beristighotsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad. (H.R.al Bukhari).

Hadits ini juga merupakan dalil dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa seorang nabi atau wali adalah sebab. Terbukti ketika manusia di padang mahsyar terkena terik panasnya sinar Matahari mereka meminta tolong kepada para Nabi. Kenapa mereka tidak berdoa kepada Allah saja dan tidak perlu mendatangi para nabi tersebut? Seandainya perbuatan ini adalah syirik niscaya mereka tidak melakukan hal itu dan jelas tidak ada dalam ajaran Islam suatu perbuatan yang dianggap syirik.

Sedangkan isti'anah terdapat di dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:


وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ

Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS Al-Baqarah: 45)

Dzikir Berjamaah dengan Suara Keras

Berkumpul di suatu tempat untuk berdzikir bersama hukumnya adalah sunnah dan merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hadits-hadits yang menunjukkan kesunnahan perkara ini banyak sekali, diantaranya.

مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني
Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridla Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian. (HR Ath-Thabrani)

Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum di antaranya adaah hadits qudsi berikut ini. Rasulullah SAW bersabda:

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي، فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرًا مِنْهُ –منقق عليه

Allah Ta’ala berfirman: Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadapku, dan aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut namaku. Jika ia menyebut namaku dengan lirih Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebutku secara berjamaah atau dengan suara keras maka aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia. (HR Bukhari-Muslim)

Dzikir secara berjamaah juga sangat baik dilakukan setelah shalat. Para ulama menyepakati kesunnahan amalan ini. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW ditanya:
أَيُّ دُعَاءٍ أَسْمَعُ؟

 “Apakah Doa yang paling dikabulkan?”

Rasulullah menjawab:

جَوْفُ اللَّيْلِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ – قال الترمذي: حديث حسن

“Doa di tengah malam, dan seusai shalat fardlu." (At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan.

Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjamaah setelah shalat secara khusus, di antaranya hadits Ibnu Abbas berkata:


كُنْتُ أَعْرِفُ إنْقِضَاءِ صَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR Bukhari Muslim)

أَنَّ رَفْعَ الصّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ – رواه البخاري ومسلم
Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jamaah selesai shalat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah. (HR Bukhari-Muslim)

Dalam sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim juga, Ibnu Abbas mengatakan:

كنت أعلم إذا انصرفوا بذالك إذا سمعته – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat dengan mendengar suara berdikir yang keras itu. (HR Bukhari Muslim)

Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya.
Ajaran Tasawuf dalam Puji-pujian Menjelang Shalat Fardlu

Puji-pujian didendangkan di mushalla, langgar atau masjid merupakan nyanyian puitis yang bernuansa keagamaan. Puji-pujian tersebut biasanya didendangkan  bersama-sama  oleh  para  jemaah menjelang shalat Subuh, Dzhur, Ashar, Maghrib atau  Isya sembari menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut mendirikan shalat berjamaah. Puji-pujian tersebut ada yang menggunakan bahasa Arab maupun bahasa daerah. Mungkin  berkat  susunannya  yang ritmis, puji-pujian ini mudah dihafal dan menyebar dari satu musala atau masjid ke musala lainnya.

Puji-pujian yang didendangkan para jemaah ini biasanya selalu didahului dengan salawatan atau membaca shalawat Nabi dan puji-pujian pada Nabi SAW. Meskipun puji-pujian tersebut berbahasa Jawa, puji-pujian ini selalu didahului shalawat nabi yang memiliki berbagia keutamaan.
t;
Dari Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a ( dalam Assamarqandi, 1980: 619) Nabi SAW bersabda yang artinya: “Bacalah shalawat untukku, sebab bacaan shalawat itu membersihkan kekotoranmu (dosa-dosamu) dan mintalah kepada Allah untukku wasilah. Apakah wasilah itu ya Rasulullah? Jawabnya: Satu derajat yang tertinggi dalam sorga yang tidak akan dicapai kecuali oleh seorang, dan saya  berharap semoga sayalah orangnya”.

Orang mengenal pujian disebarkan oleh kalangan pesantren dan ada yang mengatakan puji-pujian ini diperkenalkan oleh para walisongo, yakni penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Seperti yang masyarakat kenal lewat sejarah bahwa pendekatan yang digunakan para Walisongo dalam menyebarkan agama Islan adalah  pendekatan persuasif yang bersifat kemasyarakatan sesuai dengan adat dan budaya masyarakat waktu itu.

Salah satu contohnya adalah Sunan Giri yang menciptakan Asmaradana dan Pucung. Sunan Giri jugalah yang menciptakan tembang-tembang dolanan anak-anak yang di dalamnya diberi unsur keislaman, misalnya Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Jithungan dan Delikan (Rahimsyah, tanpa tahun: 54).

Selain Sunan Giri, ada lagi Sunan Bonang yang menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Suluk berasal dari bahasa Arab ”Salakattariiqa” , artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmu Suluk ini ajarannya biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid. Salah satu Suluk Wragul dari Sunan Bonang yang terkenal adalah Dhandanggula. Sebagian masyarakat (yang mengenal tarikat) mengatakan bahwa teks puji-pujian diciptakan oleh para pemimpin tarikat dan Syekh Abdul Qadir Jailani.

Puji-pujian yang diperdengarkan di musala berisi shalawatan, do’a-doa mustajabah, dan petuah-petuah hidup. Puji-pujian yang diperdengarkan di musala-musala atau masjid-masjid kental dengan ajaran Tasawuf.

Obat Hati Lima Perkara

Pedoman hidup muslim adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an diturunkan Allah melalui utusan-Nya , yakni Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya Al-Qur’an dan Al-Hadits ini menjadi jelaslah jalan lurus yang harus ditempuh manusia serta aliran yang benar yang harus diikuti untuk memahami pengertian-pengertian hukum yang tercantum di dalamnya. Hal ini pulalah yang merupakan pemisah antara yang halal dan haram. Fungsinya adalah sebagai cahaya yang cemerlang, dengan berpegang teguh itu akan selamatlah setiap manusia dari tipuan. Kandungannya penuh dengan penawar untuk menyembuhkan hati dan jiwa yang sakit.

Mengenai obat hati ini, dalam teks puji-pujian ditawarkan adanya lima hal yang mampu menjadi obat bagi hati manusia. Kelima hal tersebut adalah (1) membaca Alqur’an dengan mengendapkan maknanya, (2) memperbanyak melakukan shalat malam, (3) berkumpul dengan orang Shaleh atau bergaul dan berguru pada orang Shaleh, (4) mampu menahan lapar atau perbanyak berpuasa, dan (5) perbanyak berdzikir di malam hari. Berikut kutipannya.

Tombo ati iku limo sak wernane

Kaping pisan maca Qur’an sak maknane

Kaping pindu shalat wengi lakonono
Kaping telu wong kang shaleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng engkang luwe
Kaping limo dzikir wengi engkang sue
 
Syair obat hati ini kemudian diakhiri:

Insya Allah Gusti Allah ngijabahi
Insya Allah, Allah mengabulkan

Mengingat Kematian

Setiap yang hidup pasti akan mati, demikian halnya dengan manusia. Semua manusia di dunia ini akan mati. Untuk itu melalui salah satu puji-pujian manusia diingatkan akan datangnya kematian. Adapun teksnya adalah sebagai berikut.

Ilingono para timbalan
(Ingatlah jika sudah waktunya dipanggil)
Timbalane ora keno wakilan’
(Panggilannya tak bisa diwakilkan)
Timbalane kang maha mulya
(Panggilan dari Yang Maha Kuasa)
Gelem ora bakal lunga
(Mau-tak mau harus pergi)

Panggilan yang dimaksudkan adalah panggilan Yang Maha Kuasa.Tak ada satupun yang kuasa menghalanginya. Harta, tahta, ataupun kerabat dan keluarga takkan bisa menghentikannya.  Panggilan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan selama di dunia. Hendaknya selama masih hidup selalu ingat dan takut hanya pada Allah karena dengan rasa takut itu menjadikannya berhati-hati dan berusaha selalu di jalan yang benar.


Gambaran orang yang sudah mati dalam teks puji-pujian adalah sebagai berikut.
Klambine diganti putih
(Bajunya diganti putih)
Nek budal ora bisa mole
(Jika berangkat tak bisa kembali)
Tumpak ane kereto jowo
(Kendaraannya kereta Jawa)
Roda papat rupa menongsa
(Beroda empat berupa manusia)

Oma e rupa goa
(Rumahnya serupa Go’a)
Ora bantal ora keloso
(Tak ada bantal ataupun tikar)
Omah e gak nok lawange
(Rumahnya tidak ada pintunya)
Turu ijen gak nok rewange
(Tidur sendirian tak ada yang menemani)

Perintah untuk memperbanyak mengingat kematian dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Tirmidzi (dalam Addimasyqy, 1983: 1048) menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ” Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan (kematian)”. Selain itu, mengingat kematian dapat melebur dosa dan berzuhud. Dengan mengingat kematian maka kematian itu sendiri sebagai pengingat pada diri sendiri dan orang yang tercerdik adalah orang yang terbanyak mengingat kepada kematian sebagaimana makna hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abiddunnya berikut.

”Secerdik-cerdik manusia ialah  yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian itu. Mereka itulah orang-orang yang benar-banr cerdik dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan akhirat” (dalam Addimasyqy, 1983: 1049).

Ajaran Tasawuf yang salah satunya adalah ajakan untuk melakukan zuhud merupakan salah satu jalan untuk takut dan berusaha mendekatkan diri pada Allah. Menurut Imam Ahmad bin Hambal (dalam Dahlan, dkk, 1988: 324), seorang ahli fiqih, membagi zuhud menjadi tiga, yakni (1) meninggalkan yang haram (zuhud orang awam); (2) meninggalkan yang tak berguna dari yang halal (zuhud orang khawash, para aulia’); dan (3) meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan diri dari Allah SWT (zuhud orang Arifin, orang yang sangat dekat dan kenal benar pada Allah.

sumber : http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/10/25851/Ubudiyyah/Ajaran_Tasawuf_dalam_Puji_pujian_Menjelang_Shalat_Fardlu.html


Bau Kemenyan wangi wangian  Disukai Nabi
( sumber : http://www.nu.or.id/page/id/di
namic_detil/10/27222/Ubudiyyah/Bau_Kemenyan_Disukai_Nabi.html )

Sering kali kita jumpai pembakaran kemenyan di tempat-tempat tertentu (misalnya makam para wali). Dan juga sering dijumpai pada acara-acara tertentu (seperti doa sedekah bumi) yang dilakukan secara islami dengan menggunakan bahasa Arab. Bagi sebagian warga bau kemenyan diidentikan dengan pemanggilan roh, dan sebagian yang lain menganggapnya sebagai pengharum ruangan, dan ada pula yang merasa terganggu dengan bau kemenyan. Bagaimanakah sebenarnya hukum menggunkan kemenyan? Baik dalam kehidupan sosial bermasyarakat maupun dalam urusan beribadah?
Mengharumkan ruangan dengan membakar kemenyan, dupa, mustiki, setinggi kayu gaharu yang mampu membawa ketenangan suasana adalah suatu hal yang baik. Karena hal ini itba’ dengan Rasulullah saw. beliau sendiri sangat menyukai wangi-wangian, baik minyak wangi, bunga-bungaan ataupun pembakaran dupa. Hal ini turun temurun diwariskan oleh beliau kepada sahabat dan tabi’in. Hingga sekarang banyak sekali penjual minyak wangi dan juga kayu gaharu, serta dupa-dupaan di sekitar Masjid Nabawi dan Masjidil Haram.
Beberapa hadits menerangkan tindakan sahabat yang menunjukkan kegemaran mereka terhadap wangi-wangian hal ini ditunjukkan dengan hadits:
اذا جمرتم الميت فأوتروا
Artinya: Apabila kamu mengukup mayyit, maka ganjilkanlah (HR. Ibnu Hibban dan Alhakim)
Addailami juga menerangkan
جمروا كفن الميت
Artinya: Ukuplah olehmu kafan maayit
Dan Ahmad juga meriwayatkan:
اذا اجمرتم الميت فاجمرواه ثلاثا
Artinya: Apabila kamu mengukup mayyit, maka ukuplah tiga kali
Bahkan beberapa sahabat berwasiat agar kain kafan mereka diukup
أوصى أبوسعيد وابن عمر وابن عباس رضي الله عنهم ان تجمر اكفنهم بالعود
Artinya: Abu Said, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra. Berwasiat agar kain-kain kafan mereka diukup dengan kayu gaharu
Bahkan Rasulullah saw. pernah bersabda
جنبوا مساجدكم صبيانكم وخصومتكم وحدودكم وشراءكم وبيعكم جمروها يوم جمعكم واجعلوا على ابوابها مطاهركم (رواه الطبرانى)
Artinya; Jauhkanlah masjid-masjid kamu dari anak-anak kamu, dari pertengkaran kamu, pendarahan kamu dan jual beli kamu. Ukuplah masjid-masjid itu pada hari perhimpunan kamu dan jadikanlah pada pintu-pintunya itu alat-alat bersuci. (HR. Al-Thabrani).
Hadits-hadits di atas sebenarnya menunjukkan betapa wangi-wangian adalah sesuatu yang telah mentradisi di zaman Rasulullah saw dan juga para sahabat. Hanya saja media wangi-wangian itu bergeser bersamaan dengan perkembangan zaman dan teknlogi. Sehingga saat ini kita merasa aneh dengan wangi kemenyan dan dupa. Padahal keduanya merupakan pengharum ruangan andalan pada masanya.
Di satu sisi persinggungan dengan dunia pasar yang semakin bebas menyebabkan selera ‘wangi’ jadi bergeser. Yang harum dan yang wangi kini seolah hanya terdapat dalam parfum, bay fress dan fress room. Sedangkan bau kemenyan dan dupa malah diidentikkan dengan dunia klenik dan perdukunan.
Tradisi Mencium Tangan Kyai
(sumber :  http://www.nu.or.id/page/id/di
namic_detil/10/27612/Ubudiyyah/Tradisi_Mencium_Tangan_Kyai.html )

Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan yang dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada mereka.
Dalam sebuah hadits dijelaskan:

عَنْ زَارِعٍ وَكَانَ فِيْ وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِيْنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ – رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد
Artinya :    Dari Zari’ ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata, Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi s.a.w. (H.R. Abu Dawud).
>

عَنِ ابْنِ جَدْعَانْ, قالَ لاَنَسْ : اَمَسَسْتَ النَّبِيَّ بِيَدِكَ قالَ :نَعَمْ, فقبَلهَا
Artinya :    dari Ibnu Jad’an ia berkata kepada Anas bin Malik, apakah engkau pernah memegang Nabi dengan tanganmu ini ?. Sahabat Anas berkata : ya, lalu Ibnu Jad’an mencium tangan Anas tersebut. (H.R. Bukhari dan Ahmad)

عَنْ جَابرْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ عُمَرَ قبَّل يَدَ النَّبِيْ.
Artinya :    dari Jabir r.a. sesungguhnya Umar  mencium  tangan Nabi.(H.R. Ibnu al-Muqarri).

عَنْ اَبيْ مَالِكْ الاشجَعِيْ قالَ: قلْتَ لاِبْنِ اَبِيْ اَوْفى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : نَاوِلْنِي يَدَكَ التِي بَايَعْتَ بِهَا رَسُوْلَ الله صَلى الله عَليْه وَسَلمْ، فنَاوَلَنِيْهَا، فقبَلتُهَا.
Artinya :    Dari Abi Malik al-Asyja’i berkata : saya berkata kepada Ibnu Abi Aufa r.a. “ulurkan tanganmu yang pernah engkau membai’at Rasul dengannya, maka ia mengulurkannya dan aku kemudian menciumnya.(H.R. Ibnu al-Muqarri).

عَنْ صُهَيْبٍ قالَ : رَأيْتُ عَلِيًّا يُقبّل يَدَ العَبَّاسْ وَرِجْلَيْهِ.
Artinya :    Dari Shuhaib ia berkata : saya melihat sahabat Ali mencium tangan sahabat Abbas dan kakinya. (H.R. Bukhari)
Atas dasar hadits-hadits tersebut di atas para ulama menetapkan hukum sunah mencium tangan, ulama, guru, orang shaleh serta orang-orang yang kita hormati karena agamanya.
Berikut ini adalah pendapat ulama
1.    Ibnu Hajar al-Asqalani
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani telah menyitir pendapat Imam Nawawi sebagai berikut :

قالَ الاِمَامْ النَّوَاوِيْ : تقبِيْلُ يَدِ الرَّجُلِ ِلزُهْدِهِ وَصَلاَحِهِ وَعِلْمِهِ اَوْ شرَفِهِ اَوْ نَحْوِ ذالِكَ مِنَ اْلاُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ لاَ يُكْرَهُ بَل يُسْتَحَبُّ.
Artinya :    Imam Nawawi berkata : mencium tangan seseorang karena zuhudnya, kebaikannya, ilmunya, atau karena kedudukannya dalam agama adalah perbuatan yang tidak dimakruhkan, bahkan hal yang demikian itu disunahkan.
Pendapat ini juga didukung oleh Imam al-Bajuri dalam kitab “Hasyiah”,juz,2,halaman.116.
2.    Imam al-Zaila’i
Beliau berkata :

 (يَجُوْزُتقبِيْلُ يَدِ اْلعَالِمِ اَوِ اْلمُتَوَرِّعِ عَلَى سَبِيْلِ التبَرُكِ...
Artinya :    (dibolehkan) mencium tangan seorang ulama dan orang yang wira’i karena mengharap barakahnya.
(Disarikan dari  buku Amaliah NU dan Dalil-Dalilnya, Penerbit LTM (Lembaga Ta”mir Masjid)PBNU.