Selasa, 07 Juni 2011

Islam dan Kepemimpinan menurut Said Quthub



ISLAM DAN KEPEMIMPINAN MENURUT SAID QUTHUB
D
I
S
U
S
U
N
OLEH

GESIT YUDHA
0831010020


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN INTAN
FAKULTAS USHULUDIN
LAMPUNG
2011
BAB I
LATAR BELAKANG


Perihal mengenai kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Wacana kepemimpinan dalam Islam ini sudah ada dan berkembang, tepatnya pasca Rasulullah SAW wafat. Wacana kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada lagi Rasul atau nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Dalam firman Allah SWT dikatakan bahwa Al-qur’an itu sudah bersifat final dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Sehingga Rasulullah SAW adalah pembawa risalah terakhir dan penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya.
“ Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya.”(Q.S Al-An’am:115).
Tidaklah mungkin akan ada seorang nabi baru setelah Rasulullah SAW. Karena ketika ada seorang nabi baru setelah Rasulullah SAW maka akan ada suatu risalah baru sebagai penyempurna dari risalah sebelumnya, sehingga artinya Al-qur’an tidaklah sempurna dan Allah menjadi tidak konsisten terhadap pernyataannya yang ia sebutkan dalam ayat di atas.
Ketika Rasulullah SAW wafat, berdasarkan fakta sejarah dalam Islam, Umat Islam terpecah belah akibat perdebatan mengenai kepemimpinan dalam Islam, khususnya mengenai proses pemilihan pemimpin dalam Islam dan siapa yang berhak atas kepemimpinan Islam.
Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan Islam setelah Rasulullah SAW wafat dipimpin oleh Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah, dan Bani Abbas. Setelah dinasti Abbasyiah kepemimpinan Islam terpecah pecah ke dalam kesultan-kesultanan kecil.
Permasalahan kepemimpinan ini membuat Islam menjadi terfragmentasi dalam kelompok-kelompok, diantaranya yang terbesar adalah adanya kelompok Sunni dan Syiah. Kedua kelompok besar ini memiliki konsep dan pahaman kepemimpinan yang sangat jauh berbeda. Kedua kelompok ini memiliki dalil dan argumentasi yang sama-sama menggunakan sumber Islam yaitu Al-qur’an dan Sunnah.
Kedua kelompok ini terkadang saling berseteru satu sama lain, dan juga ada yang sampai mengkafirkan satu sama lain. Kondisi ini sangatlah tidak sehat bagi perkembangan kaum muslimin, harusnya mereka dapat berargumentasi secara rasional dan logis. Sehingga kaum muslim dapat melihat dan menilai apakah proposisi-proposisi yang dikeluarkan merupakan suatu kebenaran atau tidak.
Pada dasarnya sejarah tak bersih dari peristiwa kelam. Sejarah setiap bangsa, dan pada dasarnya sejarah umat manusia, merupakan himpunan peristiwa menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pasti begitu. Allah menciptakan manusia sedemikian sehingga manusia tidak bebas dari dosa. Perbedaan yang terjadi pada sejarah berbagai bangsa, komunitas dan agama terletak pada proporsi peristiwa menyenangkan dan tidak menyenangkan, bukan pada fakta bahwa mereka, hanya memiliki peristiwa menyenangkan saja atau tidak menyenangkan saja.[1]
Proses memahami sejarah tidak boleh berlandaskan suka atau tidak suka, dan juga harus siap menerima segala konsekuensi yang timbul setelah kita menelaah sejarah tersebut.
Dalam makalah ini penulis berusaha untuk berhenti pada konsep-konsep kepemimpinan tetapi juga membahas sejarah 4 khilafah setelah Rasulullah SAW, serta menyinggung Dinasti Muawiyah dan Abbasyiah. penulis mencoba untuk menarik nilai-nilai apa yang bisa didapat untuk membentuk konsep-konsep kepemimpinan dalam Islam.
Ada beberapa pertanyaan yang dapat saya ajukan seputar pembahasan makalah kepemimpinan dalam Islam ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan pemimpin dan kepemimpinan serta kenapa kepemimpinan dalam Islam di perlukan?
2. Bagaimana syarat-syarat kepemimpinan dalam Islam?


BAB II
PEMBAHASAN
ISLAM DAN KEPEMIMPINAN MENURUT SAYID QUTHUB
                                                                                                                       

Qur’an surat An-Nur ayat 55, yang artinya:
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman yang beramal saleh di antara kamu’ akan mengangkat mereka menjadi khalifah penguasa nama, seperti hal nya telah diangkat orang-orang sebelum mereka; kedudukan agama mereka yang mendapat kerelaan Allah akan dikukuh kuatkan; dan akan mengganti kehidupan takut dengan kehidupan aman damai; mereka itu menyembah Aku dan tidak mempersekutukan Aku dan sesuatu. Dan siapa saja yang membangkang setelah itu, mereka itu adalah orang durjana. (Qs. An-Nur:55)
  Syarat-syarat kepemimpinan dalam Islam
Kepemimpinan setelah Rasulullah SAW ini, merupakan pemimpin yang memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul, terbebas dari segala bentuk dosa, memiliki pengetahuan yang sesuai dengan realitas, tidak terjebak dan menjauhi kenikmatan dunia, serta harus memiliki sifat adil.
Pemimpin setelah Rasul harus memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul. Karena pemimpin merupakan patokan atau rujukan umat Islam dalam beribadah setelah Rasul. Oleh sebab itu ia haruslah mengetahui cita rasa spritual yang sesuai dengan realitasnya, agar ketika menyampaikan sesuatu pesan maka ia paham betul akan makna yang sesungguhnya dari realitas (cakupan) spiritual tersebut. Ketika pemimpin memiliki kualitas spiritual yang sama dengan rasul maka pastilah ia terbebas dari segala bentuk dosa.

Menurut Murtadha Muthahhari, umat manusia berbeda dalam hal keimanan dan kesadaran mereka akan akibat dari perbuatan dosa. Semakin kuat iman dan kesadaran mereka akan akibat dosa, semakin kurang mereka untuk berbuat dosa. Jika derajat keimanan telah mencapai intuitif (pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran) dan pandangan bathin, sehingga manusia mampu menghayati persamaan antara orang melakukan dosa dengan melemparkan diri dari puncak gunung atau meminum racun, maka kemungkinan melakukan dosa pada diri yang bersangkutan akan menjadi nol.[14] Saya memahami apa yang dikatakan Muthahhari derajat keimanan telah mencapai intuitif dan pandangan bathin ini adalah sebagai telah merasakan cita rasa realitas spiritual. Dengan adanya kondisi telah merasakan cita rasa realitas spiritual, maka pastilah Rasulullah SAW dan Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunannya tadi terbebas dari segala bentuk dosa.
Kondisi ini juga akan berkonsekuensi pada pengetahuannya yang sesuai dengan realitas dari wujud atau pun suatu maujud. Ketika pemimpin tersebut mengetahui realitas dari seluruh alam, maka pastilah ia tahu akan kualitas dari dunia ini yang sering menjebak manusia.
Kemudian seorang pemimpin haruslah juga memiliki sifat adil. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini ada.”  Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Keadilan bak hukum umum yang dapat diterapkan kepada manajemen dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan serba mencakup. Ia suatu jalan raya yang melayani semua orang dan setiap orang. Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin ini dapat dilihat dari cara ia membagi ruang-ruang ekonomi, politik, budaya, dsb pada rakyat yang dipimpinnya. Misalkan tidak ada diskriminasi dengan memberikan hak ekonomi (berdagang) pada yang beragama Islam, sementara yang beragama kristen tidak diberikan hak ekonomi, karena alasan agama. Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut melakukan kecurangan maka ia diberikan hukuman, ini berlaku bagi agama apapun.
Dengan demikian jelas bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, maka ummat Islam sebenarnya memiliki seorang pemimpin, yakni Imam Ali Bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan oleh beberapa keturunannya, yang mana akhir dari kepemimpinan tersebut adalah Imam Mahdi, yang disebut sebagai Imam akhir zaman.
Akan tetapi sekarang ini, Dimanakah Imam Mahdi tersebut? dan siapakah yang memimpin umat Islam di zaman ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 4 dasar falsafi kepemimpinan kelompok dalam Islam (syi’ah), yaitu[17] :
Pertama, Allah adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya.. Allah adalah Malik al-Nas, pemegang kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hukum. Manusia harus dipimpin oleh kepemimpinan Ilahiyah. Sistem hidup yang bersumber pada sistem ini disebut sistem Islam, sedangkan sistem yang tidak bersumber pada kepemimpinan Ilahiyah disebut kepemimpinan Jahiliyah. Hanya ada dua pilihan kepemimpinan Allah atau kepemimpinan Thagut.
Kedua, kepemimpinan manusia yang mewujudkan hakimiah Allah dibumi adalah Nubuwwah. Nabi tidak saja menyampaikan Al-qanun Al-Ilahi dalam bentuk kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu sendiri. ”Seperangkat hukum saja tidak cukup untuk memperbaiki masyarakat. Supaya hukum dapat menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan pelaksana.” menurut Khomeini. Para Nabi diutus untuk menegakkan keadilan, menyelamatkan masyarakat manusia dari penindasan. Nabi telah menegakkan pemerintahan Islam dan Imamah keagamaan sekaligus.
Ketiga, garis Imamah melanjutkan garis Nubuwwah dalam memimpin ummat. Setelah zaman Nabi berakhir dengan wafatnya Rasulullah SAW, kepemimpinan ummat dilanjutkan oleh para imam yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Setelah lewat zaman Nabi, maka datanglah zaman Imam. Jumlah Imam ini ada 12 (dua belas), pertama adalah Imam Ali Bin Abi Thalin, dan yang terakhir adalah Muhammad ibn Al-Hasan Al Mahdi Al Muntazhar, yang sekarang dalam keadaan gaib. Imam Mahdi mengalami dua ghaibah, yakni ketika dia bersembunyi didunia fisik, dan mewakilkan kepemimpinannya kepada Nawab al-Imam (wakil Imam), dan ghaibah kubra, yaitu setelah Ali Ibn Muhammad wafat, sampai kedatangannya kembali pada akhir zaman. Pada ghaibah kubra inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih, hingga akhir zaman tiba.
Keempat, para faqih diberikan beban menjadi khalifah. Kepemimpinan Islam berdasarkan atas hukum Allah. Oleh karena seorang faqih haruslah orang yang lebih tahu tentang hukum Illahi.
Jalaluddin Rakhmat dalam buku Yamani yang berjudul, filsafat Politik Islam, menyebutkan bahwa secara terperinci seorang faqih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Faqahah, mencapai derajat mujtahid mutlak yang sanggup melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya.
b. ’adalah : memperlihatkan ketinggian kepribadian, dan bersih dari watak buruk. Hal ini ditunjukkan dengan sifat istiqamah, al shalah, dan tadayyun.
c. Kafa’ah : memiliki kemampuan untuk memimpin ummat, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang secara kejiwaan dan ruhani.[18]
Menurut Khomeini, selain persyaratan umum seperti kecerdasan dan kemampuan mengatur (mengorganisasi), ada dua syarat mendasar lainnya bagi seorang fuqaha yaitu pengetahuan akan hukum dan keadilan. Seorang fuqaha sebenarnya adalah wujud dari hukum Islam itu sendiri.[19] Dengan ini terlihat bahwa seorang fuqaha itu tidaklah boleh untuk berbuat salah.[20]
Sebelum akhir zaman tiba, maka kepemimpinan Islam haruslah di pegang oleh seorang ulama (faqih) yang memenuhi syarat-syarat. Tidak sembarang manusia dapat menjadi faqih (ulama). Manusia harus melewati proses-proses pengujian baik secara intelektual maupun spiritual


  1. Mandat Umum
Ayat 55 Surat An-Nur di atas, merupakan mandate Allah kepada kaum muslimin seumumnya, dimana saja mereka berada dan di zaman manapun, untuk mengangkat mereka menjadi khalifah penguasa bumi ini, dengan syarat:
1.      Mereka harus beriman benar-benar kepada Allah
2.      Mereka haruslah mengerjakan amal saleh dalam arti seluas-luasnya
3.      Mereka haruslah menyembah hanya kepada Allah
4.      Mereka tidak boleh sama sekali mempersekutukan Allah dengan siapa dan dengan barang apapun
Mandate di atas ini, mandate yang bersifat umum, yaitu kekuasaan yang diberikan kepada kaum muslimin sebagai suatu umat (umat islam)
Umat islam sebagai pemimpin, sebagai penguasa dunia, kepemimpinannya berintikan iman dan amal shaleh, sebagai jiwa dan batang tubuh tiap-tiap kepemimpinan yang sehat, kepemimpinan yang mendapat kerelaan Allah.

Kepemimpinan islam mengandung pengertian, bahwa pemimpin dalam segala ukuran menjadi juru dakwah islamiyah, baik juru dakwah agung, juru dakwah midi ataupun juru dakwah mini. Para rasul yang membawa risalah, pada hakekatnya juga juru dakwah agung yang mendakwahkan risalahnya kepada umat manusia.

Jadi mandate kepemimpinan yang dapat dipahami dari ayat 55 surat an-Nur tersebut, yang diberikan kepada umat islam yang beriman dan baramal shaleh, juga berarti pemberian mandate kepemimpinan dalam bentuk dakwah, karena “kekilafatan” atau “kepemimpinan dunia” tidak akan berjalan tanpa ada dakwah yang mendukungnya.
Karena itu, seperti hal nya dengan syarat bagi berdirinya khalifah atau kepemimpinan dunia islam, maka demikian pula syarat-syarat tersebut menjadi syarat pula bagi berdirinya kepemimpinan dakwah islamiyah, yaitu syarat keimanan dan pelaksanaan amal shaleh.
Demikian janji dan mandate Allah kepada umat Muhammad yang beriman dan beramal shaleh, Allah akan mengangkat mereka menjadi khalifah penguasa dunia, akan mengukuhkan kedudukan agama mereka, akan mengganti kahidupan takut dengan kehidupan aman damai. Demikian janji Allah, dan janji allah itu benar, janji Allah pasti terjadi, Allah tidak pernah melanggar janji. Karena itu, apa sebenatnya arti iman dan apa pula arti istikhlaf  itu? Demikian Said Quthub bertanya dalam menafsirkan ayat 55 surat an-Nur di atas, yang selanjutnya saya ikhtisarkan uraian beliau sebagai berikut:[1]
Hakikat keimanan yang akan membuktikan janji Allah, adalah suatu hakikat agung yang meliputi seluruh kegiatan manusia dan mencakup segenap pengarahan kegiatan itu. Secepat hakikat kaimanan itu bersemi di dalam hati, secepat itu pila menjelmakan diri dalam bentuk amal, kegiatan, pembinaan dan penciptaan yang semuanya di arahkan kepada Allah, pelakunya tidak mengharap sesuatu kecuali wajah Allah, dia ptuh kepada Allah dan menyerah kepada perintah-Nya, baik dalam urusan besar atau dalam urusan kecil, tidak ada sisa nafsu di dalam dirinya, tidak ada bakhisyahwat dalam hatinya, dan tidak ada satu kecondongan dalam fitrahnya kecuali mengikuti sunnah Rasul Allah.

Itulah dia keimanan yang meliputi seluruh manusia, melalui getaran jiwanya, bisikan hatinya, kerinduan rohaninya, kecondongan fitrahnya, gerakan jasmaninya, pekerjaan anggota-anggotanya, dan sikap lakunya di depan manusia atau di depan Tuhan nya, semua itu ditujukan kepada Allah semata. Ini tergambar dalam firman Allah pada ayat itu sendiri, waktu mengemukakan sebab istihlaf  (janji mengangkat menjadi khilafah), tamkin (janji mengukuhkan kedudukan agama) dan aman damai: “mereka menyambah Ak, tidak mempersekutukan aku dengan apapun” . Penyekutuan (syirik) ada berbagai rupa: tawajuh kepada bukan Allah baikpun dengan perbuatan ataupun dengan perasaan, adalah satu macam dari bermacam-macam penyekutuan Allah.
Keimanan macam itu, adalah jalan hidup yang sempurna, yang mengandung segala perintah Allah, yang didalamnya termasuk penyempurnaan sebab, penyediaan perlengkapan pembinaan sarana, penyiapan diri untuk memikul amanah besar diatas bumi, yaitu amanahistikhlaf.


Hakikat istikhlaf di muka bumi
            Istikhlaf (penguasaan) bumi itu, bukan semata-mata kerajaan, kekuasaan, kewibawaan dan pemerintahan, tetapi ini semua dengan ketentuan harus mempergunakannya untuk membuat istilah, kemakmuran dan pembangunan, untuk membuktikan apa yang telah digariskan oleh Allah untuk manusia agar mereka berjalan di atasnya menuju tingkat kesempurnaanyang telah ditetapkan, yang layak baginya sebagai makhluk yang telah dimuliakan Allah.
Penguasaan bumi berarti kesanggupan memakmurkan dan memperbaikinya, bukan meruntuh dan merusaknya, kesanggupan untuk mewujudkan keadilan dam ketenteraman, bukan untuk melaksanakan kedzaliman dan tangan besi. Kesanggupan untuk meninggikan martabat dan organisasi manusia, bukan untuk menjerumuskan manusia, baik pribadi atau jamaah, ke lembah binatang.
Inilah istikhlaf (penguasaan) bumi yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, seperti janji yang dijanjikan Allah kepada orang-orang mukmin yang saleh sebelum mereka, dengan maksud agar membina jalan Allah di muka bumi.
Adapun orang-orang yang setelah berkuasa, lantas membuat kerusakan di atas bumi, mengembang biakan keonaran dan kemesuman dan membawa manusia menempuh jalan binatang, mereka itu bukanlah khalifah penguasa bumi, mereka itu hanya bajingan yang membencanakan bumi, termasuk mereka sendiri bersama penduduk lainnya.

Pengertian hakikat istikhlaf di tegaskan dalam firman Allah berikutnya:
“agar mangukuhkan kedudukan agama mereka yang telah mendapat kerelan Allah”.
Dengan pengukuhan kedudukan agama, pelaksanaan agama itu menjadi sempurna di dalam hati, seperti sempurnanya dalam pelaksanaan dan pengelolaan kehidupan.

Kalau begitu, Allah telah menjanjikan akan mengangkat mereka menjadi khalifah penguasa bumi, akan menjadikan agama yang telah mendapat kerelaan Allah seperti agama yang memimpin dunia, di masa agama mereka menyuruh berbuat islah, menyuruh melaksanakan keadilan, menyuruh menguasai kehendak bumi, menyuruh memakmurkan bumi ini dan mengambil manfaat segala kekayaannya, dengan ketentuan bahwa segala kegiatan itu haruslah dilaksanakan karena Allah.
“dan ketakutan mereka akan diganti dengan aman damai…”
Memang waktu itu, waktu zaman mekkah, mereka dalam ketakutan, tidak merasa aman dan tidak pernah meletakkan senjata, hatta sampai zaman madinah.

Tentang ayat ini, berkatalah Rabi bin Anas yang dirawikan dari Abi Aliyah:
            Nabi dan para sahabat bermukim di mekkah sekitar 10 tahun, mereka berdakwah kejalan Allah, mengajak beribadat kepada-Nya saja, tidak mempersekutukan-Nya. Dakwah ini dilakukan dengan rahasia, sedangkan mereka dalam ketakutan, belum diperintahkan berperang. Setelah hijrah ke madinah, barulah perintah perang datang,yang dengan demikian mereka masih juga ketakutan, petang dan pagi mereka memikul senjata, mereka sabar bertahan. Kemudian seorang pria dari kalangan sahabat berkata: “ wahai Rasul Allah, apakh sampai semasa umur kita dalam ketakutan begini?”
Lantas Rasul menjawab: ”kesabaran mu hanya sebentar, sehingga nanti seorang di antara kamu dapat duduk dengsn tenang di alam luas, dimana di dalamnya tidak ada senjata.
Setelah itu Rasul wafat dan dilanjutkan pelaksanaan risalahnya oleh para khalifahnya. Di zaman pemerintahan Abu Bakar, Umar, dan sebagian pemerintahan Usman, keadaan mereka masih aman damai, sehingga terjadilah apa yang terjadi, lantas karenanya Allah menimbulkan kembali ketakutan dalam kalangan mereka, karena mereka telah merubah syarat, maka Allah merubah pula keadaan mereka: “dan siapa saja yang kafir membangkang setelah itu, mereka itu adalah orang-orang durjana” yang keluar dari syariat Allah dan dari janji-Nya.

Telah terbukti janji Allah dahulu, dan akan tetap terbukti kembali selama kaum muslimin berada di atas syarat Allah: “mereka menyembah-Ku, tidak mempersekutukan Aku dengan apapun …” tidak dengan Tuhan yang lain dan tidak pula dengan hawa nafsu. Mereka beriman dan beramal saleh.
Janji Allah tetap berlaku untuk tiap-tiap generasi dari umat Muhammad yang memenuhu syarat Allah, sampai akhir dunia.
Kadang-kadang pertolongan, istihlaf, tankim, dan keamanan terlambt datang, disebabkan terlambatnya pelaksanaan syarat-syarat Allah dalam satu segi dan segi-seginya yang luas itu, atau dalam satu tugas dari tugas-tugasnya yang banyak itu, sehingga apabila telah dapat mengutip manfaat dari bala bencana, telah kuatir lantas meminta keamanan, telah hina dina lantas meminta kemuliaan, telah terhimpit lantas mengharap mandate penguasaan bumi (istikhlaf). Semua berjalan sesuai dengan cara-cara yang dikehendaki Allah, dan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkannya.
Akan terbukti janji Allah yang tidak pernah meleset, dan tidak akan ada kekuasaan dunia yang sanggup menghempang jalannya…

Demikian Said Qutub

  1. Mandat Khusus
Di samping mandate umum, Allah juga memberi mandate khusus kepada tiap-tiap pribadi muslim untuk menjadi pemimpin, termasuk pemimpin dakwah atau juru dakwah, dan syarat-syarat tertentu pula.


Mandate khusus tersebut, dapat terlihat dalam ayat-ayat berikut:
Dan kami jadikan mereka sebagai pemimpin, yang memimpin dengan perintah Kami, dan Kami wahyukn kepada mereka agar berbuat kebajikan, mendirikan shalat, membayar zakat dan hanya beribadat kepada kami. (Surat Al-Anbiya’/21:73)

Dan Kami angkat dari kalangan mereka para pemimpin, yang memimpin dengan perintah kami, yaitu ketika mereka sadar dan meyakini ayat-ayat Kami. (Surat As-Sajadah/32:24)
Ayat 73 surat Anbiya’, dan Ayat 24 Surat as-Sajadah menegaskan tentang kepemimpinan islam, dimana Allah menyatakan bahwa kalangan orang-orang beriman, akan mengangkat para pemimpin, yang dalam memimpin umat haruslah berpedoman perintah atau ajaran Allah, artinya mereka harus memimpin dengan memakai dasar kepemimpinan islam.

Adapun tujuan kepemimpinan islam, seperti yang di jelaskan ayat, yaitu:
  1. mengerjakan segala macam kebajikan dalam segala bidang politik, ekonomi, social, akhlak dan sebagainya,
  2. mengerjakan segala jenis ibadat, yang disini dikemukakan sebagai contoh ibadat shalat, karena ia induk dari segala ibadat,
  3. membina social ekonomi, yang dalam ayat ini dikemukakan zakat sebagai contoh.

Adapun sikap hidup para pemimpin yang diangkat Allah itu, yaitu mereka hendaklah benar-benar beribadat hanya kepada Allah, artinya mereka harus memiliki tauhid yang murni.

Ini berarti bahwa mereka sebagai pemimpin haruslah:
  1. jiwa raganya selalu berhubungan dengan Allah,
  2. jiwa raganya bersih dari segala macam syirik,
  3. pengabdiannya hanya semata-mata karena dan hanya untuk Allah,
  4. tidak ada suatu kekuasaan pun di dunia yang mematahkan watak dan sifat-sifat kepemimpinannya.
Dari keturunan nabi Ibrahim, Allah mengangkat para pemimpin, yang harus menuntun manusia dengan ajaran-Nya. Demikian antara lain Said Quthub menafsirkan ayat ini, yang selanjutnya menulis, bahwa Allah mewahyukan agar mereka berbuat segala macam kebajikan, dengan menyuruh umat mengerjakan ma’ruf dan melarang mereka mengerjakan mungkar, agar mereka bersama dengan rakyat yang dipimpinnya mengerjakan shalat dan membayar zakat. Kemudian mereka sebagai pemimpin umat harus patuh kepada Allah.[2]
Dalam ayat 24 surat as-Sajadah, Allah menambahkan lagi syarat kesabaran dan keyakinan bagi para pemimpin yang diangkatnya itu, sehingga garis kepemimpinan Islam menjadi lebih tegas lagi, yaitu kesabaran dalam menghadapi cobaan dan penderitaan, serta teguh keyakinan akan kebenaran ajaran Allah dan akan kemenangan yang di janjikan-Nya, demikian Said Kuthub menjelaskan.[3]
Menurut ayat 55 Surat an-Nur, ayat 73 surat al-Anbiya’, dan ayat 24 Surat as-Sajadah, bahwa ciri-ciri kepemimpinan yaitu:
  1. keimanan yang murni kepada Allah,
  2. pengabdian sejati kepada Allah,
  3. keyakinan teguh kan kebenaran ajaran Allah,
  4. kesabaran membaja dalam menghadapi percobaan.

Pedomam pimpinan :
  1. perintah dan ajaran Allah,
  2. sunnah Rasul Allah.

Tujuan pimpinan:
  1. melaksanakan segala macam amal kebaikan,
  2. mengerjakan amal ibadat,
  3. membangun social ekonomi.
  1. Tanggung Jawab
Ada segi yang lain lagi dari kepemimpinan Islam, termasuk kepemimpinan dalam bidang dakwah, yaitu harus adanya rasa tanggung jawabmendalam dari para pemimpin, seperti yang dapat kita kutib dari sabda Rasul:
Setiap kamu memimpin, dan tiap-tiap pemimpin harus bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Kepala Negara pemimpin, dan harus bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya; seorang suami pemimpin, dan harus bertanggung jawab terhadap rumah tangga yang dipimpinnya; seorang istri pemimpin, dan harus bertanggung jawab terhadap rumah tangga suaminya; seorang karyawan pemimpin, dan harus bertanggung jawab terhadap harta kekayaan nya. Dan semua kamu pemimpin yang harus bertanggung jawab terhadap rakyat yang kamu pimpin.
(Riwayat Bukhori dan Muslim)
Garie kepemimpinan Islam yang di bentangkan Rasul ini, menegaskan bahwa umat Islam seluruhnya adalah pemimpin, baik secara pribadi atau pun secara kelompok, sehingga jelasnya sebagai berikut:
  1. Umat Islam sebagai satu kebulatan adalah pemimpin dunia.
  2. Tiap-tiap pribadi dari umat Islam adalah pemimpin menurut kemampuan bakatnya masing-masing.
  3. Tiap-tiap manusia muslim menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri.
Semua tingkatan dari kepemimpinan Islam ini, haruslah bertanggung jawab terhadap golongan-golongan yang dipimpinnya, sedangkan syarat-syarat kepemimpinan yang bertanggung jawab telah dijelaskan Allah dalam ayat-ayat tersebut yang terdahulu dalam pasal ini.
Seperti telah dijelaskan, bahwa kepemimpinan Islam tidak terlepas dari Tali Allah. Karena itu, ia selalu berada dalam pengawasan allah, sehingga segala sesuatu harus di pertnggung jawabkan kepada Allah, dan memang Allah akan meminta pertanggung jawabannya:
Kemudian Kami jadikan kamu sebagai khalifah penguasa bumi untuk menggantikan mereka, di mana kami akan mengawasi apa yang kamu kerjakan,
(Surat Yunus/10:14)
Umat Islam yang telah diangkat menjadi khalifah penguasa bumi, untuk menggantikan umat-umat yang lalu, akan diminta pertanggung jawabannya terhadap amanah yang telah dipercayakan kepadanya. Mereka tidak dapat berlepas dari tanggung jawab baik sebagai satu kelompok umat ataupun sebagai seorang pribadi muslim menurut kadarnya masing-masing.
Di sini Allah memperingatkan, bahwa mereka di angkat menjadi khalifah untuk menggantikan umat-umat yang terdahulu, dan mereka dalam hal penyerahan amanah ini akan di uji dan akan diminta pertanggung jawabannya, demikian Said Khutub menafsirkan ayat ini. Selanjutnya beliau menguraikan, bahwa pemberian mandate untuk menjadi khalifah adalah sentuhan kuat bagi hati manusia, karena dengan demikian dia mengetahui, bahwa dia akan diangkat menjadi khalifah atas kerajaan yang dicopot dari pemilikn yang lama, dimana dia sendiripun nanti gilirannya akan digeser juga dari kerajaan ini. Di samping itu, dalam hari-hari dia menjalankan tugas kepemimpinnnya sebagai khalifah, akan diuji pula, akan dicoba atas kesanggupannya, akan diminya tanggung jawabnya.
Gambar yang dilukiskan islam ini dalam hati manusia, disamping memperlihatkan hakikat sehingga mereka tidak tertipu oleh bayangan; gambaran itu membangkitkan dalam hati mereka kewaspadaan dan takwa, yang akan memberi keamanan dan ketenterman baginya dan bagi masyarakat, dimna dia hidup di dalamnya.
Adanya kesadaran manusia, bahwa dia akan diuji dan diminta tanggung jawab selama hari-hari memerintah bumi, terhadap segala pekerjan; akan menimbulkan kesadaran baginya untuk menentang ketertipuan dan kealpaan, akan memberiny mawas diri dan keterbenaman dalam kesenangan hidup duniawi, akan membuka mata dia, bahwa semua pekerjaan itu dinilai dan harus dipertanggung jawabkannya.
Adanya rasa bahwa pengawasan selalu mengelilinginya, yang terpancar dari firman allah: “di mana kami akan mengawasi apa yang akan kamu kerjakan…”; akan menjadi manusia sangat hati-hati, sangat waspada, sangat gemar dalam berbuat ihsan agar lulus dari ujian ini.
Ini, adalah persimpangan jalan antara konsepsi yang dipancangkan Islam dalam hati manusia dengan sentuhan-sentuhan yang kuat itu, dengan berbagai konsepsi manusia yang menempatkan pengawasan Ilahi dan penghitungan akherat di luar pagar.
Tidak mungkin pertemuan antar keduanya, dimana yang satu hidup dengan konsepsi Islam sedangkan yang lain hidup dengan konsepsi-konsepsi yang fatal, tidak mungkin akan bertemu, baik dalam konsepsi tentang kehidupan, tentng akhlak ataupun tentang gerakan, sebagaimana tidak mungkin bertemu dua organisasi manusia yang masing-masingnya berdiri di atas dua prinsip yang tidak pernah bertemu.[4]

ANALISIS KRITIS
Hanya manusia-manusia yang dibimbing oleh Tuhanlah yang dapat memahami realitas alam semesta. Manusia yang memahami agama Islam secara komprehensif baik dimensi materi ataupun imateri yang dapat membawa suatu masyarakat menuju arah kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki. Selain itu diangkatnya seseorang menjadi pemimpin (nabi, para imam, atau ulama/fuqaha) juga berdasarkan gerak dan kebijaksanaan yang diraih oleh orang tersebut dalam perjalanan spiritualnya. Dalam hal ini terdapat faktor dari dari manusia itu sendiri yang kemudian dijaga dan diridhoi Allah SWT.
Kepemimpinan dalam Islam haruslah seorang tokoh ulama yang benar-benar bertanggung jawab penuh atas kemaslahatan dan keselamatan ummatnya. Baik itu golongan Islam Sunni atau pun Syi’ah sepakat bahwa ulama harus memimpin segala bidang baik itu spiritual maDengan adanya kondisi ini maka manusia dapat dikatakan merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Ketika membentuk suatu masyarakat maka dimensi individu kemanusiaan tersebut masih tetap ada. Namun dari individu-individu tersebut terdapat kesamaan yang dapat menyatukannya menjadi masyarakat, misalkan bahwa manusia itu ingin selalu bahagia, akan tetapi bentuk kebahagiaan tersebut pastilah beragam. Ragam bentuk tersebut tidaklah bertentangan satu sama lain. Misalkan manusia menjadi bahagia ketika ia mendapatkan pekerjaan yang halal dan ia dambakan, ada manusia lain bahagia ketika ia mendapatkan rumah dan mobil dengan cara yang halal. Artinya dalam membentuk masyarakat terdapat tujuan bersama yang harus disepakati terlebih dahulu.
Masyarakat ketika ingin mencapai tujuan bersama tersebut maka masyarakat haruslah bersifat homogen, tidaklah mungkin ia bersifat heterogen. Karena masyarakat yang bersifat heterogen, maka ia akan menjadi masyarakat yang tidak memiliki tujuan bersama. Ketika tidak memiliki tujuan bersama maka ia bukanlah masyarakat, akan tetapi hanya kumpulan manusia-manusia yang memiliki ragam tujuan yang berbeda satu sama lain. Kondisi ini akan dapat membuat chaos hubungan kehidupan manusia, dan tidaklah pernah tercipta apa yang dinamakan masyarakat.
Kita tahu bahwa manusia tadi memiliki yang namanya akal, hati dan nafsu terhadap duniawi. Dan terkadang hawa nafsu duniawi tersebut justru menjadi berlebihan dan kemudian merusak akal dan hati manusia. Kondisi manusia seperti ini akan dapat merusak yang namanya tatanan masyarakat. Dan bahkan bila kondisi ini menyebar pada manusia yang lain, maka hawa nafsu hewani manusia tersebut berubah jiwa masyarakat. Yang kemudian masyarakat tersebut memiliki tujuan yang dominan pada kehidupan duniawi yang bersifat hewani, bahkan lebih parah lagi dari hewan, misalkan dilegalkannya oleh suatu masyarakat kehidupan seks bebas, minuman keras dijual bebas, dan bisnis prostitusi menjadi legal, dsb.
Manusia memiliki pengetahuan yang terbatas, namun setiap manusia memiliki potensi yang sama dalam hal mencapai pengetahuan yang hakiki. Hal ini di karenakan bahwa seluruh umat manusia pada dasarnya memiliki fitrah yang baik dan sama. Akan tetapi dalam proses kehidupannya manusia banyak mendapatkan tantangan dan hambatan. Dalam proses ini manusia ada yang mampu mendapatkan pengetahuan yang hakiki, namun ada juga yang terjerumus pada kenikmatan dunia yang menyesatkan dan semu.
Dengan adanya kecenderungan manusia dan masyarakat yang seperti ini, maka Allah SWT sebagai Sang Pengasih, Penyayang dan Sang Pemberi petunjuk pastilah tidak akan membiarkan hambaNya tersesat dan kehilangan jati diri kemanusiaan. Sang Pemberi petunjuk dengan sifat Keadilan-Nya pastilah menciptakan suatu hukum yang adil untuk mengatur alam semesta ini, yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai petunjuk hidup bagi manusia dan masyarakat.
Petunjuk tersebut kemudian kita sebut sebagai wahyu. Dunia kita ini merupakan suatu dunia yang penuh dengan tujuan. Tiap-tiap sesuatu diarahkan untuk menuju ke tujuan evolusionernya oleh kekuatan yang ada didalam dirinya, dan kekuatan yang ada didalam dirinya itu adalah petunjuk Allah. Wahyu menurut Al-qur’an tidak hanya untuk manusia saja, akan tetapi untuk seluruh ciptaan-Nya. Wahyu tersebut memiliki tingkatan-tingkatan, tingkatannya beragam sesuai dengan tingkatan kwalitas evolusi tiap-tiap sesuatu. Wahyu yang derajatnya lebih tinggi diberikan kepada nabi. Dengan petujuk tuhan inilah manusia dan masyarakat dapat melangkah menuju suatu tujuan. Tujuan ini berada diluar alam material yang kasat mata ini. Manusia dan masyarakat harus menuju pada tujuan ini. Wahyu juga memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan sosialnya, suatu kehidupan yang membutuhkan suatu hukum yang di ridhai oleh Allah SWT. Ketika Rasulullah SAW wafat, maka tidaklah mungkin beliau meninggalkan umatnya tanpa seorang pemimpin, yang mana telah beliau didik untuk sampai pada pengetahuan akan realitas alam semesta ini, dan juga realitas dari ayat-ayat Allah SWT. Karena tingkat kwalitas pengetahuan manusia yang berbeda-beda, juga masih adanya manusia yang belum mengetahui makna dari ayat-ayat Allah SWT, dan juga masih ada manusia yang belum mengetahui, memahami tujuan hidupnya, maka Rasulullah SAW atas perintah Allah SWT pastilah memilih seorang dari ummat Islam untuk menjadi pemimpin.
Pemimpin tersebut harus memiliki tingkat pengetahuan yang sama dengan Rasulullah SAW, dan juga pemimpin tersebut harus bebas dari segala bentuk dosa kecil apalagi besar (ma’sum). Akan tetapi ia bukanlah menjadi seorang nabi, karena tidak ada risalah baru yang disampaikan. Islam telah menjadi agama yang sempurna, namun masih di butuhkan orang yang dapat menjaga risalah Islam dan membuat ummat Islam mudah untuk mencapai tujuannya. Tugas seorang pemimpin ini adalah mengawasi, memimpin, dan memperhatikan ummat Islam.
Terdapat perbedaan antara seorang pemimpin dan nabi. Nabi itu bertugas sebagai pemandu, pembimbing, serta juga memberikan sarana untuk melintasi jalan dalam mencapai tujuan. Sedangkan pemimpin adalah orang yang membuat pengikutnya mudah untuk mencapai tujuan, mengawasi, memimpin, dan memperhatikan ummat Islam.[13] Ada kalanya seseorang tersebut menjadi nabi sekaligus pemimpin, seperti yang terjadi pada diri Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah SAW wafat, panduan dan sarana untuk ummat Islam dalam mencapai tujuannya haruslah tetap terjaga kesuciannya. Untuk itu dibutuhkan seorang pemimpin yang diangkat oleh Rasulullah SAW berdasarkan atas perintah Allah SWT.
Dengan adanya argumentasi ini, maka pemimpin dalam Islam setelah Rasul wafat haruslah ada. Pemimpin tersebut bukanlah dipilih atas kehendak ummat Islam, akan

tetapi ia harus diangkat oleh Rasulullah SAW atas perintah Allah SWT. Hal ini dikarenakan, ukuran tingkat atau kualitas pengetahuan serta spiritual seseorang hanya Allah SWT yang tahu, yang kemudian ini disampaikan kepada Rasulullah SAW. Untuk menjadi pemimpin, manusia tersebut pastilah harus melewati proses pendidikan oleh Rasulullah SAW, disamping ia juga memiliki potensi fitrah yang di berikan oleh Allah SWT. Manusia tersebut adalah Imam Ali Bin Abi Thalib, yang kemudian diteruskan oleh keturunannya yang memiliki pengetahuan luas dan suci dari segala dosa.


BAB III
KESIMPULAN

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau mendengar kririk, memperhatikn isi kritik, bukan mencari siapa pengkritik. Ali bin Abi Thalib dalam salah satu wejangan kepada pejabat yang di angkat untuk memimpin umat, selalu memberikan pengarahan agar pejabat itu memperhatikan apa yang diucapkan (kritik) orang kepadanya, bukan mencari data siapa yang melontarkan kritik.
Istikhlaf (penguasaan) bumi itu, bukan semata-mata kerajaan, kekuasaan, kewibawaan dan pemerintahan, tetapi ini semua dengan ketentuan harus mempergunakannya untuk membuat istilah, kemakmuran dan pembangunan, untuk membuktikan apa yang telah digariskan oleh Allah untuk manusia agar mereka berjalan di atasnya menuju tingkat kesempurnaanyang telah ditetapkan, yang layak baginya sebagai makhluk yang telah dimuliakan Allah.
Penguasaan bumi berarti kesanggupan memakmurkan dan memperbaikinya, bukan meruntuh dan merusaknya, kesanggupan untuk mewujudkan keadilan dam ketenteraman, bukan untuk melaksanakan kedzaliman dan tangan besi. Kesanggupan untuk meninggikan martabat dan organisasi manusia, bukan untuk menjerumuskan manusia, baik pribadi atau jamaah, ke lembah binatang.
           

DAFTAR PUSTAKA

A.Hasjmy, ”Dustur Dakwah Menurut Islam”, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
Asghary, H. Basri Iba, “Solusi Al-Qur’an Tentang Problema Sosial, Politik, Budaya”, PT Rineka Cipta, Jakarta,1994.
· Andi Anas, Konsep Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini, Skripsi pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama UNISBA, 2006
· Dr Ali As-Salus, Imamh dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, Gema Insani Press, Jakarta,1997
· Haidar Bagir dalam Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah, Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, Pustaka Hidayah, 1989
· Jalaluddin Rakhmat dalam Yamani, Filsafat politik Islam antara Al-Farabi dan Khomeini, Mizan, Bandung, 2003
· Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, Al-huda, Jakarta 2005
· Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera, Jakarta,2002
· Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian, terj. Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka Hidayah 1991
· Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Nahj al- Balaghah, Al-Huda, Jakarta,2002
· Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, Pustaka Zahra, Jakarta, 2002.






[1] Sayid Quthub,Tafsir Fi Dhilalil Qur’an (Beirut: ihyaut Turasil Araby), Jilid VI, Jus XVIII, h. 118-120, Cet. Ke-3
[2] Said Quthub, ibid., jilid V, Juz XVII, h. 43, Cet. Ke-3
[3] Ibid,Jilid VI, Juz XXI, h. 109, Cet. Ke-3
[4] Said Quthub, ibid., Jilid IV, Juz XI, h. 127-128, Cet. Ke-3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar