Rabu, 25 Mei 2011

konflik kebudayaan

Pendahuluan
Menjelaskan hubungan yang terjalin di antar agama dan kebudayan dapat dilakukan dengan mengenal secara utuh esensi, tujuan dan peran agama dan kebudayaan dalam masyarakat.

Meski sebagian orang mengingkari adanya hubungan antara agama dan kebudayaan namun sejatinya pandangan ini tidak memiliki dasar dan pijakan. Adapun perkara bahwa sebagian unsur dari kebudayaan lantaran tidak sejalan dengan tujuan-tujuan transedental agama samawi yaitu sampainya manusia kepada kesempurnaan, bertolak belakang dengan agama atas alasan ini tidak diterima oleh agama, merupakan perkara yang jelas. Akan tetapi banyak unsur kebudayaan yang sejalan dengan program dan agenda agama. Dan adalah suatu hal yang wajar apabila mendapatkan sokongan agama. Dari sisi yang lain, banyak hal dari kebudayaan yang disuguhkan dalam tataran nilai-nilai yang dimunculkan dari agama.
Terkait pembahasan utama kita di sini tentang apakah terjalin hubungan antara agama dan kebudayaan atau tidak? Apabila terjalin hubungan eksistensial di antara keduanya? Apakah agama dan kebudayaan itu merupakan hal yang satu? Atau agama merupakan bagian dari kebudayaan setiap kaum dan bangsa. Atau agama itu sendiri adalah pencetak kebudayaan, dengan memperhatikan pelbagai definisi yang dibeberkan terkait dengan kebudayaan, masalah ini merupakan masalah yang dibahas tak henti-hentinya dan terdapat perbedaan pendapat di dalamnya.
Rumusan Masalah
1.Apakah kaitannya agama dengan budaya?
2.Pada posisi apa realitas pluralitas dapat terjalin? 

Agama
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi".[1]. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri , yaitu :
  • menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
  • menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama
. Arti Definisi / Pengertian Budaya Dan Kebudayaan
Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurutSoerjanto Poespowardojo 1993).
Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seniagama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.
Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

“Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.” (Hlm. 2-18 alinea I)
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.









Konflik dan Krisis Kebudayaan
Dalam puncak perkembangan kebudayaan dewasa ini, kebudayaan telah menjadi sistem jaringan kehidupan yang mengua­sai manusia, seakan-akan mempunyai daya hidup yang membuat manusia tidak berdaya, menghadapi dilema kebudayaan yang kom­pleks. Di satu pihak manusia ingin melepaskan din dari faring kebudayaan yang menjerafiya, dan pada sisi yang lain realitas ke­tidak berdayaan untuk menghadapinya, apalagi melepas dan meng­ubahnya, sebagaimana yang terjadi dalam pettumbuhan industri di qegara-negara sedang berkembang seperti kasus perusahaan tam­bang emas Freeport di Indonesia. Di satu sisi industri telah merusak lingkungan, menciptakan kesenjangan pendapatan yang makin tajam, tetapi pads sisi yang lain, kehidupan manusia sudalh amat tergantung kepadanya, tanpa industri tidak bisa dibayangkan bagaimana manusia dapat mengobati penyakit yang berkembang makin kompleks.
Dalam menghadapi kompleksitas perkembangan puncak kebudayaan, mulai muncul kebutuhan manusia terhadap spiritualitas baru yang dapat mencerahkan hatinya, menentramkan kegelisahan dan rasa keterasingan yang makin merisaukan. Spiritualitas baru itu tidak dapat diperoleh dari institusi agama yang telah terkooptasi oleh keempat pilar kekuatan penyangga industri, karena institusi agama itu telah berkembang menjadi alat legitimasi dari perluasan usaha dunia industri, terutama untuk meredam kegelisahan para karyawan dan mendorongnya untuk tetap mengabdi kepada perusa­haan industrinya.[1] Alquran 2:174 mengatakan :



Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah dari al-kitab dan mereka menjualnya dengan harga yang murah, mereka itu tidak memaknn ke dalam perut ntereka melainkan api, Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, dan tidak menyucikan mereka, dan hagi mereka azab yang pedih.
Sementara pada sisi lain, dalam masyarakat yang majemuk, selalu muncul adanya perbedaan-perbedaan yang kompleks, baik antara individu dengan individu yang lainnya, maupun antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya, baik dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun agama, dan dalam perkembangannya, perbedaan-perbe­daan itu seringkali berubah bentuk menj adi konflik, terutama ketika masing-masing individu atau kelompok masyarakat itu terlibat dalam perebutan kekuasaan dan kepentingan politik yang berten­tangan, dan karena bentuk-bentuk kompromi tidak dapat ditemukan untuk menyelesaikan pertentangan, maka konflik itu memicu lahir­nya bentuk tindakan yang destruktif, seperti kerusuhan, penjarahan dan bahkan pembunuhan.[2]
Sementara itu, konflik dalam kebudayaan, tidak selamanya dapatmencari dan menemukan bentuk-bentuk sintetik baru, untuk menci` takan kebudayan yang mencair dan rnengalir sesuai dengan desain dan rancangan kebudayaan yang dibuat, sehingga mengakibatan alirannya menjadi tak terkendali dan merusakkan tatanart kehidu an yang sudah ada. Datam tahap ini, sesungguhnya Ke­budaya itu sedang menghadapi suatu krisis, dan biasanya karena terjadiny krisis moral yang melanda berbagai aspek kehidupan manusia.

1. Agama dan Kebudayaan
Apakah agama itu kebudayaan? jawaban pertayaan ini telah menimbulkan adanya berbagai perdebatan, satu pihak menyatakan bahwa agama bukan kebudayaan, sementara pihak yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan. Keberatan orang yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama itu tidak datang dari manusia, tetapi datang dari Tuhan, dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak bisa disebut kebudayaan, seperti wahyu yang diturunkan Tuhan kepada manusia melalui utusan-Nya, yang menjadi sandaran fun­damental bagi agama.
Sementara itu, orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan, karena praktik agama tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Memang benar bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia, dan sepenuhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal kesanggupan pemikiran intelektual untuk memahaminya, maupun kesanggupan dirinya untuk menjalankannya daiam kehidupan, makaa dalam soal ini realisasi dan aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan, sehingga agama mau tidak mau menjadi soal kebudayaan.
Jika ditarik garis batas antara agama dan kebudayaan itu adalah garis batas Tuhan clan manusia, maka wilayah agama dan wilayah kebudayaan itu pada dasamya tidak statis, tetapi dinamis, karena Tuhan dan manusia berhubungan secara dialogis, di mana manusia menjadi khalifah (wakil) Nya di bumi. Pada tahapan ini, maka adakalanya antara agama dan kebudayaan menempati wilayahnya sendiri-sendiri, dan adakalanya pula keduanya berada dalam wilayah yang sama, yaitu wilayah kebudayaan agama, seperti dapat di gambarkan dalarn bagan sebagai berikut.



K         = Kebudayaan
A         = Agama
KA      = Kebudayaan
   Agama
Agama sesungguhnya untuk manusia, dan keberadaan agama dalam praktik hidup sepenuhnya bersandar pada kapasitas diri manusia, bukan sebaliknya manusia untuk agama. Oleh karena agarna untuk manusia, maka agama pada hakikatnya menerima adanya pluralitas dalarn memahami dan menjalankan ajarannya. Bukan itu saja, bahkan agarna diturunkan dengan memahami sepenuhnya realitas plural dalam kehidupan manusia itu sendiri. Realitas plural itulah yang melahirkan adanya pluralitas agarna, baik pluralitas eksternal dengan adanya agama agama yang lebih dari satu, yaitu Islam, Kristen Katolik dan Protestan, Budha, Hindu, maupun pluralitas internal agarna yaitu aliran-aliran keagamaan yang ada dalarn satu agama, seperti Syi'ah, Sunni dalam Islam dan masih banyak lagi yang lainnya.
Jika agama untuk manusia, maka agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan,dan menyejarah menjadi ke­budayaan, sehingga sejarah agama adalah sejarah kebudayaanagama, yang menggambarkan dan menerangkan bagaimana terja­dinya proses pemikiran, pemahaman dan isi kesadaran manusia tentang wahyu, doktrin dan ajaran agama, yang kemudian dipraktik­kan dalam realitas kehidupan manusia dan dalarn sejarah perkem­bangan agama itu, sehingga agamayang menyejarah telah sepenuh­nya menjadi wilayah kebudayaan, karena tanpa menjadi kebu­dayaan, maka sesungguhnya sejarah agama-agama itu tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah dituliskan.
Oleh karena itu, jika kitab suci dibicarakan dan dipahami sebagai wahyu dari Tuhan yang diturunkan kepada seoang nabi, maka sesungguhnya harus ada batas-batas yang dapat diterangkan secara jelas, kapan wahyu itu sebagai wahyu yang datang dari Tuhan dan sepenuhnya bersandar kepada Tuhan, dan kapan wahyu itu kemudian dituliskan, diajarkan dan dijelaskan oleh seorang nabi kepada. umatnya, yang kemudian dipraktikkannya dalam kehidupan bersama, yang sepenuhnya bersandar pada realitasnya sebagai seorang nabi, karena bagaimana pun, seorang nabi itu sesungguhnya manusia juga. Alquran 18; 110 mengatakan :

Artinya : Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu hanyalah Tuhan Yang Satu, maka siapa yang mengharapkan perjump,aan dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan antal kesalehan dan janganlah dia mempersekutukan Tuhannya dalam beribadah dengan seorang pun.
Dalam konsep filsafat Islam, kebudayaan Islam baik pada dataran konsep maupun produk, pada dasarnya harus ditegakkan dan dibangun oleh berfungsinya aqal quds secara seimbang, baik dalam dimensi pikir maupun zikir, berdasarkan wawasan hikmah dan kitab, sehingga kebudayaan Islam tidak dibangun dan ditegak­kan berdasarkan rasio semata-mata, yang akan mengakibatkan kebudayaan kehilangan dimensi spiritualitasnya, dan mempunyai, kecenderungan terlepas dari wawasan moralitas kemanusiaan universal dan spiritualitas agama.
Agama sebagai Sebuah Model untuk Realitas dan Interaksi Antara Keduanya: Islam sebagai Suatu Sistem Budaya Tentu saja harus dibuat suatu pembedaan antara "model-model mengenai realitas" (models of reality) dengan "model-model untuk realitas" (models for reality),' Model-model mengenai realitas ber­hubungan dengan penyajian objek, seperti yang terdapat pada alam, sementara model-model untuk realitas berlaku untuk konsep-konsep benda, seperti aktivitas manusia. Model-model mengenai realitas bersifat kongkret, yang menggambarkan kongruensi struktural dengan objek yang digambarkan, semen­tara model-model untuk realitas bersifat abstrak, yang berupa teori, dogma, atau doktrin untuk suatu realitas yang dengan realitas itu teori, dogma atau doktrin itu tidak merupakan kongruensi struktural. Sebaliknya, baik secara metafisik atau se­cara rasional, teori itu berhubungan dengan persepsi manusia mengenai realitas serta karakternya; teori itu tidak dapat dipe­netrasi secara eksperimental, hanya secara interpretatif.
Beberapa penelitian agama yang berorientasi pada sosiologi cen­derung ke arah reduksionisme yang menolak otonomi parsial agama-agama dengan tanpa ragu menempatkan agama itu sebagai sistem budaya dalam suatu hubungan kausal dengan level perkembangan dari masyarakat masing-masing. Isi agama, yang se­lalu disamakan dengan pola-pola budaya, menurut Geertz, me­miliki aspek ganda: Isi agama itu memberikan arti pada berbagai realitas sosial dan psikologis bagi para penganut-penganutnya, yang dengan demikian mendapatkan "suatu bentuk konseptual yang obyektif"; isi agama itu terbentuk oleh realitas dan pada saat yang sama membentuk realitas itu sesuai dengan isi agama itu.' Dalam interpretasi awal ini, simbol-simbol religiokultural membentuk bagian dari realitas tetapi bukan sekadar refleksi dari realitas, karena simbol-simbol itu juga mempengaruhi realitas. Selanjutnya, bahwa penurunan posisi sebuah agama ke tingkat perkembangan masyarakat tidaklah tepat. Geertz memberikan perhatian terhadap masyarakat-masyarakat dengan level perkembangan yang sebanding, yang di dalam level itu "tingkat artikulasi agama"8 yang ada sangat berbeda. Ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk menyangkal gagasan bahwa ide-ide agama dapat dikoielasikan dengan evolusi sosial; yang dikritik di sini adalah reduksi ide-ide agama menjadi suatu struktur masyarakat.
Dalam konteks antropologi interpretatifnya; upaya Geertz untuk memahami agama sebagai suatu sistem yang terdiri atas berbagai simbol yang memberikan arti, tampaknya akan bermanfaat di sini. Menurut Geertz, agama adalah "(1) suatu sistem simbol yang ber­tindak untuk (2) menetapkan dorongan hati dan motivasi yang kuat, menembus, dan bertahan lama pada manusia (3) dengan cara memformulasikan berbagai konsep tentang: suatu tatanan umum dari yang hidup dan (4) mewarnai konsep-konsep ini dengan aura faktualitas sehingga (dorongan hati dan motivasi itu tampak sangat realistik. Sekarang kita akan menguraikan definisi yang komprehensif ini menjadi komponen-komponennya secara in­dividual dari secara berproses berupaya untuk mengetahui dengan pasti validitas dari statemen-statemen yang dibuat di dalamnya untuk keperluan analisis kita tentang Islam sebagai suatu sistem budaya.
Pertama, agama dideskripsikan sebagai suatu sistem simbol, simbol-simbol yang ada bersatu membentuk pola-pola budaya, yang pada gilirannya membentuk model. Di sini penting untuk mengingat perbedaan antara "model-model mengenai realitas" dengan " model-model untuk realitas". Model-model mengenai realitas berhubungan dengan objek-objek yang digambarkannya, yang memiliki arti penting untuk membedakan antara symbol dengan objek. "Model-model mengenai realitas" dengan demikian terdiri atas simbol-simbol yang berkorespondensi dengan objek­objek nyata, sementara "model-model untuk realitas" menlberikan konsep-konsep atau doktrin-doktrin untuk realitas. Dalam penger­tian ini, agama adalah model untuk realitas dan bukan objek mengenai realitas; agama memiliki karakter ganda. Sekarang,lebih mudah untuk memahami, tetapi dengan alasan ini maka pema­haman itu hanya dapat diperoleh dengan baik dengan cara inter­pretatif.
Menurut Geertz, simbol-simbol untuk realitas yang ditawarkan oleh suatu agama sebagai suatu sistem budaya menghasilkan mo­tivasi yang menembus dan bertahan lama sehingga menyebabkan orang untuk bertindak. Tindakan-tindakan ini harus serasi dengan Kitab Suci, akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Dalam kaitannya dengan Islam, di sini saya dapat mengutip contoh mengenai larangan keras utang berbunga yang diterima secara subjektif oleh umat Muslim pada Abad Pertengahan, walaupun tindakan mereka secara objektif menentang larangan ini. Pada saat itu, apa yang kita kenal sebagai hiyal (muslihat dan tipuan yang bersifat legal) dikembangkan untuk mendorong orang untuk mengelak dari larangan terhadap bunga dan pada saat yang sama memperlonggar kesadaran dari orang-orang Muslim yang saleh.  Interpretasi Geertz tentang motivasi dan dorongan hati yang ditimbulkan oleh suatu sistem simbolik tertentu mampu untuk menjelaskan kondisi ini secara utuh: "Untuk menjadi saleh tidak harus melaksanakan sesuatu yang kita sebut tindakan yang saleh, tetapi harus mampu melaksanakan tindakan-tindakan itu."2' Dengan demikian jelas bahwa antropolog interpretatif tidak akan mampu menemukan kesalehan dalam bentuk motivasi dan dorongan hati dengan cara mencari sumber-sumber literernya dalam teks-teks agama, walaupun mereka harus mempelajarinya dalam teks-teks agama itu; tugas mereka adalah memahami per­sepsi dan praktek ajaran agama yang dipandang Islami, walau­pun dalam prakteknya sangat beragam dalam berbagai situasi yang sangat beragam secara historis dan kultural.

 Kebudayaan merupakan salah satu pahaman yang paling menyeluruh dan universal dalam ilmu-ilmu Sosial dimana terdapat ragam definisi yang diberikan tentangnya.

Secara leksikal kebudayaan (culture) bermakna adab, ilmu, pengetahuan dan makrifat
Sebagian orang berpandangan bahwa di antara redaksi agama dan kebudayaan tidak terjalin hubungan apa pun; karena kebudayaan merupakan warisan komunitas yang memiliki sisi kebangsaan yang diperoleh atas proses menuju kesempurnaan secara natural dan gradual masyarakat. Kondisi-kondisi natural dan demografis mempengaruhi adanya perbedaan dalam kebudayaan. Dengan kata lain, apa yang diciptakan masyarakat dalam pelbagai kondisi natural, geografis dan mungkin historis dan dipersembahkan kepada manusia adalah kebudayaan. Akan tetapi agama bukan warisan masyarakat atau komunitas dan agama-agama bukanlah produk yang dicipta oleh manusia. Mengikut para teolog agama merupakan pranata Ilahi. Dengan asumsi sedemikian dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan antara agama dan kebudayaan, akan tetapi sejalan satu dengan yang lain.
Sebagian pemikir meyakini bahwa menolak hubungan antara pahaman agama dan kebudayaan merupakan suatu hal pelik dilakukan. Apabila dalam agama dibahas masalah akhlak dan akidah maka ruh kebudayaan juga demikian adanya. Jika adab dan kebiasaan merupakan bagian dari kebudayaan maka syariat agama juga bertutur-kata tentang adab dan kebiasaan
Akan tetapi kebudayaan tidak satu karena perbedaan pelbagai kondisi dan situasi geografis. Sebagian kebudayaan seperti tradisi mengubur hidup-hidup anak-anak putri pada zaman jahiliyah. Pelbagai bid'ah dan khurafat yang merebak di tengah masyarakat dan seiring dengan berlalunya waktu berubah menjadi sebuah kebudayaan bagi masyarakat tersebut. Jelas bahwa kebudayaan semacam ini tidak ada sama sekali sangkut pautnya dengan agama. Sebagian kebudayaan diterima oleh agama dengan menggunakan metode jarh dan ta'dil dan pada kebanyakan perkara agama menjadi peletak dasar berkembangnya sebuah kebudayaan.
Terkait dengan munculnya agama, sejarah agama-agama menunjukan bahwa agama muncul tatkala perangkat-perangkat agama sebelumnya telah mengalami kerusakan dan penyimpangan moral-sosial dalam sebuah masyarakat. Bagaimanapun, tatkala sebuah agama atau maktab (school of thought) muncul biasanya terjadi sebuah revolusi atau perubahan asasi pada nilai-nilai dan sistem yang dianut sebuah masyarakat yang menjadi penyebab goncangnya kebudayaan. Sebagian dari unsur-unsur kebudayaan lama rontok dan unsur-unsur baru yang selaras dengan nilai-nilai baru atau maktab baru diadopsi. Melalui jalan ini, agama atau maktab-maktab mengkonstruksi kebudayaan.

Meski tatkala setiap agama muncul, ia tidak serta merta muncul bersama kebudayaan. Namun setiap agama memunculkan nilai-nilai baru atau mengemukakan nilai-nilai baru. Nilai-nilai ini, pertama, berada dalam format kebudayaan yang menggusur kebudayaan lama yang tidak sejalan dengan nilai-nilai ini, misalnya kemunculan Islam yang menggusur kebudayaan mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan. Kedua, format-format yang kosong dari sisi kandungan dan bertentangan dengan nilai-nilai baru, namun dapat ditiupkan ruh kepadanya yang didasarkan pada nilai-nilai baru dan mengeluarkannya dari kerusakan serta menjadikannya sebagai media bagi kemunculan nilai-nilai ini.
Dalam Islam, haji dapat dijadikan contoh dari format-format ini. Haji pada masa sebelum kedatangan Islam modelnya berisikan kemusyrikan, namun Islam tidak mengeliminir bentuk-bentuknya dan tetap memelihara adab-adab dan kebiasaan haji model lama lalu memberikan kandungan tauhid di dalamnya. Karena itu, kebudayaan lama itu menjadi kuat dan bertahan dalam sistem kebudayaan baru. Atau misalnya lagi, hari raya tahun baru di Iran sebelum dan setelah Islam.
ada hakikatnya, agama baru tidak serta merta memunculkan kebudayaan baru, tetapi mengemukakan nilai-nilai baru dan masyarakat berdasarkan nilai-nilai ini melahirkan kebudayaan baru. Setelah munculnya kebudayaan baru, berdasarkan agama baru kini agama termasuk bagian dari kebudayaan masyarakat tersebut.[10]
Hal yang patut diperhatikan di sini adalah bahwa masuknya satu agama pada pelbagai kaum dan bangsa menjadi penyebab munculnya pelbagai ragam kebudayaan berdasarkan nilai-nilai maka agama dan kebudayaan akan menjadi satu. Gambaran semacam bukanlah gambaran benar sehingga kita menyangka bahwa agama yang masuk pada daerah mana pun akan melahirkan kebudayaan yang satu. Tidak demikian. Yang benar bahwa agama menjadikan nilai-nilai yang satu itu sebagai ukuran dan kriteria di setiap masyarakat. Namun ragam kebudayaan akan bermunculan lantaran adanya kebudayaan-kebudayaan lama; karena pembentukan format-format kebudayaan ini bergantung sepenuhnya pada situasi geografis dan gaya hidup setiap kaum dan bangsa.[11][Islam Quest]
Hubungan Agama dan Budaya: Tinjauan Sosiokultural

    Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuatdengan yang tidak. Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India, Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga mempengaruhi agama. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya (Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama.


Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak budaya itu  terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79)
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau  lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi  bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitukasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam  dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau (Philipus Tule 1994:159).
Kenyataan adanya legacy tersebut membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia telah membuat manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia untuk menjadi manusia.



Kesimpulan
Jika ditarik garis batas antara agama dan kebudayaan itu adalah garis batas Tuhan clan manusia, maka wilayah agama dan wilayah kebudayaan itu pada dasamya tidak statis, tetapi dinamis, karena Tuhan dan manusia berhubungan secara dialogis, di mana manusia menjadi khalifah (wakil) Nya di bumi. Pada tahapan ini, maka adakalanya antara agama dan kebudayaan menempati wilayahnya sendiri-sendiri, dan adakalanya pula keduanya berada dalam wilayah yang sama, yaitu wilayah kebudayaan agama, seperti dapat di gambarkan dalarn bagan sebagai berikut.



K         = Kebudayaan
A         = Agama
KA      = Kebudayaan
   Agama
Agama sesungguhnya untuk manusia, dan keberadaan agama dalam praktik hidup sepenuhnya bersandar pada kapasitas diri manusia, bukan sebaliknya manusia untuk agama. Oleh karena agarna untuk manusia, maka agama pada hakikatnya menerima adanya pluralitas dalarn memahami dan menjalankan ajarannya. Bukan itu saja, bahkan agarna diturunkan dengan memahami sepenuhnya realitas plural dalam kehidupan manusia itu sendiri. Realitas plural itulah yang melahirkan adanya pluralitas agarna, baik pluralitas eksternal dengan adanya agama agama yang lebih dari satu, yaitu Islam, Kristen Katolik dan Protestan, Budha, Hindu, maupun pluralitas internal agarna yaitu aliran-aliran keagamaan yang ada dalarn satu agama, seperti Syi'ah, Sunni dalam Islam dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sebagian orang berpandangan bahwa di antara redaksi agama dan kebudayaan tidak terjalin hubungan apa pun; karena kebudayaan merupakan warisan komunitas yang memiliki sisi kebangsaan yang diperoleh atas proses menuju kesempurnaan secara natural dan gradual masyarakat. Kondisi-kondisi natural dan demografis mempengaruhi adanya perbedaan dalam kebudayaan. Dengan kata lain, apa yang diciptakan masyarakat dalam pelbagai kondisi natural, geografis dan mungkin historis dan dipersembahkan kepada manusia adalah kebudayaan
DAFTAR PUSTAKA

Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik,   Bandung, Pustaka Hidayah, 1998.
Budi Purnomo, Alays, Jakarta:  Penerbit Buku Kompas, 2003.
Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Ranaka Cipta,1990
O’Dea, Thomas, Sosiologi Agama, Jakarta: CV Rajawali, 1984.
Mulyono Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Jakarta;  Pustaka Sinar Harapan, 1982.
Tule, Philipus, Wilhelmus Julei, ed Agama-agama, Kerabat Dalam Semesta, Flores:Penerbit Nusa Indah, 1994.
Wach, Jajachim, Ilmu Perbandingan agama, Jakarta : CV Rajawali, 1984.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar