Minggu, 25 Desember 2011

Kritik Ali Syari'ati terhadap Marxisme


KRITIK ALI SYARI’ATI TERHADAP MARXISME







Proposal

Diajukan Untuk diseminarkan dan Memenuhi
Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Ushuluddin

Oleh
Gesit Yudha
0831010020

Jurusan Aqidah Filsafat




FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
2012



Kritik Ali Syari’ati terhadap Marxisme

A.    Penegasan Judul
Sebelum penulis melakukan pembahasan serta penjelasan mengenai judul yang diangkat, maka penulis akan menguraikan secara singkat maksud dari judul skripsi “Kritk Ali Syari’ati terhadap Marxisme” untuk menghindarkan kesalahan pembaca dalam memahaminya.
Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx menyusun sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem politik. Pengikut teori ini disebut sebagai Marxis.[1] Marxisme mencakup materialisme dialektis dan materialisme historis serta penerapannya pada kehidupan sosial.[2]
Salah satu alasan mengapa Marxisme merupakan sistem pemikiran yang amat kaya adalah bahwa Marxisme memadukan tiga tradisi intelektual yang masing-masing telah sangat berkembang saat itu, yaitu filsafat Jerman, teori politik Perancis, dan ilmu ekonomi Inggris. Marxisme tidak bisa begitu saja dikategorikan sebagai "filsafat" seperti filsafat lainnya, sebab marxisme mengandung suatu dimensi filosofis yang utama dan bahkan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap banyak pemikiran filsafat setelahnya. Itulah sebabnya, sejarah filsafat zaman modern tidak mungkin mengabaikannya.[3]
Marxisme di pandang sebagai senjata yang paling efektif. Padahal jarang di sadari bahwa Marxisme sendiri sebetulnya adalah produk sejarah, organisasi sosial, dan pandangan kultural Barat. Bukan karena figur pendiri dan pemimpin nya semua orang Barat tetapi dengan menggunakan analisis Marxis, ideologi itu sendiri harus di anggap semata-mata superstruktur yang tegak di atas infrastruktur sosial dari sistem produksi industri borjuis Barat modern.
Marxisme  secara dogmatis membagi masyarakat ke dalam dua bagian: infrastruktur dan suprastruktur. Marxisme menyebut yang pertama “cara produksi”, yang di tentukan sesuai dengan sifat “alat produksi”. Karena itu, bentuk dari suprastruktur yang meliputi agama, moral, kesusasteraan, seni, psikologi, filsafat; pemikiran dan kepercayaan eksistensial, politik, sosial, ekonomi, humanistis dan seterusnya, sampai pada setiap bayangan ideologi pun timbul dari alat produksi.
Untuk memahami dasar filosofis pandangan Marxisme yang anti relijius, kita harus melihat karya para intelektual yang di anggap oleh kaum Marxis sebagai termasuk kelompok kaum borjuis baru. Dengan pengaruh mengasingkan dari agama , apabila seseorang dapat menghindari dari pengasingan ini,seseorang akan sampai pada dirinya, mengalami kesadaran diri sebagai Homo homini deo (manusia yang menjadi Tuhan bagi dirinya).
Marxisme dengan dasar pemikiran ekonomisnya  bagi semua eksistensi manusia, bagi kehidupan manusia dan sejarah, mengubah sosialisme ke dalam tatanan ekonomis murni yang berdasar pada “kekayaan material melalui industri”, dan mengambil dialektika Hegel (yang berpendapat bahwa Tuhan di wujudkan dalam sejarah manusia) alat untuk merealisasikan kehidupan borjuis bagi kaum proletar.
Dalam menolak marxis ini, Syari’ati di bantu oleh pengenalannya yang akrab dengan para pendahulunya Marxisme dalam pemikiran Eropa dan lingkungan sejarah intelektual yang menandai doktrin itu dengan stempel Barat yang tak dapat di hapus ,walaupun doktrin itu sengaja di ekspor ke dunia ketiga sebagai alat untuk menandingi Barat. Lebih-lebih kritikannya mengenai Marxisme di letakkan dalam konteks pandangan terpadu dan pernyataan Islam sebagai ideologi. Jelas bahwa kritiknya tidak semata-mata di dorong oleh rasa permusuhan . Kombinasi dari faktor-faktor ini menghasilkan suatu analisis dan penolakan yang gamblang dan meyakinkan serta radikal dan tanpa kompromi.[4]

B.     Alasan Memilih Judul
Adapun yang menjadi alasan penulis dalam memilih judul penelitian ini adalah sebagai berikut : 
Dengan segenap semangat misionarisnya, dank arena alasan bahwa Marxisme
  1. Mempunyai misi global tanpa batasan khusus yang bersifat relijius, cultural atau nasional
  2. Merupakan suatu ideologi yang luas dan jelas batas-batasnya, yang berusaha mempertahankan dengan bersemangat dogma-dogma yang telah terkristal kuat
  3. Tidak hanya mengajukan system khusus ekonomi atau politis, tetapi juga menyusup ke dalam setiap daerah, setiap dimensi eksistensial pribadi dan sosial manusia: material, spiritual, intelektual, dan moral
  4. Memiliki landasan filosofis dan kepercayaan yang mendasari analisisnya, pemecahananya bagi setiap pertanyaannya mengenai manusia dan masyarakat, di waktu lampau dan mendatang
  5. Berlandaskan materialisme dialektika yang mengandung kemiripan yang jelas dan tak terbantah dengan bentuk fanatisme relijius yang paling kuat dan, menurut kaum Marxis bukan semata-mata perspektif filosofis seperti milik kaum materialis dan naturalis sekuler Yunani kuno atau abad ke 18 (yang hanya menyampaikan abstraksi tentang manusia dan alam), melainkan juga “satu-satunya deskripsi ilmiah yang lengkap mengenai realita” dan suatu misi fanatic yang tidak dapat mentolerir setiap perspektif lain yang berdampingan dengannya
  6. Menganggap dirinya kebenaran yang absolut dan eksklusif, di sampingnya hanya ada kekeliruan  absolut maka Marxisme memandang bahwa tugasnya adalah  pemusnahan secara sistematis segala bentuk agama. Karena Marxisme pada dasarnya menganggap agama sebagai suatu bukan saja sia-sia tetapi bahkan secara intelektual merusak. Marxisme menganggap agama adalah musuh rakyat, suatu rintangan jalan, dan Marxisme tak pernah berusaha menutupi kejujuran kata-kata Lenin: ‘Kita harus memperlakukan agama secara bengis”


C.    Latar Belakang Masalah

Malapetaka modern yang mengarah pada kerusakan dan kemerosotan kemanusiaan dapat di kelompokkan dalam dua judul pokok sistem sosial, sistem intelektual. Dalam kedua sistem sosial yang di luar tampak bertentangan ini yang merangkul manusia baru atau mengundang manusia kedalam rangkulannya ,sangat terasa sekali adanya kenyataan bahwa manusia suatu esensi utama dan supra materi secara tragis telah di lupakan.

Kedua sistem sosial ini kapitalisme dan komunisme walaupun berbeda dalam bentuk lahirnya, menganggap manusia sebagai binatang ekonomis (economic animal). Penampilan mereka yang berbeda mencerminkan persoalan siapa di antara mereka yang lebih sukses dalam memenuhi kebutuhan binatang ini.

Ekonomisme adalah prinsip dasar filsafat kehidupan dalam masyarakat kapitalis industri barat, tepat seperti yang di katakan Francis Bacon :”Ilmu meninggalkan pencarian kebenaran ,dan beralih mencari kekuatan”.

“kebetulan-kebetulan” material yang di timbulkan setiap hari dan yang secara berangsur-angsur semakin besar (sehingga lingkup konsumsi dapat di perbesar dalam kuantitas.kualitas dan juga variasi ,agar mesin-mesin produksi raksasa dapat di beri makan selagi mereka berpacu dalam kesintingan),mengubah orang-orang menjadi penyembah konsumsi.

            Setiap hari beban yang semakin berat di timpakan pada khalayak ramai,  sehingga keajaiban teknologi modern yang seharusnya telah membebaskan umat manusia dari perbudakan kerja jasmani dan menambah waktu santai, ternyata tak berbuat demikian. Begitu cepat kebutuhan material artificial melampaui kecepatan teknologi produksi yang sudah sedemikian hebat itu. Tiap hari kemanusiaan semakin terserat kearah pengasingan, lebih tenggelam dalam pusaran gila kecepatan yang memaksa. Bukan saja tidak ada waktu untuk menumbuhkan nilai kemanusiaan, keluhuran moral dan kepekaan ruhaniah, makhluk ini malahan tenggelam dalam bekerja untuk mengonsumsi dan mengonsumsi untuk bekerja. Penyelaman kedalam persaingan edan mengejar kemewahan dan penyimpangan ini telah menyebabkan nilai tradisional merosot dan juga menghilang.


Dalam masyarakat komunis kita dapatkan hal serupa nilai moral kemanusiaan terus menurun. Banyak kaum intelektual merenungkan kontras ekonomi dan politis antara masyarakat komunis dan kapitalis. Mereka menganggap komunis berbeda dengan kapitalis dalam hal antropologi, filsafat kehidupan dan humanisme. Tetapi kita lihat jelas bahwa masyarakat komunis, walaupun telah mencapai tahap pertumbuhan ekonomi yang relatif maju, amat menyerupai borjuis barat dalam hal perilaku ssial, psikologi sosial, pandangan individual, filsafat hidup dan tabiat kemanusiaan. Yang sedang di perselisihkan dalam masyarakat komunis sekarang dengan nama Fourierisme[5], emboorgoisement(pemborjuisan), dan bahkan liberalisme tidak lain dari pada suatu orientasi kepada manusia barat kontemporer. Perhatian yang kuat terhadap mode dan kemewahan yang sekarang merata ,baik dalam kehidupan individu maupun dalam system produksi. Negara muncul dari kenyataan bahwa pada akhirnya masyarakat marxis dan kapitalis mempersembahkan satu jenis manusia yang sama bagi pasaran sejarah kemanusiaan.

Demokrasi dan liberalisme Barat sesuci apapun keduanya di sebut-sebut dalam teori-pada prakteknya tak lebih dari pada kesempatan gratis untuk makin memamerkan semangat ini, dan untuk menciptakan secara makin cepat dan kasar suatu arena bagi kekuatan-kekuatan yang haus akan keuntungan, yang di tugaskan untuk mengubah manusia menjadi binatang ekonomis yang konsumtif.

Jadi sekarang kita lihat adanya kapitalisme Negara dengan sosialisme, diktator Pemerintahan dengan nama “kediktatoran proletar’, tunggal fanatisme kepercayaan dengan nama “materialisme dialektis”diamat[6] dan akhirnya, kepercayaan pada prinsip mekanisme dan ekonomisme demi pencapaian kekayaan ekonomi secepatnya, agar segera melewati sosialisme menuju komunisme. Semuanya ini adalah beban yang menimpa kemanusiaan atas nama kemauan suci, bebas dan kreatif ;serta mencampakkan kemanusiaan seakan-akan sebagai suatu benda social kedalam organisasi yang kasar, tetapi serba melingkupi yaitu kedalam suasana yang paling nyata dari pengasingan politis dan intelektual, sama seperti yang di bicarakan Marx dalam hubungannya manusia borjuis.

            Materialisme pada umumnya mengakui kenyataan (materi) yang secara obyektif riil tak tergantung dari kesadaran, dari perasaan, dari pengalaman dll. daripada umat manusia. Materialisme historis mengakui kehidupan sosial tak tergantung dari kesadaran sosial  umat manuisa. Kesadaran baik di sana maupun di sini adalah hanya cerminan daripada kenyataan, paling-paling cerminannya hanya mendekati ketepatan (yang adekwatif, yang secara idiil tepat). Di dalam filsafat Marxisme itu, yang dituang dari sebungkal baja, tidak bisa diambil baik pangkal dasarnya, maupun bagiannya yang penting, tanpa menghindarkan diri dari kebenaran obyektif, tanpa terperosok ke dalam pelukan tipuan burjuasi reaksioner.
Berangkat dari masalah ini, penulis berkeinginan untuk mengangkat ke permukaan pandangan Ali Syari’ati Kritik Islam atas Marxisme karena itulah kajian skripsi ini penulis beri judul “Pandangan Islam terhadap Marxisme’


D.    Rumusan Masalah
            Dari latar belakang tersebut diatas ada beberapa permasalahan yang kiranya perlu diangkat sebagai rumusan masalah diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Apa pemikiran Marx terhadap dunia modern?
2.      Bagaimanakah pandangan Islam atas paham marxis?


E.     Tujuan Penelitian
            Penelitian pada umumnya memiliki tujuan untuk menambah wawasan pemikiran terhadap obyek yang dikaji juga penelitian yang akan peneliti bahas melalui skripsi ini.  Adapun mengenai tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pandangan Ali Syari’ati mengenai Marxisme
2.      Supaya mengetahui akar paham marxis itu sendiri
3.      Serta untuk mengetahui pandangan Islam terhadap paham Marxisme.
F.     Metodelogi Penelitian
            Metode suatu penelitian akan sangat bergantung pada pokok permasalahan dan sifat penelitian tersebut. Sedangkan untuk mendapatkan data yang obyektif bagi suatu penelitian, Maka setiap penelitian ilmiah harus menggunakan suatu metode penelitian tertentu. Guna memperoleh data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Maka dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:

1.  Jenis Dan Sifat Penelitian
      a.  Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library reseach), yang dimaksud dengan penelitian kepustakaan menurut Hermawan Warsito ialah: suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan mengumpulkan data dari berbagai literatur dari perpustakaan.[7]  

      b.  Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat “Diskriptif Analisis” yaitu Penelitian hanya melukiskan, memaparkan dan melaporkan suatu obyek atau gejala tertentu dengan cara melakukan penyelidikan yang kritis serta  kehati-hatian dan menganalisa sebuah persoalan yang sedang dihadapi.[8]  Metode ini digunakan untuk memaparkan serta menggambarkan pendapat Ali Syari’ati tentang kritik Islam atas Marxisme.

2.  Alat Pengumpul Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu:
a.   Data Primer
Yang dimaksud dengan data primer adalah suatu data yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya[9]  Dalam hal ini penulis menggunakan buku aslinya sebagai data primer adapun  sumber primer dalam penelitian ini adalah Kritik Islam Atas Marxisme dan sesat piker Barat lainnya.

b.   Data Sekunder
            Data sekunder adalah data yang tidak berkaitan secara langsung dengan sumber aslinya.[10] Adapun data-data sekunder yang dapat diambil adalah dari karya ilmiah, jurnal, buku literatur, yang berkaitan dengan pembahasan yaitu yang membahas tentang marxis.

3.   Metode pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data dengan cara membaca, mencatat serta menyusun data-data yang diperoleh itu menurut pokok bahasan masing-masing. Adapun tehnik dari pengumpulan data-data tersebut penulis menggunakan antara lain:
1)   Kartu Ihtisar
Pencatatan hanya garis besar  dari pokok karangan, sumber data atau pendapat seorang tokoh. Dengan demikian pencacatan ini harus dilakukan akurat karena untuk menghindari kekaburan dari sumber aslinya.
2)   Kartu Kutipan
Yaitu pencatatan sesuai dengan aslinya dan tidak mengurangi dan menambah atau merubah walaupun satu kata, huruf maupun tanda baca. Adapun mempertinggi penelitian kutipan diadakan pengecekan ulang ketika selesai mengutip, lalu disertai dengan halaman sumber yang terdapat diakhir kutipan.
3)   Kartu komentar / Ulasan
Kartu ini memuat catatan khusus yang datang dari peneliti sebagai refleksi terhadap suatu sumber data yang dibaca. Komentar atau ulasan tersebut dapat berupa krirtik, saran, kesimpulan, atau berupa penjelasan kembali terhadap sumber data yang bersifat pribadi.[11]

4.   Analisa Data
            Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, maka selanjutnya dilakukan tahapan analisis terhadap data-data tersebut. Dalam menganalisa data peneliti mengunakan metode:
a.   Analisa Komperatif
Yaitu suatu cara membandingkan data yang diperoleh dari perpustakaan yang merupakan data kualitatif untuk menemukan persamaan dan perbedaan terhadap suatu ide.[12]
Metode ini dipergunakan untuk memperjelas pendapatAli Syari’ati untuk menemukan titik mengkritisi atas Marxis
b.   Analisa Deduktif
Selanjutnya dalam mengambil kesimpulan ini, peneliti menggunakan metode deduktif yaitu suatu cara mengambil kesimpulan dari uraian-uraian yang bersifat umum, kepada uraian kesimpulan yang bersifat khusus.[13]

OUT LINE SEMENTARA

HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
RIWAYAT HIDUP
MOTTO
PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Penegasan  judul
B.     Alasan memilih judul
C.     Latar belakang masalah
D.    Rumusan masalah
E.     Tujuan penelitian
F.      Metodelogi penelitian
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RIBA
A.    PengertianMarxisme
B.     Ajaran marxis
C.     Pandangan Islam terhadap marxis
BAB III BIOGRAFI ALI SYARI’ATI TENTANG FAHAM MARXIS
A.    Sekilas tentang Ali Syari;ati
1.      Riwayat hidup dan latar belakang pendidikannya
2.      Pemikiran dan karya-karyanya
3.      Pandangan Ali Syari;ati terhadap Marxis

BAB IV  ANALISIS ISLAM TERHADAP MARXIME
Pokok-pokok ajaran marx tentang dunia modern dan Islam menaggapinya
BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Penutup
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN




DAFTAR PUSTAKA
Ali Syari’ati,Kritik Islam atas Marxisme dan sesat piker Barat lainnya.Bandung:Mizan 1980
Anton Baker Dan Zubair Ahmad Charis, Metodelogi Penelitian Filsafat, Yogyakarta : Kanisius 1990.
Bryan Magee. 2008. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius.
Chalid narbuko,Abu Dawud, Metodelogi Penelitian, Jakarta : Bumi Aksara, 1991.
Daniel L. Pals. 1996. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: Qalam
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Panduan Proses dan Prosedur Penyusunan Skripsi, Bandar Lampung : Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, 2005
Hermawan Warsirto, Pengantar Metodelogi Penelitian, Jakarta : Gramedia Utama, 1992.
Kartini Kartono, Metodelogi Penelitian, Bandung : Mandar Maju,  1996.
Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama..
P. A. van der Weij. 1991. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Robert Audi. 1995. The Cambridge Dictionary of Philosophy. United Kingdom: Cambridge University Press.



[1] Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.. 572-575
[2] Robert Audi. 1995. The Cambridge Dictionary of Philosophy. United Kingdom: Cambridge University Press. Hlm. 465-467.
[3] Bryan Magee. 2008. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius. Hlm 164-171.
[4] Ali Syari’ati.1980.Kritik Islam atas Marxisme dan sesat pikiran Barat lainnya.Bandung.Mizan Hlm. 42-43
[5] Turunan(transkip) harfiahnya disni adalah”furalisme”,kami duga bahwa mungkin kata yang di maksud adalah “formalisme”

[6] Diamat;suatu singkatan dari “dialectical materialism”,yakni materialisme yang merupakan”prinsip kepercayaan yang harus mendasari pendidikan kaum muda,penyelidikan ilmiah,kesusasteraan dan seni,filsafat serta pandangan ilmiah”.Dengan kata lain,materialisme adalah semacam peraturan relijius tanpa agama

[7] Hermawan Warsirto, Pengantar Metodelogi Penelitian, Gramedia Utama, Jakarta, 1992. Hlm.10
[8] Kartini Kartono, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju,  Bandung, 1996. Hlm.33
[9] Chalid narbuko,Abu Dawud, Metodelogi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 1991.Hlm.43
[10] Ibid.
[11]Anton Baker Dan Zubair Ahmad Charis, Metodelogi Penelitian Filsafat, Kanisius Yogyakarta, 1990. Hlm.63
[12] Suharsimi Arikunto, Op.Cit., Hlm.247
[13] Anton Baker, Op.Cit., Hlm.17

proposal judul


KRITIK ALI SYARI’ATI TERHADAP HUMANISME







Proposal

Diajukan Untuk diseminarkan dan Memenuhi
Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Ushuluddin

Oleh
Gesit Yudha
0831010020

Jurusan Aqidah Filsafat




FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
2011
Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.
Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah, dan para cendekiawan dalam kesenian bebas. Pandangan mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia.
Humanisme sekular mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama setempat.
Mengkaji Ulang Humanisme
”Humanisme" dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan: humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan humanisme sebagai "sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural mana pun".33

Dewasa ini, humanisme telah menjadi nama lain bagi ateisme. Salah satu contohnya adalah antusiasme terhadap Darwin yang khas pada majalah Amerika, The Humanist.
Namun, definisi paling jelas tentang humanisme dikemukakan oleh pendukungnya. Salah seorang juru bicara humanisme paling terkemuka di masa kini adalah Corliss Lamont. Dalam bukunya, Philosophy of Humanism, ia menulis:
(Singkatnya) humanisme meyakini bahwa alam… merupakan jumlah total dari realitas, bahwa materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada. Ketidaknyataan supernatural ini pada tingkat manusia berarti bahwa manusia tidak memiliki jiwa supernatural dan abadi; dan pada tingkat alam semesta sebagai keseluruhan, bahwa kosmos kita tidak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi. 34
Sebagaimana dapat kita lihat, humanisme nyaris identik dengan ateisme, dan fakta ini dengan bebas diakui oleh kaum humanis. Terdapat dua manifesto penting yang diterbitkan oleh kaum humanis di abad yang lalu. Yang pertama dipublikasikan tahun 1933, dan ditandatangani oleh sebagian orang penting masa itu. Empat puluh tahun kemudian, di tahun 1973, manifesto humanis kedua dipublikasikan, menegaskan yang pertama, tetapi berisi beberapa tambahan yang berhubungan dengan berbagai perkembangan yang terjadi dalam pada itu. Ribuan pemikir, ilmuwan, penulis, dan praktisi media menandatangani manifesto kedua, yang didukung oleh Asosiasi Humanis Amerika yang masih sangat aktif.
Jika kita pelajari manifesto-manifesto itu, kita menemukan satu pondasi dasar pada masing-masingnya: dogma ateis bahwa alam semesta dan manusia tidak diciptakan tetapi ada secara bebas, bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada otoritas lain apa pun selain dirinya, dan bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat. Misalnya, enam pasal pertama dari Manifesto Humanis adalah sebagai berikut:
Pertama: Humanis religius memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan.
Kedua: Humanisme percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai hasil dari proses yang berkelanjutan.
Ketiga: Dengan memegang pandangan hidup organik, humanis menemukan bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad harus ditolak.
Keempat: Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana digambarkan dengan jelas oleh antropologi dan sejarah, merupakan produk dari suatu perkembangan bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan warisan sosialnya. Individu yang lahir di dalam suatu budaya tertentu sebagian besar dibentuk oleh budaya tersebut.
Kelima: Humanisme menyatakan bahwa sifat alam semesta digambarkan oleh sains modern membuat jaminan supernatural atau kosmik apa pun bagi nilai-nilai manusia tidak dapat diterima…
Keenam: Kita yakin bahwa waktu telah berlalu bagi teisme, deisme, modernisme, dan beberapa macam “pemikiran baru”. 35
Pada pasal-pasal di atas, kita melihat ekspresi dari sebuah filsafat umum yang mewujudkan dirinya di bawah nama materialisme, Darwinisme, ateisme, dan agnotisisme. Pada pasal pertama, dogma materialis tentang keberadaan abadi alam semesta dikemukakan. Pasal kedua menyatakan, sebagaimana dinyatakan teori evolusi, bahwa manusia tidak diciptakan. Pasal ketiga menyangkal keberadaan jiwa manusia dengan mengklaim bahwa manusia terbentuk dari materi. Pasal keempat mengajukan sebuah “evolusi budaya” dan menyangkal keberadaan sifat manusia yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan (sifat istimewa manusia yang diberikan pada penciptaan). Pasal kelima menolak kekuasaan Tuhan atas alam semesta dan manusia, dan yang keenam menyatakan bahwa telah tiba waktunya untuk menolak "teisme", yakni kepercayaan pada Tuhan.
Akan teramati bahwa klaim-klaim ini adalah gagasan stereotip, khas dari kalangan yang memusuhi agama sejati. Alasannya adalah bahwa humanisme adalah pondasi utama dari perasaan antiagama. Ini karena humanisme adalah ekspresi dari “manusia merasa bahwa dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)”, yang merupakan dasar utama bagi pengingkaran terhadap Tuhan, sepanjang sejarah. Dalam salah satu ayat Al Quran, Allah berfirman:
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?
Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim),
kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya,
lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan.
Bukankah (Allah) yang berbuat demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?
(QS. Al Qiyaamah, 75: 36-40)
Allah berfirman bahwa manusia tidak akan “dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)”, dan segera mengingatkan bahwa mereka adalah ciptaan-Nya. Sebab, begitu menyadari bahwa dirinya adalah ciptaan Allah, seseorang akan memahami bahwa dia bukannya “tanpa pertanggungjawaban”, tetapi bertanggung jawab kepada Allah.
Karena inilah, klaim bahwa manusia tidak diciptakan telah menjadi doktrin dasar filsafat humanis. Dua pasal pertama dari Manifesto Humanis pertama mengungkapkan doktrin ini. Lebih jauh lagi, kaum humanis berpendapat bahwa sains mendukung klaim ini.
Namun, mereka keliru. Sejak Manifesto Humanis pertama dipublikasikan, kedua premis yang dikemukakan kaum humanis sebagai fakta ilmiah tentang gagasan bahwa alam semesta abadi dan teori evolusi, telah runtuh:
1. Gagasan bahwa alam semesta adalah abadi digugurkan oleh serangkaian penemuan astronomis yang dilakukan ketika Manifesto Humanis pertama tengah ditulis. Penemuan seperti fakta bahwa alam semesta tengah berkembang, dari radiasi latar kosmis dan kalkulasi rasio hidrogen atas helium, telah menunjukkan bahwa alam semesta memiliki permulaan, dan muncul dari ketiadaan sekitar 15-17 miliar tahun yang lalu dalam sebuah ledakan yang dinamai "Dentuman Besar". Walaupun mereka yang mendukung filsafat humanis dan materialis tidak rela menerima teori Dentuman Besar, mereka akhirnya dikalahkan. Sebagai hasil dari bukti ilmiah yang telah diketahui, komunitas ilmiah akhirnya menerima teori Dentuman Besar, yakni bahwa alam semesta memiliki permulaan, dan karenanya kaum humanisme tidak dapat membantah lagi. Demikianlah pemikir ateis Anthony Flew terpaksa mengakui:
… karenanya saya mulai mengakui bahwa ateis Stratonisian telah dipermalukan oleh konsensus kosmologis kontemporer. Karena tampaknya para ahli kosmologi memberikan bukti ilmiah tentang apa yang oleh menurut St. Thomas tak dapat dibuktikan secara filosofis; yakni bahwa alam semesta memiliki permulaan….36
2. Teori evolusi, pembenaran ilmiah terpenting di balik Manifesto Humanis pertama, mulai kehilangan pijakan satu dekade setelah Manifesto itu ditulis. Saat ini diketahui bahwa skenario yang dikemukakan sebagai asal usul kehidupan oleh kaum evolusionis ateis (dan tak diragukan, humanis), seperti oleh A.I. Oparin dan J.B.S. Haldane pada tahun 1930, tidak memiliki keabsahan ilmiah; makhluk hidup tidak dapat diturunkan secara spontan dari materi tak-hidup sebagaimana diajukan oleh skenario ini. Catatan fosil menunjukkan bahwa makhluk hidup tidak berkembang melalui sebuah proses perubahan kecil yang kumulatif, tetapi muncul secara tiba-tiba dengan berbagai karakteristik yang berbeda, dan fakta ini telah diterima oleh para ahli paleontologi evolusionis sendiri sejak 1970-an. Biologi modern telah menunjukkan bahwa makhluk hidup bukanlah hasil dari kebetulan dan hukum alam, tetapi bahwa pada setiap sistem kompleks dari organisme yang menunjukkan sebuah perancangan cerdas terdapat bukti bagi penciptaan. (Untuk lebih detail baca Harun Yahya, Darwinisme Terbantahkan: Bagaimana Teori Evolusi Runtuh di Hadapan Ilmu Pengetahuan Modern)
Lebih-lebih lagi, klaim keliru bahwa keyakinan religius merupakan faktor yang menghambat manusia dari perkembangan dan membawanya kepada konflik telah digugurkan oleh pengalaman sejarah. Kaum humanis telah mengklaim bahwa penyingkiran kepercayaan religius akan membuat manusia bahagia dan tenteram, namun, yang terbukti justru sebaliknya. Enam tahun setelah Manifesto Humanis dipublikasikan, Perang Dunia II meletus, sebuah catatan malapetaka yang dibawa ke dunia oleh ideologi fasis yang sekuler. Ideologi humanis lainnya, komunisme, mendatangkan kekejaman yang tak terperi, pertama terhadap bangsa Uni Soviet, kemudian Cina, Kamboja, Vietnam, Korea Utara, Kuba, dan berbagai negara Afrika dan Amerika Latin. Sebanyak 120 juta manusia terbunuh oleh rezim atau organisasi komunis. Juga telah jelas bahwa merek humanisme Barat (sistem kapitalis) tidak berhasil membawa kedamaian dan kebahagiaan kepada masyarakat mereka sendiri ataupun kepada wilayah-wilayah lain di dunia.
Keruntuhan argumen humanisme tentang agama juga telah tampak pada lapangan psikologi. Mitos Freudian, sebuah batu pijakan dari dogma ateis semenjak awal abad kedua puluh, telah digugurkan oleh data empiris. Patrick Glynn, dari Universitas George Washington, menerangkan fakta ini di dalam bukunya yang berjudul God: The Evidence, The Reconciliation of Faith and Reason in a Postsecular World:
Seperempat abad terakhir dari abad kedua puluh tidaklah ramah terhadap pandangan psikoanalitik. Yang paling signifikan adalah ditemukannya bahwa pandangan Freud tentang agama (belum lagi sekumpulan besar masalah lain) adalah benar-benar keliru. Yang cukup ironis, riset ilmiah dalam psikologi selama dua puluh lima tahun terakhir telah menunjukkan bahwa, jauh dari sebagai penyakit saraf atau sumber dari neuroses sebagaimana dinyatakan Freud dan murid-muridnya, keyakinan agama adalah salah satu kolerasi yang paling konsisten dari kesehatan mental dan kebahagiaan yang menyeluruh. Kajian demi kajian telah menunjukkan hubungan kuat antara keyakinan dan praktik agama di satu sisi, dan tingkah laku yang sehat sehubungan dengan masalah-masalah seperti bunuh diri, penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang, perceraian, depresi, bahkan mungkin mengejutkan, tingkat kepuasan seksual di dalam perkawinan, di sisi lain. 37
Singkatnya, apa yang dianggap sebagai pembenaran ilmiah di balik humanisme telah terbukti tidak sahih dan janji-janjinya gagal. Namun demikian, kaum humanis tidak meninggalkan filsafat mereka, tetapi malahan mencoba untuk menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia melalui metode propaganda massa. Khususnya pada periode pascaperang terjadilah propaganda humanis yang intens di lapangan sains, filsafat, musik, kesusasteraan, seni, dan film. Pesan menarik namun kosong yang diciptakan oleh para ideolog humanis telah disampaikan kepada massa secara bertubi-tubi. Lagu "Imagine" karya John Lennon, penyanyi solo dari grup musik paling terkenal sepanjang masa, the Beatles, adalah contohnya:

John Lennon, dengan liriknya, "Bayangkan tiada agama," merupakan salah satu propagandis terdepan dari filsafat humanis di abad ke dua puluh.
Bayangkan tiada surga

Mudah jika kau coba

Tiada neraka di bawah kita

Di atas kita hanya angkasa

Bayangkan semua manusia

Hidup untuk hari ini saja...

Bayangkan tiada negara

Tak sukar untuk dilakukan

Tak perlu membunuh atau terbunuh

Dan juga tiada agama…

Mungkin kau sebut aku pemimpi

Tetapi aku bukan satu-satunya

Kuharap suatu hari kau bergabung dengan kami

Dan dunia akan menjadi satu
Lagu ini terpilih sebagai "lagu abad ini" dalam beberapa jajak pendapat yang diselenggarakan di tahun 1999. Ini merupakan indikasi paling tepat tentang perasaan sentimental yang digunakan untuk menyampaikan humanisme kepada massa, karena kurangnya landasan ilmiah atau rasional humanisme. Humanisme tidak dapat menghasilkan keberatan rasional terhadap agama ataupun kebenaran yang diajarkannya, tetapi berusaha menggunakan metode sugestif semacam ini.
Ketika janji-janji Manifesto Humanis I di tahun 1933 terbukti gagal, empat puluh tahun kemudian para humanis mengajukan konsep kedua. Pada awal teks ini ada upaya untuk menjelaskan mengapa janji-janji pertama tidak membuahkan hasil. Walaupun ada fakta bahwa penjelasan ini sangat lemah, ini menunjukkan keterikatan abadi humanisme terhadap filsafat ateis mereka.
Karakteristik paling jelas dari manifesto tersebut adalah mempertahankan garis antiagama pada manifesto tahun 1933:
Sebagaimana di tahun 1933, kaum humanis tetap memercayai bahwa teisme tradisional adalah keimanan yang tak terbukti dan sudah ketinggalan zaman, khususnya keimanan akan Tuhan yang mendengarkan doa, yang dianggap hidup dan memerhatikan manusia, mendengar dan memahami, serta sanggup mengabulkan doa-doa mereka…. Kami percaya… bahwa agama-agama otoriter atau dogmatik yang tradisional, yang menempatkan wahyu, Tuhan, ritus, atau kredo di atas kebutuhan dan pengalaman manusia merugikan spesies manusia…. Sebagai orang yang tidak bertuhan, kami mengawali dengan manusia bukannya Tuhan, alam bukannya ketuhanan. 38
Ini adalah penjelasan yang sangat dangkal. Untuk memahami agama, pertama seseorang membutuhkan kecerdasan dan pemahaman agar mampu menangkap gagasan-gagasan yang dalam. Ia mesti didekati dengan tulus dan tanpa prasangka. Alih-alih, humanisme tidak lebih dari upaya dari sekumpulan orang, yang sejak awal adalah ateis dan antiagama yang bernafsu, untuk menggambarkan prasangka ini masuk akal.

Bertolak belakang dari janji-janji filsafat humanis, ateisme hanya membawa perang, konflik, kekejaman, dan penderitaan bagi dunia.
Namun, upaya kaum humanis untuk menggambarkan keimanan kepada Tuhan dan agama-agama Monoteistik sebagai kredo yang tidak berdasar dan ketinggalan zaman sebenarnya bukan hal baru; hanya memperbarui sebuah klaim berusia ribuan tahun dari mereka yang mengingkari Tuhan. Di dalam Al Quran, Allah menjelaskan argumen seumur dunia yang dikemukakan oleh orang-orang kafir:
Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.
Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Apakah yang telah diturunkan Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Dongeng-dongengan orang-orang dahulu. (QS. An-Nahl, 16: 22-24)
Ayat ini mengungkapkan bahwa penyebab sebenarnya dari penolakan orang-orang kafir terhadap agama adalah kesombongan yang tersembunyi di dalam hati mereka. Filsafat yang disebut humanisme adalah tampak lahiriah belaka dari pengingkaran akan Tuhan di zaman ini. Dengan kata lain, humanisme bukanlah cara berpikir yang baru, sebagaimana mereka yang mendukung klaimnya; ia sudah seumur dunia ini, pandangan dunia yang kuno yang umum pada mereka yang mengingkari Tuhan karena kesombongan.
Jika kita mencermati perkembangan humanisme di dalam sejarah Eropa, kita akan menemukan banyak bukti nyata bagi pernyataan ini.

AKAR HUMANISME DI DALAM KABBALAH
Kita telah memahami Kabbalah sebagai sebuah doktrin yang berasal dari Mesir Kuno, lalu memasuki dan mencemari agama yang diturunkan Allah kepada bani Israil. Kita juga telah memahami bahwa ia berlandaskan pada cara berpikir yang sesat, yang menganggap manusia sebagai makhluk agung yang tidak diciptakan sebelumnya dan telah ada tanpa permulaan.
Humanisme memasuki Eropa dari sumber ini. Keyakinan kristiani berdasarkan kepada keberadaan Tuhan, dan bahwa manusia adalah hamba-hamba ciptaan-Nya yang tergantung kepada-Nya. Namun, dengan penyebaran tradisi Templar di seluruh Eropa, Kabbalah mulai menarik banyak filsuf. Maka, di abad ke-15, arus humanisme bermula dan meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di dalam kancah pemikiran Eropa.
Hubungan antara humanisme dan Kabbalah ini telah ditegaskan dalam sejumlah sumber. Salah satunya adalah buku dari pengarang terkenal Malachi Martin yang berjudul The Keys of This Blood. Martin adalah seorang profesor sejarah pada Lembaga Injil Kepausan Vatikan. Ia mengungkapkan bahwa pengaruh Kabbalah dapat dengan jelas teramati di antara para kaum humanis:

Sebagaimana ditunjukkan oleh sejarawan Universitas Vatikan Malachi Martin, ada hubungan erat antara kebangkitan humanisme di Eropa dengan Kabbalah....
Di dalam iklim ketidakpastian dan tantangan tidak biasa yang menandai zaman Italia Renaisans-awal ini, bangkitlah sebuah jaringan persekutuan kaum Humanis yang bercita-cita melepaskan diri dari kendali menyeluruh dari tatanan mapan itu. Dengan cita-cita seperti ini, persekutuan-persekutuan ini harus berada di dalam lindungan kerahasiaan, paling tidak pada awalnya. Namun di samping kerahasiaan, kelompok-kelompok humanis ini ditandai oleh dua ciri utama lainnya.
Pertama, mereka memberontak terhadap penafsiran tradisional tentang Injil sebagaimana dipertahankan oleh otoritas gerejawi dan sipil, serta menentang pilar-pilar filosofis dan teologis yang dikeluarkan oleh gereja bagi kehidupan sipil dan politis…
Dengan sikap permusuhan seperti itu, tidak mengagetkan jika kelompok-kelompok ini memunyai konsepsi sendiri tentang pesan orisinil dari Injil dan wahyu Tuhan. Mereka mengunci diri di dalam apa yang mereka sebut sebagai bentuk pengetahuan yang sangat rahasia, sebuah gnosis, yang sebagiannya mereka landaskan pada rantai kepemujaan dan klenik yang berasal dari Afrika Utara khususnya Mesir dan, sebagiannya, Kabbalah Yahudi yang klasik itu….
Kaum humanis Italia membuang bagian dari gagasan Kabbalah nyaris tanpa dikenali. Mereka merekonstruksi konsep gnosis, dan memindahkannya ke latar duniawi yang sepenuhnya ini. Gnosis khusus yang mereka cari adalah suatu pengetahuan rahasia tentang bagaimana menguasai kekuatan alam yang buta untuk tujuan sosio-politis. 39
Pendeknya, masyarakat humanis yang terbentuk pada masa itu ingin menggantikan budaya Katolik Eropa dengan sebuah budaya baru yang berakar pada Kabbalah. Mereka bermaksud menciptakan perubahan sosiopolitis untuk mewujudkannya. Menarik bahwa di samping Kabbalah, pada sumber budaya baru ini terdapat doktrin-doktrin Mesir Kuno. Prof. Martin menulis:
Para calon anggota persekutuan humanis awal ini adalah pengikut Kuasa Agung Arsitek Kosmos yang Agung yang mereka representasikan dalam bentuk Tetragrammaton Sakral, YHWH…. (kaum humanis) meminjam lambang-lambang lain Piramid dan Mata Yang Melihat Segalanya terutama dari sumber-sumber Mesir. 40
Menarik sekali bahwa kaum humanis menggunakan konsep “Arsitek Agung Alam Semesta”, sebuah istilah yang masih digunakan oleh kaum Mason saat ini. Ini menunjukkan bahwa pastilah terdapat hubungan antara kaum humanis dan Mason. Prof. Martin menulis:
Sementara, di daerah utara lainnya, berlangsung sebuah persatuan yang jauh lebih penting dengan para humanis. Sebuah persatuan yang tak diduga siapa pun.
Di tahun 1300-an, selama masa persekutuan pengikut kaballah dan humanis mulai menemukan bentuk-nya, telah ada terlebih dahulu terutama di Inggris, Skotlandia, dan Prancis berbagai gilda manusia abad pertengahan….
Tidak seorang pun yang hidup di tahun 1300-an dapat memperkirakan penggabungan pemikiran antara gilda-gilda freemasonry dan kaum humanis Italia….
Freemasonry baru bergeser dari semua kesetiaan kepada agama Kristen gerejawi Romawi. Dan sekali lagi, sebagaimana pada para humanis klenik Italia, kerahasiaan yang dijamin oleh tradisi Loge sangat penting dalam keadaan tersebut. Namun selain kerahasiaan, kedua kelompok memiliki kesamaan yang lebih banyak lagi. Dari berbagai tulisan dan catatan Masonry yang spekulatif, jelaslah bahwa ajaran keagamaan pusat menjadi kepercayaan kepada Arsitek Agung Alam Semesta suatu sosok yang sekarang akrab dari pengaruh para humanis Italia…. Arsitek Agung ada dan menjadi bagian penting dari materi kosmos, sebuah hasil dari pemikiran yang “tercerahkan.”
Tidak ada dasar konseptual yang dapat menghubungkan keyakinan seperti ini dengan agama Kristen. Belum lagi semua gagasan seperti dosa, Neraka sebagai hukuman dan Surga sebagai ganjaran, dan Pengorbanan abadi dari Misa, santo dan malaikat, pendeta dan paus. 41
Singkatnya, di Eropa abad keempat belas, sebuah organisasi humanis dan Masonik lahir dengan mengakar kepada Kabbalah. Dan bagi organisasi ini, Tuhan tidaklah sebagaimana pandangan Yahudi, Kristen, dan Muslim: yakni sebagai Pencipta dan Pengatur segenap alam semesta dan satu-satunya Penguasa, serta Tuhan dari umat manusia. Alih-alih, mereka memunyai konsep sendiri, seperti “Arsitek Agung Alam Semesta”, yang mereka pandang sebagai “bagian dari alam materi”.
Dengan kata lain, organisasi rahasia ini menolak Tuhan, sebaliknya, melalui konsep “Arsitektur Agung Alam Semesta” menerima alam materi sebagai suatu bentuk ketuhanan.
Agar mendapatkan definisi yang lebih jelas dari kepercayaan yang rusak ini, kita dapat meloncat ke abad kedua puluh dan mengamati literatur Masonik. Misalnya, salah satu pengikut Mason Turki yang paling senior, Selami Isindag, mengarang buku berjudul Masonluktan Esinlenmeler (Inspirasi dari Freemasonry). Tujuan dari buku ini adalah untuk mendidik pengikut Mason muda. Mengenai kepercayaan Mason terhadap “Arsitek Agung Alam Semesta”, ia mengungkapkan:
Masonry bukannya tanpa Tuhan. Namun konsep Tuhan mereka berbeda dari yang ada pada agama. Tuhan Masonry adalah sebuah prinsip agung. Ia berada pada puncak evolusi. Dengan mengkritisi keberadaan di dalam diri kita, mengenal diri kita, dan secara sengaja menempuh jalan sains, kecerdasan, dan kebajikan, kita dapat mengurangi sudut antara ia dan diri kita. Kemudian, tuhan ini memiliki ciri-ciri baik dan buruk dari manusia. Ia tidak mewujud sebagai pribadi. Ia tidak dipandang sebagai tuntunan alam atau umat manusia. Ia adalah arsitek dari karya agung alam semesta, kesatuan dan keselarasannya. Ia adalah totalitas dari semua makhluk di alam semesta, sebuah kekuatan total yang mencakup segala sesuatu, dan energi. Walau begitu, tidak dapat dianggap bahwa ia adalah suatu permulaan… ini sebuah misteri besar. 42
Di buku yang sama, jelas jika kaum Freemason menyebut tentang “Arsitek Agung Alam Semesta”, yang dimaksudkan adalah alam, atau, artinya mereka menyembah alam:
Selain alam, tidak mungkin ada kekuatan yang bertanggung jawab atas pikiran atau tindakan kita…. Prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin Masonry adalah fakta-fakta ilmiah yang berdasarkan kepada sains dan kecerdasan. Tuhan adalah evolusi. Unsurnya adalah kekuatan alam. Jadi realitas absolut adalah evolusi itu sendiri dan energi yang mencakupnya. 43
Majalah Mimar Sinan, sebuah organisasi penerbitan khusus bagi kaum Freemason Turki juga memberikan pernyataan tentang filsafat Masonik yang sama:
Arsitek Agung Alam Semesta adalah kecenderungan menuju keabadian. Ia adalah jalan masuk ke keabadian. Bagi kami, ia adalah suatu pendekatan. Ia menuntut pencarian tanpa henti terhadap kesempur-naan mutlak di keabadian. Ia membuat jarak antara saat sekarang dan Freemason yang berpikir, atau, kesadaran. 44
Beberapa simbol Masonik.
Inilah kepercayaan yang dimaksudkan para Mason ketika berujar, "kami memercayai Tuhan, kami sama sekali tidak menerima ateis di sekitar kami." Bukannya Tuhan yang disembah para Mason, namun konsep-konsep naturalis dan humanis semacam alam, evolusi, dan kemanusiaan yang dituhankan oleh filosofi mereka.
Jika kita sekilas mengamati literatur Masonik, kita dapat mulai melihat bahwa organisasi ini tidak lebih dari humanisme yang terorganisasi, juga memahami bahwa sasarannya adalah untuk menciptakan sebuah tatanan humanis sekuler di seluruh penjuru dunia. Berbagai gagasan ini lahir di antara kalangan humanis dari Eropa abad keempat belas; sementara para Mason saat ini masih mengajukan dan membelanya.

HUMANISME MASONIK: PENYEMBAHAN MANUSIA
Berbagai terbitan internal Mason secara rinci menjelaskan filosofi humanis organisasi ini dan permusuhan mereka terhadap monoteisme. Tak terhitung banyaknya penjelasan, penafsiran, kutipan, dan alegori yang diajukan tentang topik ini di dalam terbitan Masonik.

Pico Della Mirandola, seorang humanis Kabbalis yang terkemuka.
Sebagaimana diungkapkan di awal, humanisme telah memalingkan wajahnya dari Pencipta umat manusia dan menerima manusia sebagai “bentuk tertinggi dari keberadaan di alam semesta”. Nyatanya, ini bermakna penyembahan terhadap manusia. Keyakinan tidak rasionil ini, yang diawali dengan kaum humanis pengikut Kabbalah di abad keempat belas dan kelima belas, berlanjut hari ini dengan Masonry modern.
Salah satu humanis paling terkenal dari abad keempat belas adalah Pico Della Mirandola. Karyanya yang berjudul Conclusiones philosophicae, cablisticae, et theologicae dihujat oleh Paus Innocent VIII pada tahun 1489 sebagai mengandung pemikiran-pemikiran bidah. Mirandola menulis bahwa tidak ada yang lebih tinggi di dunia selain kegemilangan manusia. Gereja memandang ini sebagai gagasan bidah dan tidak pelak lagi adalah penyembahan terhadap manusia. Memang, ini merupakan gagasan bidah karena tidak ada sesuatu pun yang patut dimuliakan selain Allah. Manusia hanyalah ciptaan-Nya.
Dewasa ini, kaum Mason memroklamirkan pemikiran bidah Mirandola tentang penyembahan manusia secara jauh lebih terbuka. Misalnya, pada sebuah buku kecil Masonik dikatakan:
Masyarakat-masyarakat primitif dahulu lemah, dan karena kelemahan ini, mereka menuhankan kekuatan dan fenomena di sekitar mereka. Namun Masonry menuhankan manusia saja 45
Di dalam The Lost Key of Freemasonry, Manly P. Hall menjelaskan bahwa doktrin humanis Masonik ini berakar dari Mesir Kuno:
Manusia adalah tuhan dalam proses penciptaan, dan sebagaimana di dalam mitos-mitos mistik Mesir, di atas jentera pembuat tembikar, dia dibentuk. Ketika cahayanya bersinar untuk mengangkat dan melindungi segala sesuatu, dia menerima mahkota rangkap tiga ketuhanan, dan bergabung dengan rombongan Pemimpin Mason, yang dengan jubah Biru dan Emas mereka, berupaya untuk menghalau kegelapan malam dengan cahaya rangkap tiga dari Loge Masonik. 46
Artinya, menurut kepercayaan palsu Masonry, manusia adalah tuhan, namun hanya pemimpin agung yang mencapai kesempurnaan ketuhanan. Agar menjadi seorang pemimpin agung adalah dengan menolak sepenuhnya keimanan pada Tuhan dan fakta bahwa manusia adalah abdi-Nya. Fakta ini secara ringkas disebutkan oleh penulis lain, J.D. Buck, dalam bukunya Mystic Masonry:
Satu-satunya diri Tuhan yang diterima Freemasonry adalah kemanusiaan sempurna…. Karenanya kemanusiaan adalah satu-satunya tuhan. 47
Jelaslah bahwa Masonry adalah suatu bentuk agama. Namun, agama di sini tidaklah Monoteistik; melainkan suatu agama humanis, dan karenanya merupakan agama yang keliru. Ia mencakup penyembahan atas manusia, bukan Tuhan. Tulisan-tulisan Masonik menekankan poin ini. Pada sebuah artikel di majalah Turk Mason (Mason Turki), disebutkan, “Kita selalu menyatakan bahwa cita-cita tinggi Masonry terletak pada doktrin 'Humanisme'.” 48
Terbitan Turki lainnya menerangkan bahwa humanisme adalah sebuah agama:
Sama sekali bukan upacara kering dari dogma-dogma keagamaan, melainkan sebuah agama yang murni. Dan humanisme kita, ke mana arti hidup mengakar, akan memenuhi kerinduan yang tidak disadari kaum muda. 49
Bagaimana kaum Mason melayani agama palsu yang mereka percayai ini? Untuk memahaminya, kita harus mengamati sedikit lebih dekat pada pesan-pesan yang mereka sebarkan kepada masyarakat.

TEORI MORAL HUMANIS
Dewasa ini, kaum Masonry di banyak negara sibuk memperkenalkan diri kepada anggota masyarakat lainnya. Melalui berbagai konferensi pers, situs internet, iklan koran dan pernyataan, mereka menunjukkan diri sebagai sebuah organisasi yang semata mengabdikan diri untuk kebaikan masyarakat. Dalam beberapa negara bahkan terdapat organisasi-organisasi amal yang didukung oleh kaum Mason.
Hal serupa diutarakan oleh organisasi Rotary dan Lion's Club, yang merupakan versi “ringan” dari Masonry. Semua organisasi ini bersikeras bahwa mereka bekerja untuk kebaikan masyarakat.
Tentu saja, bekerja untuk kebaikan masyarakat tidak untuk diremehkan, dan kami tidak berkeberatan dengannya. Namun, di balik klaim mereka terdapat sebuah pesan yang memerdaya. Kaum Mason mengklaim bahwa moralitas dapat terwujud tanpa agama, dan bahwa sebuah dunia yang bermoral dapat dibina tanpa agama. Pada situs internet milik Mason, kemungkinan “moralitas tanpa agama” dijelaskan sebagai berikut:
Apakah manusia itu? Dari mana ia datang dan ke mana ia menuju?... Bagaimana seseorang hidup? Bagaimana ia seharusnya hidup? Agama-agama mencoba menjawab aneka pertanyaan ini dengan bantuan prinsip-prinsip moral yang mereka pegang. Namun mereka menghubungkan prinsip-prinsipnya dengan konsep metafisis seperti Tuhan, surga, neraka, ibadah. Dan manusia harus menemukan prinsip-prinsip hidupnya tanpa melibatkan masalah-masalah metafisis, yang harus mereka percayai tanpa pemahaman. Freemasonry telah menyatakan prinsip-prinsip ini selama berabad-abad sebagai kemerdekaan, kesetaraan, persaudaraan, kecintaan terhadap kerja dan perdamaian, demokrasi, dan seterusnya. Semua ini membebaskan manusia sepenuhnya dari berbagai kredo agama namun tetap memberikan sebuah prinsip hidup. Mereka mencari landasan-landasan mereka tidak pada konsep-konsep metafisis tetapi di dalam diri seorang manusia dewasa yang hidup di bumi ini. 50

Teori Masonik "moralitas humanis" sangat menyesatkan. Sejarah menunjukkan bahwa, di dalam masyarakat di mana agama telah dihancurkan, tidak ada moralitas dan hanya ada perselisihan dan kekacauan. Gambar di kanan menunjukkan kebiadaban Revolusi Prancis dan menggambarkan hasil nyata dari humanisme.
Kaum Mason yang berpikir seperti ini sepenuhnya bertolak belakang dari manusia yang beriman kepada Tuhan dan beramal saleh untuk menggapai ridha-Nya. Bagi mereka, segala sesuatu harus dilakukan semata-mata demi kemanusiaan. Kita dapat mengamati cara berpikir ini pada sebuah buku terbitan komunitas Turki:
Moralitas Masonik didasarkan atas cinta terhadap kemanusiaan. Ia sepenuhnya menolak kebajikan karena harapan di masa depan, suatu ganjaran, suatu pahala, dan surga, karena ketakutan terhadap orang lain, suatu lembaga agama atau politik, kekuatan supranatural yang tidak diketahui… Ia hanya mendukung dan memuliakan kebaikan yang berhubungan dengan cinta terhadap keluarga, negara, umat manusia, dan kemanusiaan. Inilah salah satu sasaran terpenting dari evolusi Masonik. Mencintai manusia dan berbuat baik tanpa mengharapkan balasan dan mencapai tingkat ini adalah evolusi besar. 51
Klaim-klaim pada kutipan di atas sangat menyesatkan. Tanpa disiplin moral agama tidak akan ada rasa pengorbanan pada masyarakat. Dan, di mana hal ini tampaknya terwujud, hubungan lebih bersifat permukaan. Mereka yang tidak memiliki rasa moralitas agama tidak takut ataupun menghormati Tuhan, dan di mana tidak hadir rasa takut akan Tuhan, manusia hanya memedulikan tujuan-tujuan mereka sendiri. Tatkala manusia merasa kepentingan pribadinya terancam, mereka tidak dapat menunjukkan cinta sejati, kesetiaan, ataupun kasih sayang. Mereka menunjukkan cinta dan rasa hormat hanya terhadap siapa yang membawa keuntungan bagi diri mereka. Hal ini karena, menurut pemahaman mereka yang keliru, mereka hanya ada di dunia satu kali, dan karenanya, akan mengambil sebanyak-banyaknya. Lagi pula, menurut keyakinan keliru ini, tidak ada balasan bagi kecurangan maupun kejahatan yang mereka lakukan di dunia.
Literatur Masonik penuh dengan upacara moral yang berupaya menutupi fakta ini. Namun sebenarnya, moralitas ini tanpa agama tidak lebih dari retorika pura-pura. Sejarah penuh dengan contoh untuk menunjukkan bahwa, tanpa disiplin diri yang diberikan agama atas jiwa manusia, dan tanpa hukum tuhan, moralitas sejati tidak dapat dibangun dengan cara apa pun juga.
Sebuah contoh yang mengguncangkan tentang hal ini adalah revolusi besar Prancis pada tahun 1789. Kaum Mason, yang menggerakkan revolusi tersebut, maju dengan slogan-slogan yang meneriakkan cita-cita moral berupa “kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan”. Namun, ratusan ribu orang yang tak bersalah dikirim ke guillotine, dan negeri berkubang darah. Bahkan para pemimpin revolusi sendiri tidak dapat melarikan diri dari kekejaman ini, dan dikirim ke guillotine, satu per satu.

Adegan kekerasan lainnya dari Revolusi Prancis.
Pada abad kesembilan belas, sosialisme lahir dari gagasan tentang kemungkinan moralitas tanpa agama, dan membawa malapetaka yang jauh lebih dahsyat. Sosialisme menurut dugaan menuntut sebuah masyarakat yang sama rata, adil, tanpa eksploitasi dan, pada akhirnya, mengajukan penghapusan agama. Namun, pada abad kedua puluh, ia membawa manusia kepada kesengsaraan yang mengerikan di tempat-tempat seperti Uni Soviet, Blok Timur, China, Indochina, beberapa negara di Afrika dan Amerika Tengah. Rezim-rezim komunis membunuh tak terhitung banyaknya manusia; jumlah totalnya mendekati 120 juta jiwa. 52 Apalagi, berlawanan dengan apa yang diklaimkan, keadilan dan kesetaraan tidak pernah terwujud di rezim komunis mana pun; para pemimpin komunis yang bertanggung jawab atas negara terdiri dari segolongan kaum elit. (Dalam buku klasiknya, The New Class, pemikir Yugoslavia Milovan Djilas, menjelaskan bahwa para pemimpin komunis, yang dikenal sebagai “nomenklatur” membentuk sebuah “golongan dengan hak-hak istimewa” yang bertentangan dengan klaim-klaim sosialisme.)
Begitu pula di masa kini, ketika kita mengamati Masonry itu sendiri, yang terus-menerus menegaskan cita-citanya tentang “pelayanan masyarakat” dan “pengorbanan untuk kemanusiaan”, kita tidak menemukan catatan yang terlalu bersih. Di banyak negara, Masonry telah menjadi fokus bagi hubungan demi perolehan kebendaan secara buruk. Pada skandal Loge Masonik P2 di Italia pada tahun 1980, jelaslah bahwa Masonry menjalin hubungan erat dengan mafia, dan bahwa para direktur “loge” terlibat dalam aktivitas seperti penyelundupan senjata, perdagangan obat terlarang, atau pencucian uang. Juga terungkap bahwa mereka merancang penyerangan terhadap saingan-saingan mereka dan orang-orang yang mengkhianati mereka. Pada “Skandal Loge Timur Raya” di Prancis pada tahun 1992, dan pada operasi “Tangan Bersih” di Inggris, yang dilaporkan oleh pers Inggris pada tahun 1995, aktivitas-aktivitas loge Masonik demi kepentingan keuntungan ilegal menjadi jelas. Gagasan kaum Mason tentang “moralitas humanis” hanyalah kepura-puraan.
Terjadinya hal semacam itu tak terhindarkan, karena, sebagaimana disebutkan di awal, moralitas hanya terbina di masyarakat berdisiplin agama. Pada landasan moralitas tiada arogansi dan egoisme, dan satu-satunya yang dapat mewujudkan keadaan ini adalah mereka yang menyadari tanggung jawab mereka terhadap Tuhan. Di dalam Al Quran, setelah Allah menceritakan tentang pengorbanan diri orang beriman, Dia memerintahkan, “...Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al Hasyr, 59: 9). Inilah landasan sejati bagi moralitas.

Guillotine, sarana kebrutalan Revolusi Prancis.
Di dalam Al Quran surat Al Furqan, ciri moralitas orang mukmin sejati digambarkan sebagai berikut:
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal."
Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian.
Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (QS. Al Furqan, 25: 63-73)
Jadi, tugas utama orang-orang mukmin adalah beribadah kepada Allah dengan merendah, “untuk tidak berpaling, seakan mereka tuli dan buta tatkala diingatkan akan tanda-tanda-Nya”. Oleh karena tugas ini, seseorang selamat dari egoisme, nafsu keduniaan, ambisi, dan keinginan untuk menjadikan dirinya seperti orang lain. Jenis moralitas yang disebutkan pada ayat-ayat di atas hanya dapat dicapai dengan cara ini. Karena itulah, di dalam masyarakat tanpa rasa cinta dan takut akan Tuhan dan keimanan kepada-Nya, tidak ada moralitas. Karena tidak ada sesuatu pun yang dapat ditentukan secara mutlak, masing-masing orang menentukan apa yang benar atau salah sesuai dengan nafsunya sendiri.
Sebenarnya, tujuan utama dari filosofi moral humanis-sekuler Masonry adalah, bukannya untuk membangun sebuah dunia yang bermoral, tetapi membangun sebuah dunia sekuler. Dengan kata lain, kaum Mason tidak mendukung filosofi humanisme karena mereka mengakui amat pentingnya moralitas, namun hanya untuk menyampaikan kepada masyarakat gagasan bahwa agama tidak penting.

SASARAN MASONIK: MEMBANGUN SEBUAH DUNIA HUMANIS
Filosofi humanis, yang dipandang tinggi oleh kaum Mason berlandaskan pada penolakan keimanan kepada Tuhan, dan penyembahan manusia, atau pemujaan ”kemanusiaan” sebagai pengganti-Nya. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah kaum Mason memakai keyakinan ini untuk diri mereka saja, atau mereka ingin untuk diambil oleh orang lain juga?
Jika kita mengamati tulisan-tulisan Masonik, tampak jelas jawabannya: tujuan organisasi ini adalah untuk menyebarkan filosofi humanis ke seluruh penjuru dunia, dan menyingkirkan agama-agama Monoteistik (Islam, Kristen, dan Yahudi).
Misalnya, dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam majalah Masonik Mimar Sinan, disebutkan, “Kaum Mason tidak mencari asal usul pemikiran tentang kejahatan, keadilan, dan kejujuran di luar dunia fisik, mereka meyakini bahwa hal-hal ini timbul dari berbagai kondisi dan hubungan sosial seseorang, serta apa yang ia perjuangkan di dalam hidupnya.” dan ditambahkan, “Masonry berusaha menyebarluaskan gagasan ini ke seluruh penjuru dunia.” "53
Selami Isindag, seorang Mason Turki senior, menulis:
Menurut Masonry, untuk menyelamatkan kemanusiaan dari moralitas supranatural yang berdasarkan sumber-sumber agamis, perlu dikembangkan moralitas yang berdasarkan cinta kepada kemanusiaan yang tidak relatif. Di dalam prinsip-prinsip moral tradisionalnya, Masonry telah memperhitungkan berbagai kecenderungan organisme manusia, kebutuhan, hati nurani, kebebasannya untuk berpikir dan berbicara, serta pada akhirnya, semua hal yang terlibat dalam pembentukan hidup secara alamiah. Oleh karena itu, tujuannya adalah untuk membentuk dan mendorong berkembangnya moralitas manusia di dalam semua masyarakat.54
Selami Isindag, seorang Mason Turki senior, menulis:
Yang dimaksudkan oleh Pemimpin Mason Isindag dengan “menyelamatkan umat manusia dari sebuah moralitas yang berdasarkan pada sumber-sumber agamis” adalah pengasingan semua orang dari agama. Di buku itu juga, Isindag menjelaskan tujuan ini dan “prinsip-prinsipnya untuk pembentukan sebuah peradaban yang maju”:
Prinsip-prinsip positif Masonry penting dan cukup untuk pembentukan sebuah peradaban maju. Prinsip-prinsip itu adalah:
- Pengakuan bahwa Tuhan yang impersonal (Arsitek Agung Alam Semesta) adalah evolusi itu sendiri.
- Penolakan terhadap kepercayaan akan wahyu, kebatinan, dan keyakinan-keyakinan kosong.
- Superioritas humanisme rasional dan tenaga kerja.
Pasal pertama dari ketiga pasal di atas mensyaratkan penolakan terhadap keberadaan Tuhan. (Kaum Mason tidak beriman kepada Tuhan, melainkan kepada Arsitek Agung Alam Semesta, dan kutipan di atas menunjukkan bahwa yang mereka maksudkan dengan istilah ini adalah evolusi.) Pasal kedua menolak wahyu dari Tuhan dan pengetahuan agama yang dilandaskan kepadanya. (Isindag sendiri menyebutkannya sebagai “keyakinan-keyakinan kosong”) Sedangkan pasal ketiga memuliakan humanisme dan konsep humanis tentang “tenaga kerja” (sebagaimana di dalam Komunisme).
Jika kita ingat betapa telah mengakarnya gagasan-gagasan ini di dunia saat ini, kita dapat memahami pengaruh Masonry atasnya.
Ada hal penting lainnya untuk dicatat: bagaimana Masonry menggerakkan misinya melawan agama? Jika kita mencermati tulisan-tulisan Masonik, kita melihat bahwa mereka ingin menghancurkan agama, khususnya pada tingkat kemasyarakatan, melalui “propaganda” massa. Pemimpin Mason Selami Isindag memperjelas perihal ini di dalam bagian bukunya ini:
Bahkan rezim-rezim yang sangat represif belum berhasil dalam upaya mereka menghancurkan lembaga agama. Memang, kekasaran metoda politis yang berlebihan, dalam usaha mereka untuk mencerahkan masyarakat dengan menyelamatkan manusia dari iman dan dogma-dogma agama, malahan menghasilkan reaksi yang berlawanan: hari ini, tempat-tempat ibadah yang ingin mereka tutup lebih penuh dari sebelumnya, sementara iman dan dogma-dogma yang mereka larang malahan semakin banyak pengikutnya. Dalam kuliah lainnya kita menunjukkan bahwa dalam hal yang menyentuh hati dan emosi seperti ini, larangan dan paksaan tidak berpengaruh. Satu-satunya cara untuk membawa manusia dari kegelapan menuju pencerahan adalah sains positif serta prinsip-prinsip logika dan kebijaksanaan. Jika dididik dengan cara ini, seseorang akan menghormati sisi humanis dan positif dari agama tetapi menyelamatkan diri mereka dari kegagalan berbagai kepercayaan dan dogmanya.55
Untuk memahami apa yang dimaksudkan di sini, kita harus menganalisisnya dengan hati-hati. Isindag menyebutkan bahwa represi atas agama akan membuat orang-orang religius jauh lebih termotivasi dan akan memperkuat agama. Oleh karena itu, untuk mencegah agama menguat, Isindag berpendapat seharusnya kaum Mason menghancurkan agama pada tingkat intelektual. Yang ia maksudkan dengan “sains positif dan prinsip-prinsip logika dan kebijaksanaan” bukanlah benar-benar sains, logika, atau kebijaksanaan. Yang ia maksudkan adalah filosofi materialis humanis semata, yang menggunakan berbagai ungkapan menarik sebagai kamuflase, seperti halnya dengan Darwinisme. Isindag menegaskan bahwa, tatkala berbagai pemikiran ini tersebar di tengah masyarakat, “hanya unsur-unsur humanis di dalam agama yang akan dihormati”, artinya, yang akan tersisa dari agama hanyalah unsur-unsur yang disetujui oleh filosofi humanis. Dengan kata lain, mereka hendak menolak kebenaran-kebenaran dasar yang terkandung pada pondasi agama Monoteistik (Isindag menyebutnya keyakinan-keyakinan dan dogma-dogma yang gagal). Kebenaran-kebenaran ini adalah berbagai realitas pokok seperti bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dan bertanggung jawab kepada-Nya.
Singkatnya, kaum Mason bermaksud menghancurkan unsur-unsur keimanan yang merupakan esensi agama. Mereka ingin mereduksi peranan agama sekadar sebagai unsur kultural yang menyampaikan gagasannya melalui sejumlah pertanyaan moral yang bersifat umum. Caranya, menurut kaum Mason, adalah dengan memaksakan ateisme kepada masyarakat di balik kedok sains dan logika. Namun pada akhirnya, tujuan mereka adalah menyingkirkan agama dari posisinya walau sebagai unsur kultural belaka, dan membangun sebuah dunia yang sepenuhnya ateis.
Di dalam artikelnya yang berjudul “Sains Positif - Hambatan Pemikiran dan Masonry” pada majalah Mason, Isindag berkata:
Sebagai hasil dari semua ini, saya ingin katakan bahwa tugas humanistik dan Masonik kita semua adalah untuk tidak berpaling dari sains dan logika, untuk mengakui bahwa inilah cara terbaik dan satu-satunya menurut evolusi, untuk menyebarkan keimanan kita ini di tengah masyarakat, dan untuk mendidik manusia di dalam sains positif. Kata-kata dari Ernest Renan sangat penting: “Jika manusia dididik dan dicerahkan dengan sains positif dan logika, kepercayaan-kepercayaan yang gagal dari agama akan runtuh dengan sendirinya.” Kata-kata Lessing mendukung pandangan ini, “Jika manusia dididik dan dicerahkan dengan sains positif dan logika, suatu hari agama tidak akan dibutuhkan lagi.” 56

G.E. Lessing dan E. Renan. Kaum Mason ingin mewujudkan impian kedua penulis ateis ini dengan menghapuskan agama dari muka bumi.
Inilah sasaran utama Masonry. Mereka ingin menghancurkan agama seluruhnya, dan membangun sebuah dunia humanis yang berdasarkan pada “kesakralan” manusia. Tepatnya, mereka ingin mengembangkan sebuah tatanan baru kejahilan, di mana manusia mengingkari Tuhan yang menciptakannya, dan mempertuhankan dirinya.… Inilah maksud keberadaan Masonry. Di dalam majalah Masonry bernama Ayna (Cermin), hal ini disebut “Kuil Pemikiran”:
Kaum Mason modern telah mengubah tujuan Masonry kuno untuk membangun sebuah kuil secara fisik menjadi gagasan untuk membangun “Kuil Pemikiran”. Pembangunan sebuah Kuil Pemikiran mungkin terjadi jika prinsip-prinsip dan kebajikan-kebajikan Masonik terbina dan orang-orang bijak bertambah di dunia.57
Untuk mencapai tujuan ini, kaum Mason bekerja tanpa lelah di berbagai negara di dunia. Organisasi Masonik berpengaruh di banyak universitas, lembaga-lembaga pendidikan lainnya, media, dunia seni dan pemikiran. Ia tidak pernah berhenti berupaya menyebarkan filosofi humanisnya dalam masyarakat dan mendiskreditkan kebenaran tentang iman yang menjadi basis agama. Kita akan cermati selanjutnya bahwa teori evolusi adalah salah satu sarana propaganda utama Mason. Lebih-lebih lagi, mereka bermaksud membangun sebuah masyarakat yang tidak memedulikan sama sekali Tuhan atau agama, tetapi hanya memenuhi kesenangan, nafsu, dan ambisi duniawi. Jadilah masyarakat ini terbentuk dari orang-orang yang telah "menjadikan (Tuhan) sebagai olok-olokan di balik punggung mereka" (QS. Hud, 11: 92), serupa dengan penduduk kota Madyan yang disebutkan di dalam Al Quran. Dalam budaya jahiliyah ini tidak ada tempat bagi rasa takut atau cinta terhadap Tuhan, melakukan perintah-Nya, menyembah-Nya, ataupun pemikiran tentang Hari Akhirat. Nyatanya, gagasan-gagasan ini dianggap ketinggalan zaman dan merupakan ciri-ciri orang yang tidak terdidik. Pesan ini diulang-ulang terus di dalam berbagai film, komik, dan novel.
Dalam upaya penipuan yang besar ini, kaum Mason terus berperan sebagai pemimpin. Namun, banyak pula kelompok dan perseorangan lain yang terlibat di dalam kerja serupa. Kaum Mason menerima mereka sebagai “kaum Mason kehormatan”, dan menganggap mereka sebagai sekutu karena mereka semua adalah satu di dalam filosofi humanis. Selami Isindag menulis:
Masonry juga menerima fakta ini: Di dunia luar terdapat orang-orang bijak yang, walaupun mereka bukan kaum Mason, mendukung ideologi Masonik. Sebabnya adalah karena ideologi ini secara keseluruhan adalah milik umat manusia dan kemanusiaan. 58
Pertarungan terus-menerus melawan agama ini berlandaskan pada dua argumen atau pembenaran yang mendasar: filosofi materialis dan teori evolusi Darwin. Maka, kita akan dapat memahami dengan lebih jelas hal di balik layar dari pemikiran-pemikiran ini, yang telah memengaruhi dunia semenjak abad kesembilan belas.

Humanisme dalam Tinjauan Sains, Filsafat, Spiritualisme

12 August 2010
HMINEWS.COM- Istilah humanisme mempunyai riwayat dan pemaknaan yang kompleks. Humanisme, sebagai sebuah terma mulai dikenal dalam diskursus wacana filsafatsekitar awal abad ke 19. Menurut K. Bertens, istilah humanisme baru digunakan pertama kali dalam literatur di Jerman, sekitar tahun 1806 dan di Inggris sekitar tahun 1860.
Istilah humanisme diawali dari Term humanis atau humanum(yang manusiawi) yang jauh lebih dulu dikenal, yaitu mulai sekitar masa akhirzaman skolastik di Italia pada abad ke 14 hingga tersebar ke hampir seluruhEropa di abad ke 16.
Terma humanis (humanum) tersebut dimaksudkan untuk menggebrak kebekuan gereja yang memasung kebebasan, kreatifitas, dan nalar manusia yang diinspirasi dari kejayaan kebudayaan Romawi dan Yunani. Gerakan humanis berkembang dan menjadi cikal bakal lahirnya renaisance di Eropa.
Dalam perkembangannya humanisme di Eropa menampilkan penentangan yangcukup gigih terhadap agama (dalam hal ini Kristen) dan mencapai puncaknya,ketika Augusto Comte mendeklarasikan “agama humanitarian” dan menggantikanagama yang dianggap tidak humanis.
Pertentangan ini terus berlangsung, hinggadi pertengahan abad ke 20 para pemuka-pemuka Kristen mulai memberi ruangapresiasi bagi humanisme dan pada konsili Vatikan II (1962-1965) pihak Katolikmemberi respon positif terhadap humanisme. Namun lucunya, ketika kalangan agamamulai mengapresiasi humanisme, diskursus filsafat justru mempropagandakan antihumanisme, khususnya dengan wacana “kematian manusia”nya Michel Fouchault,”absurditas manusia”nya Albert Camus.
Humanisme sebagai sebuah term diskursus menuai berbagai pemaknaan,tergantung berbagai sudut pandang dan tinjauan yang digunakan. A. Lalande,menyebutkan beberapa pengertian humanisme, yang diantaranya ada yang saling bertentangan. Salah satu pengertian humanisme adalah gerakan humanis di Eropa yang memandang manusia dalam perspektif “manusiawi’ belaka yang bertentangan dengan perspektif religius (agama).
Di samping itu, A. Lalande juga menyebutkanpengertian humanisme sebagai pandangan yang menyoroti manusia menurutaspek-aspek yang lebih tinggi (seni, ilmu pengetahuan, moral, dan agama) yangbertentangan dengan aspek-aspek yang lebih rendah dari manusia. Ali Syari’atimenyebutkan defenisi humanisme sebagai himpunan prinsip-prinsip dasarkemanusiaan yang berorientasi pada keselamatan dan kesempurnaan manusia.
Tampaknya dari berbagai defenisi mengenai humanisme, defenisi yang diajukanoleh Ali Syari’ati lebih mendekati arti humanisme dari sudut pandang etimologis (human atau homo = manusia dan isme = paham atau pandangan).
Sekalipun istilah humanisme merupakan terma yang hanya dikenal dalam diskursus filsafat, namun humanisme sebagai pandangan mengenai konsep dasar kemanusiaan dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, seperti sains dan spiritualisme. Dalam tulisan ini, humanisme coba diurai secara singkat daritinjauan sains, filsafat, dan spiritualisme.
Secara ontologis, sains mendasarkan pandangannya pada diktum fisika Newton yang menyatakan”tiada fenomena yang tak dapat diukur dalam filsafat eksperimental”. Diktum inimelahirkan pandangan positivisme yang menekankan metodeempirikal-eksperimentatif dalam memahami realitas. Metode ini meniscayakanlahirnya paradigma reduksionisme-atomistik yang menghasilkan pengerusan padamakna dan hakekat realitas. Dalam nalar saintifik pengetahuan semata bersifatnomotetis dan tidak terdapat pengetahuan yang bersifat ideografis (nilai dankesadaran).
Walhasil, humanisme dalam tinjauan sains, memandang manusia taklebih dari fakta empirikal (nomotetis) dan bersifat mekanistik-deterministikserta mereduksi manusia dari hal-hal non empiris, seperti nilai dan kesadaran.Konstruksi manusia dalam pandangan saintifik ini mencapai titik ekstrimnyadalam pandangan Julien O de Lametrie yang menyamakan manusia dengan mesin (L’Homme machine).
Pandangan sains tersebut, menuai kritik yang cukup tajam dari parailmuwan dan filosof yang mencermati dilema-dilema yang muncul dalam faktakemanusiaan sebagai akibat pandangan humanisme yang sangat saintifik(positivistik).
Konsep alienasi, deprivasi, “kehilangan jati diri”, dan splitpersonality merupakan serangkaian terma yang ditujukan sebagai kritikterhadap implikasi pandangan kemanusiaan yang dihasilkan dari kemajuan sains.Erich Fromm menyebutkan perkembangan teknologi menghasilkan pergeseran mendasardari human thought kepada thinking of machine yang mengakibatkanmanusia tergeser dari pusat peradaban hingga ke “margin-margin” peradaban. Halsenada juga diungkapkan oleh Nicholas Bordayev yang menyebutkan pandanganilmiah dan kemajuan teknologi berakibat pada perbudakan manusia oleh mesin.
Filsafat mendasarkan dirinya pada akal sebagairealitas sublim pada diri manusia. Dengan sendirinya pandangan filosofismemandang manusia tidak hanya sebatas realitas material belaka yang statis dandeterminis, melainkan juga sebagai realitas ideografis yang memiliki persepsidan kesadaran yang bersifat dinamis.
Sebagaimana dalam pandangan Jean PaulSartre yang mengklaim filsafat eksistensialismenya sebagai pandangan yanghumanis membagi eksistensi manusia secara bidimensional, yaitu l’ etre ensoi (ada dalam diri) dan l’ etre pour soi (ada untuk diri). Denganakalnya, manusia berperan sebagai “lakus dunia” yang dapat mempersepsi,mengubah, serta memberi nilai dan makna pada dunia dan hidupnya.
Sekalipun demikian, mengenai persepsi, serta nilai dan makna yang dihasilkan akhirnyaberbeda bahkan bertolak belakang antara satu pemikir dengan pemikir lainnya.Jika kita menelusuri humanisme dari sudut pandang filsafat maka kita akanterbawa pada perdebatan panjang yang tiada henti mengenai nilai dan maknakehidupan manusia.
Paling tidak kita akan sampai pada perdebatan kalanganfilosof eksistensialis (Nietszche, Kierkegard, Sartre, Jaspers, Marcel, danpemikir eksistensialis lainnya) serta pemikiran para filosof lainnya yang sangattidak memungkinkan untuk diungkapkan dalam pertemuan dan tulisan ini. Namunpaling tidak, humanisme dari sudut pandang filsafat berakar pada pandangan yangsama mengenai manusia sebagai “lokus semesta” yang berkesadaran, dinamis, dandengan kemampuan akalnya senantiasa mencari makna dan nilai dalam kehidupannya.
Jika sains memandang manusia dari sisi matternya, filsafatmemandang manusia dari sudut pandang mindnya, maka spiritualismememandang manusia dari sudut pandang spirit (ruh)nya. Secara ontologis,spiritualisme mendasarkan pandangannya bahwa manusia selain memiliki dimensieksoteris (tubuh), manusia juga memiliki sisi esoteris (ruh) yang bersifattransenden dan Ilahiyah.
Dimensi esoteris inilah yang menjadi esensikemanusiaan manusia serta menjadi elan vital bagi gerak dinamis manusia dalamkehidupannya. Spiritualisme sangat menekankan aspek intuitif dalam prosespencapaian makna dan hakekat dari realitas, termasuk diri manusia.
Intuisi merupakan potensi epstemologis yang dimiliki oleh manusia untuk mencerap secaralangsung dengan realitas yang tidak terbuka terhadap persepsi indrawi danmenangkap realitas tersebut secara esensial dan utuh. Jika akal dan indra hanyamampu mencerap pengalaman-pengalaman fenomenal manusia, intuisi mengantarkanmanusia untuk mencerap pengalaman-pengalaman eksistensialnya.
Spritualisme berpandangan bahwa Tuhan adalah modus eksistensimanusia yang kepadaNya seluruh manusia mesti menuju.
Spiritualisme memandangbahwa realitas spiritual yang merupakan elan vital manusia adalah pancaran dariRuh Ilahiyah (Tuhan) yang bertajalli “dalam” diri manusia danterejawantahkan dalam atribut-atribut ketuhanan yang dimiliki manusia, sepertikesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas. Sekalipun dengan berbagaipenamaan yang berbeda (Ruh Allah, Ruh Kudus, Atman, Tao, Budha), namun seluruh tradisi spiritual (agama) sepakat, bahwa spritualitas manusia bersifatuniversal dan tak terbatas dan mengantarkan manusia untuk merasakan danmemaknai secara langsung (hudhuri) kehidupannya.
Selain itu, semuatradisi spiritual sepakat, bahwa jalan untuk mencapai keselamatan dan kesempurnaan manusia sebagaimana yang dicita-citakan oleh humanisme, adalahdengan membangun keseimbangan dalam hidup antara aspek teoetika atau penghambaan dengan Tuhan (ibadah), psikoetika atau penyucian jiwa darisifat-sifat tercela, dan diwujudkan dalam bentuk pengkhidmatan kepada sesama manifestasi-manifestasinya (manusia dan alam) atau sosioetika.
Karenamanusia memiliki atribut ketuhanan, maka manusia wajib untuk “berakhlaksebagaimana akhlak Tuhan”, sebagaimana yang dikatakan Iqbal “menyerapSifat-Sifat Tuhan dan menjadikannya sebagai elan vital untuk mengubah dunia”.
Secara umum, humanisme dalam pandangan sains dan filsafat secara ansich, masih terjebak pada adanya keterpisahan antara “aku” dan “kamu”. Halini didasarkan pada pandangan sains yang mendasarkan manusia pada matter(body)nya dan filsafat pada mind, sehingga masih ada my body and your body, juga my mind and your mind yang berbeda dan terpisah,hal ini masih memungkinkan lahirnya individualisme.
Sedangkan spiritualisme yang mendasarkan pandangannya pada spirit manusia yang tunggal dan universalsangat memungkinkan untuk mengantarkan manusia meninggalkan egoismenya danmenuju cita-cita humanisme universal, yaitu persamaan, persaudaraan, cintakasih, keadilan dan pengorbanan.
Pandangan ini bukan berarti menafikan peran sains dan filsafat dalam kehidupan manusia. Imam Husein as, menjadi “humanis”, bukan karena pandangan empirik atau filosofisnya belaka, tapi intuisilah yangmengantarkan Imam Husein pada pengalaman eksistensial dan merasakan penderitaanmereka yang tertindas. Dan panggilan spirituallah yang “memanggil” Imam Huseinas, untuk berkorban.
“Darah tak akan pernah menghapus noda sejarah. Yang kita tangisi bukanlah pembantaian, tapi nurani kemanusiaan yang hilang. Setiap hari adalah Asyura dan Setiap tempat adalah Karbala” (Manifesto Perjuangan para Pencinta Ahlul Bait as)
Sabara Putera Borneo
Dosen Universitas al Asy’ariyah Mandar 





























Pandangan Islam Terhadap Marxisme
(Studi Pemikiran Ali Syari’ati)

A.    Penegasan Judul
Sebelum penulis melakukan pembahasan serta penjelasan mengenai judul yang diangkat, maka penulis akan menguraikan secara singkat maksud dari judul skripsi “Pandangan Islam Terhadap Marxisme (Studi Pemikiran Ali Syati’ati)” untuk menghindarkan kesalahan pembaca dalam memahaminya.
Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx menyusun sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem politik. Pengikut teori ini disebut sebagai Marxis.[1] Marxisme mencakup materialisme dialektis dan materialisme historis serta penerapannya pada kehidupan sosial.[2]
Marxisme merupakan dasar teori komunisme modern. Teori ini tertuang dalam buku Manisfesto Komunis yang dibuat oleh Marx dan Friedrich Engels. Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham kapitalisme. Ia menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum proletar. Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan karena dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah minimum, sementara hasil pekerjaan mereka hanya dinikmati oleh kaum kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh.[3] Marx berpendapat bahwa masalah ini timbul karena adanya "kepemilikan pribadi" dan penguasaan kekayaan yang didominasi orang-orang kaya. Untuk menyejahterakan kaum proletar, Marx berpendapat bahwa paham kapitalisme diganti dengan paham komunisme. Bila kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx, kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan. Inilah dasar dari marxisme.[4]
 Salah satu alasan mengapa Marxisme merupakan sistem pemikiran yang amat kaya adalah bahwa Marxisme memadukan tiga tradisi intelektual yang masing-masing telah sangat berkembang saat itu, yaitu filsafat Jerman, teori politik Perancis, dan ilmu ekonomi Inggris. Marxisme tidak bisa begitu saja dikategorikan sebagai "filsafat" seperti filsafat lainnya, sebab marxisme mengandung suatu dimensi filosofis yang utama dan bahkan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap banyak pemikiran filsafat setelahnya. Itulah sebabnya, sejarah filsafat zaman modern tidak mungkin mengabaikannya.[5]
Dalam menolak marxis ini, Syari’ati di bantu oleh pengenalannya yang akrab dengan para pendahulunya Marxisme dalam pemikiran Eropa dan lingkungan sejarah intelektual yang menandai doktrin itu dengan stempel Barat yang tak dapat di hapus ,walaupun doktrin itu sengaja di ekspor ke dunia ketiga sebagai alat untuk menandingi Barat. Lebih-lebih kritikannya mengenai Marxisme di letakkan dalam konteks pandangan terpadu dan pernyataan Islam sebagai ideology. Jelas bahwa kritiknya tidak semata-mata di dorong oleh rasa permusuhan . Kombinasi dari faktor-faktor ini menghasilkan suatu analisis dan penolakan yang gambling dan meyakinkan serta radikal dan tanpa kompromi.[6]

B.     Alasan Memilih Judul
Adapun yang menjadi alasan penulis dalam memilih judul penelitian ini adalah sebagai berikut : 
Dalam mengemukakan teori ini, Marx sangat dipengaruhi oleh Hegel. Bahkan sampai saat ini pun kalangan Marxis masih menggunakan terminologi Hegel. Ada baiknya jika di sini disebutkan satu persatu ide Hegelianisme yang juga menjadi isi penting dari Marxisme.
1.Filsafat  yang dipakai Marxisme adalah materialisme.[7]  Sepanjang  sejarah Eropa modern, dan khususnya pada akhir abad  18  di Prancis, di mana terdapat perjuangan yang gigih terhadap berbagai sampah dari abad pertengahan, terhadap perhambaan dalam  berbagai lembaga dan gagasan, materialisme terbukti merupakan satu-satunya filosofi  yang konsisten, benar terhadap setiap cabang ilmu  alam dan  dengan gigih memerangi berbagai bentuk tahyul,  penyimpangan dan  seterusnya.  Musuh-musuh  demokrasi  selalu  berusaha  untuk "menyangkal", mencemari dan memfitnah materialisme, membela  berbagai bentuk filosofi idealisme, yang selalu, dengan satu dan  lain cara, menggunakan agama untuk memerangi materialisme.
2. Setelah  menyadari bahwa sistem ekonomi  merupakan  fondasi, yang di atasnya superstruktur politik didirikan, Marx mencurahkan sebagian besar perhatiannya untuk mempelajari sistem ekonomi ini. Karya Marx yang prinsipal, Das Kapital, merupakan hasil  studinya yang mendalam terhadap sistem ekonomi modern: kapitalisme.[8]
 3. Ketika feodalisme tersingkir, dan masyarakat "merdeka" kapitalis muncul di dunia, maka  muncullah  suatu sistem untuk penindasan  dan eksploitasi terhadap golongan pekerja. Berbagai  doktrin sosialis segera muncul sebagai refleksi dari dan protes  terhadap penindasan ini. Sosialisme pada awalnya, bagaimanapun,  merupakan sosialisme utopis. Ia mengkritik masyarakat kapitalis, mengutuknya, memimpikan keruntuhan kapitalisme. Ia mempunyai gagasan  akan adanya pemerintahan  yang lebih baik yang berusaha  membuktikan kepada orang-orang kaya bahwa eksploitasi itu tidak bermoral.

C.    Latar Belakang Masalah

Malapetaka modern yang mengarah pada kerusakan dan kemerosotan kemanusiaan dapat di kelompokkan dalam dua judul pokok(1)system social,(2)system intelektual.Dalam kedua system social yang di luar tampak bertentangan ini yang merangkul manusia baru atau mengundang manusia kedalam rangkulannya ,sangat terasa sekali adanya kenyataan bahwa manusia suatu esensi utama dan supra materi secara tragis telah di lupakan.

Kedua system social ini –kapitalisme dan komunisme –walaupun berbeda dalam bentuk lahirnya ,menganggap manusia sebagai binatang ekonomis (economic animal).Penampilan mereka yang berbeda mencerminkan persoalan siapa di antara mereka yang lebih sukses dalam memenuhi kebutuhan binatang ini.

Ekonomisme adalah prinsip dasar filsafat kehidupan dalam masyarakat kapitalis industri barat,tepat seperti yang di katakan Francis Bacon :”Ilmu meninggalkan pencarian kebenaran ,dan beralih mencari kekuatan”.

“kebetulan-kebetulan”material yang di timbulkan setiap hari dan yang secara berangsur-angsur semakin besar (sehingga lingkup konsumsi dapat di perbesar dalam kuantitas.kualitas dan juga variasi ,agar mesin-mesin produksi raksasa dapat di beri makan selagi mereka berpacu dalam kesintingan),mengubah orang-orang menjadi penyembah konsumsi.Setiap hari beban yang semakin berat di timpakan pada khalayak ramai ,sehingga keajaiban teknologi modern yang seharusnya telah membebaskan umat manusia dari perbudakan kerja jasmani dan menambah waktu santai ,ternyata tak berbuat demikian .Begitu cepat kebutuhan material artificial melampaui kecepatan teknologi produksi yang sudah sedemikian hebat itu.Tiap hari kemanusiaan semakin terserat kearah pengasingan ,lebih tenggelam dalam pusaran gila kecepatan yang memaksa .Bukan saja tidak ada waktu untuk menumbuhkan nilai kemanusiaan ,keluhuran moral dan kepekaan ruhaniah,makhluk ini malahan tenggelam dalam bekerja untuk mengonsumsi dan mengonsumsi untuk bekerja.Penyelaman kedalam persaingan edan mengejar kemewahan dan penyimpangan ini telah menyebabkan nilai tradisional merosot dan juga menghilang.


Dalam masyarakat komunis kita dapatkan hal serupa –nilai moral kemanusiaan terus menurun .Banyak kaum intelektual merenungkan kontras ekonomi dan politis antara masyarakat komunis dan kapitalis .Mereka menganggap komunis berbeda dengan capitalis dalam hal antropologi,filsafat kehidupan dan humanisme .Tetapi kita lihat jelas bahwa masyarakat komunis ,walaupun telah mencapai tahap pertumbuhan ekonomi yang relative maju ,amat menyerupai borjuis barat dalam hal perilaku social,psikologi social ,pandangan individual ,filsafat hidup dan tabiat kemanusiaan.Yang sedang di perselisihkan dalam masyarakat komunis sekarang dengan nama Fourierisme[9],emboorgoisement(pemborjuisan),dan bahkan liberalisme tidak lain dari pada suatu orientasi kepada manusia barat kontemporer .Perhatian yang kuat terhadap mode dan kemewahan yang sekarang merata ,baik dalam kehidupan individu maupun dalam system produksi Negara ,muncul dari kenyataan bahwa pada akhirnya masyarakat marxis dan kapitalis mempersembahkan satu jenis manusia yang sama bagi pasaran sejarah kemanusiaan.

Demokrasi dan liberalisme Barat-sesuci apapun keduanya di sebut0sebut dalam teori-pada prakteknya tak lebih dari pada kesempatan gratis untuk makin memamerkan semangat ini,dan untuk menciptakan secara makin cepat dan kasar suatu arena bagi kekuatan-kekuatan yang haus akan keuntungan ,yang di tugaskan untuk mengubah manusia menjadi binatang ekonomis yang konsumtif.

Jadi sekarang kita lihat adanya kapitalisme Negara dengan sosialisme ,dictator Pemerintahan dengan nama “kediktatoran proletar’,tunggal fanatisme kepercayaan dengan nama “materialisme dialektis”diamat[10] dan akhirnya ,kepercayaan pada prinsip mekanisme dan ekonomisme demi pencapaian kekayaan ekonomi secepatnya ,agar segera melewati sosialisme menuju komunisme.Semuanya ini adalah beban yang menimpa kemanusiaan atas nama kemauan suci ,bebas dan kreatif ;serta mencampakkan kemanusiaan-seakan akan sebagai suatu benda social –kedalam organisasi yang kasar ,tetapi serba melingkupi –yaitu kedalam suasana yang paling nyata dari pengasingan politis dan intelektual,sama seperti yang di bicarakan Marx dalam hubungannya manusia borjuis.

            Materialisme pada umumnya mengakui kenyataan (materi) yang secara obyektif riil tak tergantung dari kesadaran, dari perasaan, dari pengalaman dll. daripada umat manusia. Materialisme historis mengakui kehidupan sosial tak tergantung dari kesadaran sosial  umat manuisa. Kesadaran baik di sana maupun di sini adalah hanya cerminan daripada kenyataan, paling-paling cerminannya hanya mendekati ketepatan (yang adekwatif, yang secara idiil tepat). Di dalam filsafat Marxisme itu, yang dituang dari sebungkal baja, tidak bisa diambil baik pangkal dasarnya, maupun bagiannya yang penting, tanpa menghindarkan diri dari kebenaran obyektif, tanpa terperosok ke dalam pelukan tipuan burjuasi reaksioner.
Berangkat dari masalah ini, penulis berkeinginan untuk mengangkat ke permukaan pandangan Ali Syari’ati Kritik Islam atas Marxismes karena itulah kajian skripsi ini penulis beri judul “Pandangan Islam terhadap Marxisme’


D.    Rumusan Masalah
            Dari latar belakang tersebut diatas ada beberapa permasalahan yang kiranya perlu diangkat sebagai rumusan masalah diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Apa pemikiran Marx terhadap dunia modern?
2.      Bagaimanakah pandangan Islam atas paham marxis?


E.     Tujuan Penelitian
            Penelitian pada umumnya memiliki tujuan untuk menambah wawasan pemikiran terhadap obyek yang dikaji juga penelitian yang akan peneliti bahas melalui skripsi ini.  Adapun mengenai tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pandangan Ali Syari’ati mengenai Marxisme
2.      Supaya mengetahui akar paham marxis itu sendiri
3.      Serta untuk mengetahui pandangan Islam terhadap paham Marxisme.
F.     Metodelogi Penelitian
            Metode suatu penelitian akan sangat bergantung pada pokok permasalahan dan sifat penelitian tersebut. Sedangkan untuk mendapatkan data yang obyektif bagi suatu penelitian, Maka setiap penelitian ilmiah harus menggunakan suatu metode penelitian tertentu. Guna memperoleh data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Maka dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:

1.  Jenis Dan Sifat Penelitian
      a.  Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library reseach), yang dimaksud dengan penelitian kepustakaan menurut Hermawan Warsito ialah: suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan mengumpulkan data dari berbagai literatur dari perpustakaan.[11]  

      b.  Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat “Diskriptif Analisis” yaitu Penelitian hanya melukiskan, memaparkan dan melaporkan suatu obyek atau gejala tertentu dengan cara melakukan penyelidikan yang kritis serta  kehati-hatian dan menganalisa sebuah persoalan yang sedang dihadapi.[12]  Metode ini digunakan untuk memaparkan serta menggambarkan pendapat Ali Syari’ati tentang kritik Islam atas Marxisme.

2.  Alat Pengumpul Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu:
a.   Data Primer
Yang dimaksud dengan data primer adalah suatu data yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya[13]  Dalam hal ini penulis menggunakan buku aslinya sebagai data primer adapun  sumber primer dalam penelitian ini adalah Kritik Islam Atas Marxisme dan sesat piker Barat lainnya.

b.   Data Sekunder
            Data sekunder adalah data yang tidak berkaitan secara langsung dengan sumber aslinya.[14] Adapun data-data sekunder yang dapat diambil adalah dari karya ilmiah, jurnal, buku literatur, yang berkaitan dengan pembahasan yaitu yang membahas tentang marxis.

3.   Metode pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data dengan cara membaca, mencatat serta menyusun data-data yang diperoleh itu menurut pokok bahasan masing-masing. Adapun tehnik dari pengumpulan data-data tersebut penulis menggunakan antara lain:
1)   Kartu Ihtisar
Pencatatan hanya garis besar  dari pokok karangan, sumber data atau pendapat seorang tokoh. Dengan demikian pencacatan ini harus dilakukan akurat karena untuk menghindari kekaburan dari sumber aslinya.
2)   Kartu Kutipan
Yaitu pencatatan sesuai dengan aslinya dan tidak mengurangi dan menambah atau merubah walaupun satu kata, huruf maupun tanda baca. Adapun mempertinggi penelitian kutipan diadakan pengecekan ulang ketika selesai mengutip, lalu disertai dengan halaman sumber yang terdapat diakhir kutipan.
3)   Kartu komentar / Ulasan
Kartu ini memuat catatan khusus yang datang dari peneliti sebagai refleksi terhadap suatu sumber data yang dibaca. Komentar atau ulasan tersebut dapat berupa krirtik, saran, kesimpulan, atau berupa penjelasan kembali terhadap sumber data yang bersifat pribadi.[15]

4.   Analisa Data
            Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, maka selanjutnya dilakukan tahapan analisis terhadap data-data tersebut. Dalam menganalisa data peneliti mengunakan metode:
a.   Analisa Komperatif
Yaitu suatu cara membandingkan data yang diperoleh dari perpustakaan yang merupakan data kualitatif untuk menemukan persamaan dan perbedaan terhadap suatu ide.[16]
Metode ini dipergunakan untuk memperjelas pendapatAli Syari’ati untuk menemukan titik mengkritisi atas Marxis
b.   Analisa Deduktif
Selanjutnya dalam mengambil kesimpulan ini, peneliti menggunakan metode deduktif yaitu suatu cara mengambil kesimpulan dari uraian-uraian yang bersifat umum, kepada uraian kesimpulan yang bersifat khusus.[17]

OUT LINE SEMENTARA

HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
RIWAYAT HIDUP
MOTTO
PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Penegasan  judul
B.     Alasan memilih judul
C.     Latar belakang masalah
D.    Rumusan masalah
E.     Tujuan penelitian
F.      Metodelogi penelitian
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RIBA
A.    PengertianMarxisme
B.     Ajaran marxis
C.     Pandangan Islam terhadap marxis
BAB III BIOGRAFI ALI SYARI’ATI TENTANG FAHAM MARXIS
A.    Sekilas tentang Ali Syari;ati
1.      Riwayat hidup dan latar belakang pendidikannya
2.      Pemikiran dan karya-karyanya
3.      Pandangan Ali Syari;ati terhadap Marxis

BAB IV  ANALISIS ISLAM TERHADAP MARXIME
Pokok-pokok ajaran marx tentang dunia modern dan Islam menaggapinya
BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Penutup
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN




DAFTAR PUSTAKA
Ali Syari’ati,Kritik Islam atas Marxisme dan sesat piker Barat lainnya.Bandung:Mizan 1980
Anton Baker Dan Zubair Ahmad Charis, Metodelogi Penelitian Filsafat, Yogyakarta : Kanisius 1990.
Bryan Magee. 2008. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius.
Chalid narbuko,Abu Dawud, Metodelogi Penelitian, Jakarta : Bumi Aksara, 1991.
Daniel L. Pals. 1996. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: Qalam
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Panduan Proses dan Prosedur Penyusunan Skripsi, Bandar Lampung : Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, 2005
Hermawan Warsirto, Pengantar Metodelogi Penelitian, Jakarta : Gramedia Utama, 1992.
Kartini Kartono, Metodelogi Penelitian, Bandung : Mandar Maju,  1996.
Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama..
P. A. van der Weij. 1991. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Robert Audi. 1995. The Cambridge Dictionary of Philosophy. United Kingdom: Cambridge University Press.



[1] Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.. 572-575
[2] Robert Audi. 1995. The Cambridge Dictionary of Philosophy. United Kingdom: Cambridge University Press. Hlm. 465-467.
[3] Daniel L. Pals. 1996. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: Qalam. Hlm. 207-264.
[4] P. A. van der Weij. 1991. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 111-117.
[5] Bryan Magee. 2008. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius. Hlm 164-171.
[6] Ali Syari’ati.1980.Kritik Islam atas Marxisme dan sesat pikiran Barat lainnya.Bandung.Mizan Hlm. 42-43
[7] Materialisme yaitu suatu aliran atau paham yang menganggap materi adalah segala-galanya

[8] Jika para ahli ekonomi borjuis melihat hubungan  antar-benda(pertukaran  antar-komoditi), Marx memperhatikan hubungan  antar-manusia. Pertukaran komoditi mencerminkan  hubungan-hubungan  di antara para produser individual yang terjalin melalui pasar. Uang memperlihatkan  bagaimana hubungan itu menjadi  semakin  erat,  yang tanpa terpisahkan menyatukan seluruh kehidupan ekonomi dari  para produser menjadi satu keseluruhan.  Modal  (kapital)  memperlihatkan  suatu   perkembangan lanjutan  dari hubungan ini: tenaga kerja manusia  menjadi  suatu komoditi. Para pekerja upahan menjual tenaga kerjanya kepada para pemilik tanah, pemilik pabrik dan alat-alat kerja. Seorang pekerja  menggunakan sebagian waktu kerjanya untuk menutup  biaya  hidupnya  dan  keluarganya  (mendapat upah),  sebagian  lain  waktu kerjanya digunakan tanpa mendapat upah, semata-mata hanya  mendatangkan nilai lebih untuk para pemilik modal. Nilai lebih merupakan  sumber  keuntungan,  sumber kemakmuran  bagi  kelas  pemilik modal.
[9] Turunan(transkip) harfiahnya disni adalah”furalisme”,kami duga bahwa mungkin kata yang di maksud adalah “formalisme”

[10] Diamat;suatu singkatan dari “dialectical materialism”,yakni materialisme yang merupakan”prinsip kepercayaan yang harus mendasari pendidikan kaum muda,penyelidikan ilmiah,kesusasteraan dan seni,filsafat serta pandangan ilmiah”.Dengan kata lain,materialisme adalah semacam peraturan relijius tanpa agama

[11] Hermawan Warsirto, Pengantar Metodelogi Penelitian, Gramedia Utama, Jakarta, 1992. Hlm.10
[12] Kartini Kartono, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju,  Bandung, 1996. Hlm.33
[13] Chalid narbuko,Abu Dawud, Metodelogi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 1991.Hlm.43
[14] Ibid.
[15]Anton Baker Dan Zubair Ahmad Charis, Metodelogi Penelitian Filsafat, Kanisius Yogyakarta, 1990. Hlm.63
[16] Suharsimi Arikunto, Op.Cit., Hlm.247
[17] Anton Baker, Op.Cit., Hlm.17