Selasa, 31 Mei 2011

Karl Marx


Karl Marx lahir di Trier, Jerman, di daerah Rhine pada tahun 1818. Ayahnya Heinrich dan ibunya Henrietta berasal dari keluarga rabbi yahudi.Tetapi Heinrich Marx memperoleh pendidikan sekular, dan mencapai kehidupan borjuis yang cukup mewah sebagai seorang pengacara yang berhasil. Ketika suasana politik menjadi tidak menguntungkan lagi sukses-sukses selanjutnya sebagai seorang pengacara keturunan yahudi, dia dan kelurganya masuk protestan dan diterima di gereja Luteran.Dan kemudian dalam pandangan Marx menekankan bahwa agama tidak memerikan pengaruh penting dalam perilaku, tetapi sebaliknya kepercayaan agama itu mencerminkan faktor-faktor sosial ekonomi yang mendasar. Agama menurutnya lebih merupakan protes melawan penderitaan daripada alat untuk menentramkannya “agama”. Kata Marx. Merupakan keluh kesah makhluk yang tertindas, hati dunia yang tak berjiwa. Mereka menderita bukan Cuma menginginkan hiburan, tapi perubahan–akhir penderitaan mereka, jalan keluar. ”Penderitaan keagamaan”, katanya, ”salah satu dan pada saat yang sama merupakan ekspresi penderitaan riil dan protes melawan penderitaan riil tersebut.

Pada usia 18, sesudah mempelajari hukum selama satu tahun di Universitas Bonn, Marx pindah ke Universitas Berlin. Sebagai akibat dari hubungan dengan kelompok Hegelian muda, meskipun Hegel sudah mati, namun semangat dan filsafatnya masih menguasai pemikiran filosofis dan sosial disana. Penganut Hegelian muda mempunyai pendirian kritis dan tidak menghargai ide-ide Hegel serta para pengikutnya, khususnya yang berhubungan dengan masa depan dan nada konservatifnya yang semakin bertambah itu. Dalam pemikirannya Hegel yaitu analisa dialektik, dalam analisa dialektik berintikan pandangan mengenai pertentangan antara tesis dan antitesis serta titik temu keduanya akhirnya akan membentuk suatu sintesa baru, kemudian menjadi tesis baru dan antitesis baru dan keduanya menjadi sintesa baru yang lebih tinggi tingkatannya. Meskipun model ini agak abstrak, mungkin dapat digambarkan kedalam suatu hal yang terdapat dalam tradisi masyarakat kita sendiri dengan adanya pertentangan antara ide-ide yang digunakan untuk membenarkan pelbagai bentuk pelapisan sosial dan ide-ide mengenai persamaan. Marx menggunakan analisa dealektik (yang meliputi kepekaan terhadap kontradiksi-kontradiksi internal dan perjuangan antara ide-ide lama dan ide-ide baru serta bentuk-bentuk sosial) tetapi dia menolak idealisme filosofis dan menggantikan dengan pendekatan materialistik.

Sesudah menyelesaikan disertasi doktornya di Universitas Berlin, Marx berniat untuk memasuki karir akademis. Namun sponsornya, Bruno Bauer dipecat dari pos akademis karena pandangan-pandangannya yang ke kiri dan antiagama. Marx menerima tawaran untuk menulis surat kabar borjuis liberal yang baru, bernama Rheinishe Zeitung. Pendirian radikal-liberal surat kabar itu mencerminkan oposisi borjuis terhadap sisa-sisa sistem aristokrasi-feodal kuno dan Marx menjadi pemimpin surat kabar ini. Disana Marx menikah dengan Jenny von Westphalen dan pindah ke Paris. Selama di Paris (1843-1845) Marx terlibat dalam kegiatan radikal. Pada saat itu merupakan pusat liberalisme dan radikalisme sosial dan intelektual yang penting di Eropa dan Marx berkenalan dengan pemikir-pemikir sosialis St. Simon dan Proudhon dan dengan tokoh revolusioner, Blanqui. Marx juga mengenal tulisan-tulisan ahli ekonomi politik Adam Smith dan David Richardo.

Mungkin peristiwa yang paling menentukan selama Marx menetap di paris adalah pertemuannya dengan Friedrich Engels yang menjadi kawan kerja yang dekat sampai Marx meninggal. Karena ayahnya Engels adalah seorang pengusaha tekstil sehingga memberikan kepadanya informasi langsung mengenai gaya hidup borjuis dan juga kondisi-kondisi proletariat. Engels pernah menjadi seorang manajer dari salah satu perusahaan ayahnya, tetapi hubungan dengan Marx menjadi lebih penting daripada kesadaran kelas borjuisnya. Engels terkesan akan keberhasilan Marx dalam analisa ekonominya, ditambah lagi dengan bacaan Marx sendiri mengenai tulisan ekonomi politik Inggris, mendorong dia ke usaha mengintegrasikan analisa ekonomi dan filsafat. Usaha ini tercermin dalam tulisan Marx berjudul Economic and Philosophical Manuscripts.

Pada tahun 1845 Marx diusir oleh pemerintahan Paris, karena tekanan dari pemerintah Prussia, yang pernah terganggu oleh tulisan-tulisan Marx yang berbau sosialis. Dari Paris Marx bertolak menuju Brussel dimana segera dia tenggelam dalam kegiatan-kegiatan sosialis internasional. Di Brussel dia mengadakan kontak dengan buruh-buruh dan kaum cendikiawan, beberapa adalah pelarian Jerman seperti dia sendiri. Banyak kenalan barunya ini sudah teribat dalam League of the Just yang sudah dibubarkan, yang merupakan suatu organisasi internasional yang revolusioner. Pada tahun 1846 Marx dan Engels bertolak menuju Inggris. Mereka diundang untuk mengikuti Communist League, suatu organisasi revolusioner yang bermarkas di London dan dimaksudkan sebagai pengganti League of the Just yang lebih besar lagi. Pada tahun 1848 Marx diundang kembali ke Paris oleh suatu pemerintahan yang baru. Ini merupakan masa-masa pergolakan, karena gerakan-gerakan revolusioner dengan cepat mendapat sambutan di seluruh Eropa. Sesudah tinggal sebentar di Paris, Marx kembali menerbitkan Neue Rheinische Zeitung dan dengan cara ini mempengaruhi arah revolusi itu. Marx melihat periode ini sebagai awal suatu titik balik sejarah yang penting yang akan segera menuju suatu kulminasi proses perubahan sosial yang mendasar yang sudah dimulai oleh Revolusi Perancis di tahun 1789. Baik serangan tahun 1789 maupun serangan tahun 1848 terhadap dominasi aristokratis tradisional, dipelopori munculnya kelas borjuis. Tetapi revolusi-revolusi tahun 1848 diikuti oleh orang-orang kelas buruh yang lebih terorganisasi, lebih sadar diri, dan secara potensial lebih berpengaruh daripada yang terjadi Revolusi Perancis sekitar 50 tahun sebelumnya. Dalam pandangannya mengenai keyakinan akan hasil akhirnya itu, Marx tidak seperti beberapa orang revolusioner mengenai kelas buruh, mendukung suatu gabungan antara kelompok borjuis dan proletar, sampai dominasi aristokrasi dilenyapkan, fase revolusi ini pada gilirannya akan mempersiapkan kondisi-kondisi materil dan sosial untuk kemenangan akhir kelas proletar atas kelas borjuis. Tetapi harapan-harapan Marx ini terbukti mendahului waktunya. Sementara kelompok borjuis berdebat tentang bagaimana terus maju dan beberapa kelompok proletariat menuntut suatu revolusi proletar dengan segera walaupun kondisi-kondisi materil dan sosial belum mencukupi, kekuatan-kekuatan konservatif berinisiatif untuk kembali bersama kelompok borjuis dalam posisi yang lebih berkuasa lagi. Dengan kembalinya masa-masa yang lebih jaya diawal tahun 1850-an, api-api revolusi sudah padam. Surat kabar Neue Rheinische Zeitung tidak terbit lagi tahun 1849 dan Marx diusir lagi dari Jeman. Dia kembali ke Paris tetapi tidak diijinkan tinggal disana, lalu dia bertolak ke pembuangannya di London dimana dia tinggal mengakhiri sisa-sisa hidupnya.

Sementara itu kondisi materil Marx yang sangat menyedihkan dan tidak menentu itu membuat dia tidak mampu untuk membiayai keluarga secara mencukupi. Situasi ini diringankan sedikit dengan bantuan keuangan dari Engels, yang kembali bekerja di salah satu perusahan kapas ayahnya. Marx juga dapat mencari uang sedikit dengan membuat artikel-artikel mengenai peristiwa-peristiwa di Eropa yang dimuat dalam New York Daily Tribune. Pada pertengahan tahun 1850-an Marx menerima warisan kecil dari keluarga istrinya yang sudah meninggal, warisan itu memberikan daya tahan sementara. Pada tahun 1883 (dua tahun setelah kematian istrinya) Marx meninggal.

Karya yang paling penting dihasilkan Marx selama tahun-tahun hidupnya di London adalah Das Kapital sebagai karya besarnya (magnum opus). Secara keseluruhan pusat peerhatian Das Kapital adalah kontradiksi internal dalam sistem kapitalis. Kontradiksi-kontradiksi ini mendorong dinamisme sistem itu secara meluas, tetapi sekaligus merupakan benih-benih perubahan radikal terakhir. Yng lebih penting lagi, karyanya ini dimaksudkan sebagai satu kritik terhadap teori-teori ortodoks mengenai ekonomi politik, seperti teori Smith dan Richardo dengan asumsi-asumsi individualistiknya, implikasi-implikasi politik laissez-faire-nya serta optimismenya yang bersifat naif mengenai konsekuensi-konsekuensi jangka panjang yang menguntungkan dalam suatu pasar bebas yakni ekonomi kapitalis. Karir Marx tidak dapat dipisahkan dari perkembangan gerakan sosialis di pertengahan abad ke-19. Seperti Comte dia seorang marjinal tetapi dengan alasan yang berlainan. Status marjinal Comte berasal dari pelbagai sifat keanehan pribadinya. Sifat marjinal Marx berhubungan dengan keterlibatannya dalam hal-hal radikal. Mungkin antara lain karena sifat marjinalnya ini, Marx merupakan seorang katalisator untuk tiga orientasi intelektual yang berbeda. Sumbangan teoritisnya banyak diambil dari:
1.      Metode dialektik Hegel dan historisme Jerman
2.      Teori ekonomi politik Inggris
3.      Pemikiran sosialis Perancis

Tetapi ketiga orientasi ini sangat berubah dalam karya Marx dan ide-ide sentral Marx , meskipun berulang kali dinyatakan selama perjalanan hidupnya, memperlihatkan suatu sumbangan kreatif yang penting tehadap perkembangan sosiologi modern.
Titik Temu Pemikiran

Aliran ini berpandangan bahwa antara agama dan demokrasi tidak bisa dipertemukan. Kelompok ini terbagi pada dua kutub yakni pengusung agama dan anti agama. Di antara tokoh yang anti agama adalah Karl Marx, Max Weber dan Nietzche. Argumen yang mereka kemukakan antara lain adalah; Pertama, sejarah agama memberikan gambaran peran agama tidak jarang hanya digunakan oleh penguasa politik dan pimpinan organisasi keagamaan untuk mendukung kepemimpinan kelompok. Kedua, argumen filosofis yang menyatakan bahwa keterikatan pada doktrin agama akan menggeser otonomi dan kemerdekaan manusia, yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip demokrasi. Ketiga, argumen teologis yang menegaskan bahwa agama bersifat deduktif, metafisis dan menjadikan rujukannya pada Tuhan, padahal Tuhan tidak hadir secara empiris, sementara demokrasi adalah persoalan empiris, konkret dan dinamis. Maka agama tidak mempunyai kompetensi menyelesaikan persoalan demokrasi. Hanya ketika agama disingkirkan, maka manusia akan lebih leluasa, mandiri dan jernih berbicara soal demokrasi.

Setelah melihat karakteristik sosiologis postmodernisme dapat dikatakan, bahwa pemikiran tentang agama telah mengalami perubahan, yaitu dari aspek sifatnya. Pemikiran modern-postmodern mereduksi teologi menjadi antropologi, sebagai refleksi pemikiran manusia (Supernatural human mind). Pada perkembangan selanjutnya konsep agama atau gambaran Tuhan secara antropologis menjadi penjelasan situasi sejarah manusia. Seperti Karl Marx yang berpendapat, bahwa agama itu mengekspresikan penderitaan manusia yang disebabkan oleh perubahan ekonomi atau pemisahan kehidupan manusia yang egoistis dalam masyarakat sipil dari kehidupannya sebagai makhluk mansuia dalam masyarakat politik. Menurut Nietzsche, agama adalah ekspresi penderitaan, akan tetapi penderitaan yang sifatnya berbeda. Manusia menderita karena ia sebagai hewan yang sakit (sickly animal), menderita karena internalisasi instingnya sendiri yang disebabkan kehidupan sosialnya, dan menderita karena problem tentang makna dirinya. Pendapat Nietzsche ini menjelaskan bahwa realitas, nilai dan kekuasaan yang absolut, telah “mati” (God is Dead) dan diganti dengan nilai-nilai kemanusiaan. Alfred North Whitehead mengatakan bahwa pemikiran pada abad ke 20 adalah menjauh dari keimanan (away of faith).
Akbar S. Ahmed, intelektual Muslim, juga berpendapat sama bahwa kecenderungan pemikiran postmodern adalah penolakan terhadap agama yang telah mapan, postmodernisme terlihat anti kemapanan agama. Foucoult mendeskripsikan postmodern melalui konsekuensi-konsekuensi loginya sebagai berikut:
Most of us no longer believe that ethic is founded in religion, nor do we want a legal system to intervene in our moral, personal, private life. Recent liberation movements suffer from the fact that they cannot find any principle on which to base the elaboration of a new ethic. They need an ethic, but they cannot find any other ethic than an ethic founded on so-called scientific knowledge of what the self is, what desire is, what the unconscious is and so on.
Agama tidak lagi dipercaya sebagai dasar dari etika dan moral. Manusia semakin kehilangan semangat etis dari suatu agama, mereka lebih percaya pada pijakan ilmiah tentang diri, keinginan, kesadaran, dan lain-lainnya. Pijakan hidup manusia hanyalah dapat disandarkan pada kenyataan pengetahuan ilmiah dan konsep akal, inilah persepektif era modern-postmodern. Jadi, agama dalam pandangan postmodernisme merupakan sesuatu yang telah diputuskan dari status terdahulunya sebagai sumber nilai dan kebenaran bagi manusia. Maka wajar bila ada anggapan, bahwa postmodernisme akan menggoyahkan konsep kepercayaan, keberagamaan, dan kebenaran yang telah melekat bagi manusia beragama. Postmodernisme lebih berpijak pada konsep akal dalam segala hal termasuk menentukan nilai etika dan moral. Pada tahap selanjutnya, sebagai konsekuensi konsep akal, postmodernisme sebagai alur kritik modern akan melahirkan pluralisme agama dan relativisme kebenaran.
Dengan ini, agama ditantang dapat merasuki wilayah postmodernisme tanpa harus menghilangkan prinsip-prinsip transendensinya. Suatu keharusan dan kemestian agama juga ikut andil mengisi “ruang kosong” postmodernisme, supaya kekaburan yang ditimbulkan tidak semakin membuta dan menghanguskan nilai-nilai etika yang memang sudah mapam dalam diri agama. Dengan usaha agama semacam ini akan menemukan titik dialog yang diharapkan, yaitu keharmonisan, toleransi, kedamaian, dan lainnya. Agama tidak hanya berkutik dalam persoalan universalitas yang abstrak, akan tetapi juga harus membumi dan memanusia.
Nietzche mengkritik konsep Tuhan agamawan tradisional yang abstrak dengan pernyataannya “Tuhan telah mati”. Pernyataan filosofis ini lebih baik daripada konsepsi teologis tentang Tuhan yang tidak dapat mendengar, dan jikapun Ia mendengar, tidak tahu bagaimana untuk menolong. Tuhan juga tidak dapat menjadikan dirinya mudah dimengerti dan Ia sendiri juga kabur tentang diriNya dan tentang apa yang Ia maksud. Nietzche seakan memberikan sok terapi agar kesadaran kemanusiaan tumbuh sebagai kebaikan universal. Memang, pernyataan filosofis tersebut terdengar atheistik, akan tetapi kalau dipahami lebih mendalam terkandung nilai spiritualistik yang luar biasa.
Heidegger juga berpendapat sama dengan Nietzche, ia menolak konsep Tuhan yang metafisis dan non-metafisi. Menurutnya pemikiran teologis adalah berhenti berfikir tentang Tuhan sebagai cause sui, yaitu Tuhan yang dianggap sebagai kekuatan penyebab yang mencipta dan menjaga alam kosmos, dan sebagai gantinya adalah Tuhan yang manusia dapat menari dan melutut didepanNya, Tuhan yang sebenarnya (Truly Divine God). Pendapat Heidegger sejalan pula dengan pandangan Witgenstein, yang mengakui memahami konsep Tuhan sejauh menyangkut kesadaran individu tentang dosa dan kesalahan pribadi, bukan memahami konsep Tuhan sebagai Pencipta. Pendapat Witgenstein ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh para filosof Aristitelian.
Pandangan beberapa tokoh postmodernisme dalam memahami agama menimbulkan konsekuensi-konsekuensi. Agama tidak lagi menjadi konsep yang abstrak, melainkan sesuatu yang membumi dan terlihat secara antropologis. Menurut Witgenstein religiusitas bukan sifat yang diambil dari kegiatan ritual keagamaan yang biasanya ditandai oleh banyaknya doa, tapi ditandai oleh kegiatan sosial, hal ini dapat kita lihat dari kritiknya terhadap kekristenan:
But remember that Christianity is not a matter saying a lot of prayers; in fact we are told not to do that. If you and I are to live religious lives, it mustn’t be that we talk a lot about religion, but that our manner of life is different. It is my belief that only if you try to be helpful to other people will you in the end of your way to God.
Konsep keberagamaan Witgenstein dalam hal ini sependapat dengan pengertian Nietzsche tentang agama. Jika Witgenstein menganggap keberagamaan merujuk kepada kegiatan sosial dan bukan ritual, Nietzsche menyatakan bahwa agama tidak semestinya berdasarkan pada keimanan, dogma atau kepercayaan pada Tuhan yang personal. Akan tetapi dalam hal ini terlihat kabur dan tidak jelas apa yang menjadi asas dasarnya dan titik etikanya. Mereka melepaskan diri dari kungkungan dogma agama yang jauh dari jangkauan sosial, tapi tidak memperlihatkan asas dasar yang dapat memperjelas etika dan moralitas sosialnya.
Sebagaimana pendapat Huston Smith, bahwa dalam pemikiran postmodern tidak ada kebenaran dalam realitas, bahkan para postmodernis ragu apakah kebenaran itu mempunyai makna. Kebenaran dalam pemikiran postmodern terlihat problematik yang masih memerlukan suatu evaluasi dan perubahan sebab asa dasar kebenaran. Artinya, postmodernisme membangun suatu “teologi” berdasarkan pada asasnya sendiri, meskipun tidak disebut teologi. Dalam “teologi” ini Tuhan dimasukkan kedalam sistem penjelasan rasional yang tertutup (closed system of rational explanation), seperti yang terdapat dalam pemikiran modern. Karena akal manusia tidak dapat memahami hakekat Tuhan, pikiran postmodern merobohkan jalan berfikir matafisis. Akibatnya, postmodernis memahami agama dengan cara yang sangat berbeda dari kepercayaan yang dianut para kaum agamawan tradisional. Dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi agama, bahwa agama harus memasuki ranah kemanusiannya yang tidak hanya berkutik pada persoalan absolut yang abstrak.
Perubahan konsep agama juga disoroti oleh Alfred North Whitehead, dalam Science and Modern Word, sebagaimana ia mengatakan;
“Suatu agama merupakan agama yang kuat kalau dalam ritualnya dan dalam cara berpikirnya memberikan suatu visi yang menggerakan hati. Kebaktian kepada Tuhan bukan jalan untuk mencari rasa aman, melainkan suatu petualangan roh, suatu usaha untuk menggapai yang tak tergapai. Kematian suatu agama datang bersamaan dengan terjadinya represi terhadap harapan tinggi akan suatu petualangan”.
Katakanlah Whitehead sebagai seorang penyelamat agama dari kekejaman era modern. Ia mengembalikan agama pada yang semestinya, yaitu mencoba membangunkan agama yang tertidur lelap, merombak konsep-konsep agama yang semakin jauh dari detak jantung hati manusia dan membangun konsep agama yang sudah semestinya sebagaimana harapan postmodernisme. Lebih lanjut, Whitehead mengatakan, dalam Religion in the Making, bahwa;
“Sifat khas kebenaran agama-agama adalah bahwa kebenaran tersebut secara eksplisit berkaitan dengan nilai-nilai. Kebenaran itu menyadarkan kita akan aspek yang tetap dari alam semesta yang dapat kita pandang bernilai. Oleh kerenanya kebenaran tersebut memberi suatu makna, dalam arti nilai, pada eksistensi kita, suatu makna yang mengalir dari hakikat kenyataan sendiri”.
Agama ketika dihadapkan dengan modern-postmodern seakan tak dapat bernafa. Klaim-klaim yang begitu abstrak mengakibatkan banyak celaan di bawah tekanan masyarakat sains. Dan tak dapat disangkal pula, konflik intern yang mencuat akibat religi memasuki wilayah praksis politis, mengakibatkan ‘sejarah-darah’ yang berbicara. Menurut Alfred North Whitehead, agama-agama telah kehilangan genggaman pengaruhnya atas dunia. Baginya, kemerosotan itu disebabkan pertama, stagnasi atau kemandegan yang menimpa kehidupan beragama. Kemandegan ini terungkap dari sikap konservatisme dan sikap defensif kaum agamawan dalam menghadapi perubahan-perubahan masyarakat yang diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi. Kendati kaidah-kaidah dasar agama itu bersifat abadi, ungkapannya dalam perjalanan sejarah memerlukan perubahan dan penyesuaian. Bagi Whitehead, agama-agama melakukan bunuh diri kalau mendasarkan inspirasinya terutama pada dogma mereka. Karena masalah-masalah yang nyata dalam praksis hanya dapat dikaji dari pengalaman-pengalaman hidup yang konkret, maka pokok kehidupan beragama terletak dalam sejarah.



DAFTAR PUSTAKA


Berlin, Isaiah, Karl Marx: His Life and Environment. New York: Oxford University Press, 1948.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi: klasik dan modern I. Terjemahkan Robert M.Z Lawang. Jakarta: Gramedia, 1994.
Suseno, Franz Magnis, “editor: Prof. Dr. John Raines” Marx Tentang Agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar