Selasa, 07 Juni 2011

DAKWAH DALAM PEMBANGUNAN SOSIAL DAN MASYARAKAT

BAB II
PEMBAHASAN
DAKWAH DALAM PEMBANGUNAN SOSIAL DAN MASYARAKAT



  1. Akhlak Islam Dalam Bersedekah
Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 273 yang artinya:
“Berilah bantuan, (infak) kepada fakir miskin yang tidak dapat berusaha di muka bumi (karena terikat bdengan jihad pada jalan Allah). Orang fakir seperti itu acap disangka kaya oleh orang-orang yang tidak tahu. Karena mereka memelihara diri dari meminta-minta. Identitas mereka dapat kamu kenal. Tidak mau meminta kepada orang lain secara paksa. Dan apapun yang kamu infakkan dari harta yang kamu miliki, niscaya Allah maha mengetahui.” (Q.S.2/Al-Baqarah:273)

Islam Pengatur Keseimbangan Sosial
Allah SWT telah menegaskan bhwa umat Islam yang diberikan syari’at Islam melalui Rasul-Nya, adalah umat yang sederhana, adil dan pilihan, agar mereka menjadi saksi atas tingkah laku (Q.S. Al-Baqarah: 143). Di antara cara yang diatur Islam sebagai cirri umat yang sederhana dan adil itu, adalah tuntunan tentang saling membantu dan berbagi kesedihan dngan saudaranya seiman yang tidak mampu.
Pada harta kekayaan seseorang terdpat bagian tertentu yang (harus) diberikan kepada orang yang tidak mampu, sebagai santunan dan bantuan dalam ikatan ukuwah. Pemberian yang tulus dan ikhlas, tanpa pamrih dan maksud terselubung. Pemberian yang bias disebut sedekah, infak dan zakat itu adalah untuk mereka yang tidak mampu, kaum dhu’afa yang tertindas. Baik mereka yang meminta maupun mereka yang malu (karena menjaga kehormatan diri, muru-ah) meminta. (Q.S.70/Al-Ma’arij:24; Q.S.51/Adz-Dzariyad:19)



Tujuan Islam yang utama dalam memotivasi seseorang untuk menolong saudaranya (dalam bentuk sedekah, infak, zakat, atau berbagai jenis pertolongan materi lainnya)mengandung hikmah agar harta tersebut tidak hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja. Hal ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya:
“…supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja dikalanganmu.” (Q.S.59/Al-Hasyr:7).
Menurut pakar-pakar Islam, inilah salh satu konsep penting yang diatur Islam dalam menjaga keseimbangan kehidupan social, sehingga “gap” antara si kaya dan si papa tidak menganga terlalu lebar. Sebab pada perbedaan strata social yang mencolok akan terdapat kecenderungan timbulnya keresahan social, yang pada gilirannya dapat membahayakan suatu bangsa, kerawanan social.

Akhlak “Memberi” Dalam Islam
Meskipun Islam telah mengatir betapa mulianya amal membantu yang lemah oleh mereka yang memiliki kecukupan, namun ada beberapa tata cara yang harus diperhatikan, yang dapat disebut sebagai akhlak dalam memberi, bukan karena mentang-mentang kaya, lantas dalam memberi itu berlaku semena-mena dan bersifat menghina kepada pihak yang diberi.
Pemberian kepada seseorang dalam ajaran Islam tidak hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat materi dan financial belaka, melainkan juga pemberian itu bersifat abstrak. Seperti memberikan perasaan nyaman, tidak mengusik hati secara emosi orang yang diberi. Kalau memberi dalam bentuk materi, agar tidak diiringi dengan kata-kata menghardik dan mencela orang yang meminta.
“Dan orang yang meminya (minta) itu janganlah kamu hardik”. (Q.S.93/Adh-Dhuhaa:10)
Salah satu diantara ayat yang menggambarkan tentang mereka yang berkekurangan sehingga patut menerima pemberian., terdapat dalam wahyu-Nya yang suci, yang dikutup dalam mukadimah tulisan ini. Yakni orang-orang kafir yang tidak memiliki kesempatan (IC kemampuan kapital) untuk berusaha secara wajar, atau karena mereka terikat dalam jihad (dalam berbagai metode) pada jalan Allah.
Mereka dapat dikenali dengan identitas; tak mau meminta dan memberitahukan jati dirinya bahwa mereka termasuk kaum yang kekurngan. Hal ini  karena menjaga kehormatan diri.

Lebih Utama
Kepada orang-orang yang kekurangan semacam inilah, tiap orang yang memiliki kemampuan (kaya, aghniya’) sepatutnya memberikan bantuan, baik dalam bentuk infak, sedekah maupun zakat, atau bentuk kemanusiaan lainnya. Dan pemberian itu akan lebih utama lagi dalam bulan Ramadhan. Anjuran Allah untuk mengenali cirri atau identitas mereka, pada hakikatnya merupakan suatu petunjuk tersirat bahwa lebih baik sesuatu yang diberikan kepada mereka itu tidak membawa efek tersinggung rasa harga diri dan muru-ah mereka. Inilah akhlak pertama yang harus diperhatikan oleh pemberi dan atau oleh orang yang berkecukupan.
Petunjuk lain tentang akhlak memberi itu, dapat kita temui dalam Q.S.Al-Baqarah:262 yang artinya:
“orang-orang yang menafkahkan hartanya pada jalan Allah, lalu tidak menyertai pemberiannya itu dengan umpatan (atau menyebutkan jasa) yang dapat menyakitkan hati.” (Q.S.Al-Baqarah:262)
Jika seseorang yang berkecukupan itu ketika mengulurkan tangannya untuk memberi, menyertainya dengan menghina, melecehkan dan mengusik harga diri orang yang diberi, maka lebih baik pemberian yang seperti itu dibatalkan saja. Lebih bernilai aspek lainnya dari pada pemberian yang bersifat seperti yang disebutkan di atas. Pilihan ini dengan jelas di ungkapkan Allah dalam Q.S. Al-Baqarah:263 yang artinya:
“Ucapan yang ramah dan pemberi maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi sesuatu (sebutan, mengungkit-ungkit kedermawanannya) yang menyakitkan. Dan Allh Maha Kaya, Maha Penyantun.” (Q.S.Al-baqarah:263)
Kata adzaa pada ayat dalam surat tersebut dapat diartikan sebagai sesuatu yang menyakiti hati, melukai perasaan yang dalam terjemahan A.Yusuf Ali,The Holy Qur’an dialih bahasakan dengan kata: injury, (The Holy Qur’an, halaman 106 ), artinya luka atau zalim. Larangan jangan diikuti dengan ucapan demikian serta ditegaskan dalam ayat berikutnya (Q.S.Al-Baqarah:264)
Seseorang yang memberi seraya menyakiti persaan sebagaimana dimaksudkan ayat di atas, oleh Allah SWT diidentikkan dengan pemberian riya’, sumbangan pamer. Pemberian yang sok pamer itu di umpamakan oleh Allah seperti batu licin yang berdebu di atasnya. Debu itu kemudian ditimpa hujan lebat, maka sisanya hanya batu licin belaka.
Sebaliknya, orang-orang yang berkacukupan yang memberikan atau berinfak (sedekah dan zakat) karena mengharapkan keridhaan Allah dan untuk ketenangan jiwanya, ditamsilkan sebagai sepetak ladang di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat. Maka penghasilan yang diperoleh dari kebun tersebut berlipat ganda. Dan seandainyapun hujan lebat tidak turun, hujan gerimis saja sudah memadai untuk menyuburkan benih yang ditanam di kebun itu. (Q.S.Al-Baqarah:265)

Sedekah Sembunyi-sembunyi Dan Terang-terangan Sama Saja
Memberikan sesuatu (harta) dalam bentuk sedekah, infak atau zakat, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, sama saja pahalanya, tergantung niat dari si pembeli. Jika di sembunyikan dalam arti tidak banyak gembar-gembor atau pamer itu lebih baik. Tetapi diberikan secara terang-terangan pun baik juga. Atau diberikan pada waktu malam dan siang, sembunyi dan terang-terangan tetap diberikan pahla oleh Allah. Si pemberi itu tidak akan merasa ketakutan dan bersedih hati. (Q.S.Al-Baqarah : 271,274).
Konsep Islam tentang infak dan sedekah, dengan cara memotivasi golongan maupun untuk mengeluarkan sebagian hartanya yang hakikatnya adalah amanat Allah merupakan konsep untuk manumbuhkan solidaritas antar saudara seiman yang saling mengasihi. Dari segi lain, jika kesadaran berinfak dan bersedekah ini memasyarakat, niscaya itu merupakan salah satu media pangkal yang jitu untuk mebebdung timbulnya kemurtadan dikalangan kaum dhu’afa. Dan para sahabat Nabi Saw telah mengaplikasikan tuntunan ini dalam kehidupan mereka dengan keteladanan yang baik.
Tiga Tujuan Utama
Dari keseluruhan petunjuk Allah SWT tentang akhlak berinfak dan bersedekah ini, mempunyai tiga tujuan utama:
  1. agar kekayaan itu tidak hanya berputar di antara pemilik capital dan aghniya’
  2. agar tumbuh perasaan kebersamaan dalam kerangka memperkecil jurang pemisah antara kaum kaya dengan si papa, dan
  3. dengan tidak menyakiti perasaan dan hatinya, maka si papa atau si penerima akan merasa terancam, dan dengan itu pila akan lebih mudah menumbuhkan solidaritas dan memperkuat ukhuwah antar sesame mukmin.

  1. Membina Persatuan Dan Persaudaraan Islam
Q.S. Al-Imran: 103 yang artinay:
“Berpegang teguhlah dengan agama allah dan janganlan kamu berpecah belah. Ingatlah nikmat Allah (yang telah dilimpahkan) atas mu! Ketika kamu saling bermusuhan, maka Allah telah menjadikan hati kamu lembut, sehingga kamu menjadi bersaudara berkat nikmatnya.” (Q.S. Al-Imran:103)
Tidak ada seorang mukmin pun berani menyangkal keabsahan perintah Allah untuk bersatu dan bersahabat, seperti termanifestasikan dalam firman-Nya yang dikutip di atas. Tetapi betapa masgulnya hati kita menyaksikan perpecahan umat ini, hamper terus menerus terjadi, yang bermula dari tragedy terbunuhnya Khalifah Rasulullah yang ketiga, Usman binAffan pada akhir abad ke-7 (tahun656). Dan yang lebih tragis, adalah “berperansertanya” orang-orang yang paham kandungan Al-Qur’an dalam memperbesar perpecahan itu. Sebagian goglonagn mengklaim dengan angka mati bahwa pihak lain sebagai golongan sesat.

Musuh Menyelusup
Tingkah laku menepuk dada dan memproklamirkan diri sebagai golongan kaum muslim yang paling benar, ternyata tidak mampu memecahkan problema umat. Yang terjadi malah sebaliknya, makin tajam permusuhan umat Islam. Dari celah-elah perpecahan inilah dengan mudah menyelusup musuh-musuh Islam yang sejak 15 abad yang lalu mengintai umat Islam.
Para pendengki Islam dengan mulus memanfatkn kondisi ini untuk memurtadkan umat Islam. Dan hasilnya, sudah kita maklumi, betapa banyak kaum dhu’afa mislim yang hidup denagan kondisi social yang menyedihkan, telah terperangkap untuk mengikuti agama lain, karena terbius dengan materi dan kesejahteraan.  
Sikap sesame umat Islam yang mengklaim diri sebagai kelompok yamg paling sesuai dengan tuntunan Allah, padahal melakukan pelnggaran dengan mengabaikan makna persatuan, bukanlah akhlak yang dituntut.
Firman-Nya menyebutkan:
… maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Hanya Dia-lah (Allah SWT) yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (Q.S.An-Najm:32)
Dari berbagai tuntunan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an antara lain seperti yang sebagian dikutip di atas dan tuntunan Rasul-Nya. Sesungguhnya persatuan dan persaudaraan dalam Islam sangat urgen. Menghilangkan titik perbedaan dan mencari titik-titik persamaan, merupakan satu sikap terpuji dalam kerangka membina masa depan Islam yang lebih baik. Karena itu seyogyanya kita mengarah kepada upaya-upaya untuk bersikap:
  1. Rendah hati, tidak angkuh, yakni sikap lemah lembut dengan sesama umat Nabi Muhammad, yang mau saling memaafkan, sehingga tali persaudaraan Islam (ukhuwwah Islamiyah) terbuhul dengan baik dan erat. Tidak ada perbedaan prinsip antara berbagai paham umat Islam, karena itu semua berTuhankan Allah SWT, bernabikan Muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci yang sama, Al-Qur’anul Karim, dan juga berkiblat kea rah yang sama. Tuntunan sikap ini, antara lain tersurat dalam firman-Nya:
(Umat Mukmin itu) harus selalu bersikap lemah lembut terhadap sesame mukmin, tetapi harus merasa gagah terhadap orang kafir.” (Q.S.Al-Maidah:54)

Dalam sebuan hadits Qudsi, Rasulullah bersabda:
sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan kepada ku, agar kamu selalu bersikap rendah hati (tawadhu’) dalam arti, tidak pantas seseorang berlaku kejam terhadap orang lain dan juga tidak patut berlaku angkuh.” (H.R. Abu Dawud)

  1. Bersikap saling mengasihi. Kaum Muslimin generasi awal telah memberikan teladan kepada kita tentang ikatan solidaritas yang kuat diantara mereka yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai salah satu identitas Muslim. Identitas ini dengan gamblang di abadikan Allah dalam firman-Nya dalam terjemahan yang lebih kurang sebagai berikut:
“Muhammad adalah Utusan Allah. Dia dan orag-orang yang beriman bersertanya bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi saling mengasihi sesame mereka. Kamu jihad mereka ruku’ dan sujud (dalam satu komando), semata-mata karena mengharapkan ridha Allah. Cirri mereka tampak pada air muka (yang penuh keimanan dan kesucuan) dari bekas sujudnya kepada Allah.” (Q.S. Al-Fath:29).
Karena ikatan batin yang kuat mengekspresikan kasih saying maka antar sesame umat Islam tercipta persaudaraan. Karena perasaan senasib dan sepersaudaraan inilah, maka jika terjadi perbedaan persepsi terhadap masalah-masalah non-prinsip dan metode aplikasi ajaran Islam, selalu di selesaikan dengan damai dan iktikad berbuat baik (ishlah).
“sesungguhnya para Mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah antara saudara-saudaramu. Bila terdapat perbedaan persepsi tentang masalah apapun, serta bertaqwalah kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat. ” (Q.S. Al-Hujarat:10)

  1. Saling menasihati dengan kebaikan. Nasihat, kritik atau saran kepada seseorang terkadag memang ditanggapi sebagai perasaan anti, terutama oleh orang yang tidak bersikap terbuka terhadap orang lain. Sikap tidak terbuka dan tidak mau menerima kritik, pada sisi lain akan menghidup suburkan perilaku membeo begitu saja. Sikap membeo ini pada gilirannya melahirkan perilaku menjilat, yang dalam bahasa administrasi disebut birokraso patrimonial.
Dalam system pemerintahan yang makin menjurus pada pelaksanaan kekusaan yang berbau tiran, misalnya, seorang bawahan secara halus “diajari” untuk patuh. Betapapun logis dan konstruktif, suatu kritik dianggap sebagai suatu pembangkangan. Akibatnya, muncullah para birokrat yang bertindak sewenang-wenang, karena orang yang di bawah tidak berani menyampaikan saran, takut diberi cap anti pimpinan. Para birokrat seperti ini memberikan amsal kepada bawahan yang lihai dalam menjilat itu dengan ungkapan bahasa yang enak didengar telinga, yakni: “Seseorang bawahan yang baik, ialah bawahan yang mampu menjabarkan kebijaksanaan pimpinan.”

Perkokoh Solodaritas
Islam memberikan tuntutan agar Muslim saling memberikan nasihat kepada saudaranya. Anjuran ini adalah intuk memperkokoh persaudaraan Isam dan solidaritas. Itulah sebabnya, maka Allah SWT menempatkan seseorang Muslim dalam kelompok yang tiak merugi, bila si Muslim itu saling menasihati dengan kebenaran dan kesabaran.
Firman Allah dalam surat Al-Ashr:1-3 yang artinya:
“Demi waktu; sesungguhnya manusia itu merugi. Kecuali orang yang beriman, dan beramal kebajikan (berkerja keras) dan yang saling menasihati akan kebenaran dan kesabaran.” (Q.S.Al-Ashr:1-3)
Tanda persahabatan yang akrab, ialah memberikan saran dan nasihat apabila ada saudaranya (Muslim)  yang berbuat kekeliruan dalam tindakannya. Kekeliruan yang dilakukan seseorang, lebih-lebih jika menimbulkan efek kerugian kepada pihak lain, merupakan kedzaliman. Rasulullah SAW bersabda:
“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan saudaramu yang terzalimi. Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasil:
‘kalau menolong yang terzalimi,kami sudah paham ya, Rasulullah. Tetapi bagaimana pula caranya menolong orang yang berbuat zalim?’
Rasulullah menjawab- menolong yang zalim yaitu kamu mencegahnya agar jangan berbuat zalim. Itulan cara untuk menolongnya.”  (H.R.Bukhari).

  1. Menegakkan Solodaritas Sosial
Q.S. Yunus ayat 88 yang artinya:
“Ya Rabbana! Engkau telah melimpahkan perhiasan dan harta dalam kehidupan dunia kepada Fir’aun dan para penbesar kaumnya. Sesungguhnya lah dengan harta yang engkau limpahkan itu, mereka telah menyesatkan masyarakat dari petunjuk-Mu. Karena itu ya Rabbana, hancurkanlah harta benda mereka dah kunci matilah hati  mereka, Mereka takkan beriman hingga mereka menyaksikan siksa yang pedih.” (Q.S.Yunus:88).
Kutipan ayat Al-Qur’an seperti di nukilkan di atas merupakan salah satu do’a Musa a.s. ketika itu merasa muak dengan perilaku fir’aun yang congkak dan serakah. Musa sadar sepenuhnya bahwa kehidupan yanr terlalu berorientasi kepda matrealis, pasti akan menjadikan seseorang bersikap congkak dan serakah.
Perilaku congkak jika dimiliki seorang penguasa seperti amsal yang diberikan Allah kepada sosok angkara murka, Fir’aun; maka pada saat itu keadilan social menjadi sirna. Yang ada hanya slogan untuk menolong golongan lemah, sedang dalam praktek tidak lebih kecuali penghancuran terhadap mereka.
Jika keadilan social menjadi lenyap dari peredaran, maka dengan segera keangkuhan, akan muncul. Yakni serakah. Apabila sikap serakah yang landasannya adalah isme kapitalis mendarah daging dalam benak seseorang, maka ketika itulah akan terjadi berbagai tindakan sewenang-wenang, dengan mempertopeng “hukum”.
Lalu terjadilah berbagai tragedi yang menyedihkan. Kaum lemah ditakut-takuti, tanahnya dirampas atau tenaganya diperas atau tempat mereka berteduh dibumihanguskan. Atau bahkan terkadang dengan sengaja diciptakan suatu situasi, agar kaum mustadh’afin tidak merasa betah lagi tinggal dalam hiruk-pikuk modernitas semu.
Gambaran kehidupan semacam itu digambarkan dalam peristiwa sejarah, Allah mengungkapkannya dalam bentuk indikasi perilaku Fir’aun dan para pembesarnya. Fir’aun yang bernama Ramses II (1292-1225 SM) misalnya, memeras tenaga bangsa keturunan Ya’kub a.s. untuk pembangunan kota Ramses, dan merampas tanah serta harta benda yang mereka miliki dan tempati sejak zaman Hyksos, ketika Yusuf a.s. menjadi raja muda pada masa dinasti ke-17. setelah Ramses II mati, Merneptah (1225-1215), anak Ramses II yang menggantikan ayahnya, juga mewarisi perilaku Fir’aun itu. Pada masa pemerintahannylah, dia merencanakan pengusiran dan penghancuran pengikut Musa.
 Tetapi Allah berkehendak lain, menetapkan mati dalam Lautan Merah, ketika mengejar Musa, dan mayatnya diselamatkan Allah agar menjadi pelajaran kepada generasi di belakangnya. (Q.S. Yunus:92)

Kaum Dhu’afa Adalah Pendukung Dakwah
Penggambaran tentang penghancuran sosok zalim yang congkak dan serakah dalam Al-Qur’an dengan nisbatnya kepada Fir’aun atau tokoh angkara murka lainnya (seperti Namrud) adalah untuk mengingatkan Nabi Muhammad SAW dan umatnya, bahwa kezaliman dan pelakuannya pada akhirnya akan hancur, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Janganlah sekali-kali engkau sangka bahwa Allah lupa terhadap perilaku orang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkannya siksaan sampai tibanya pada suatu hari (dijatuhkan hukuman itu) mata mereka menjadi terbelalak.” (Q.S.Ibrahim:42)

Di antara beberapa contoh syari’at Islam yang memerintahkan umatnya untuk hidup wajar, tidak congkak, dan tidak serakah misalnya:
“Janganlah kamu memalingkan muka mu (karena sombong) dari manusia dan berjalan di muka bumi dengan berjalan di muka bumi penuh kecongkakan. Sungguh Allah tidak menyukai si angkuh yang membangga-banggakan diri.” (Q.S.Lukman:18)
            “Jika bapak, anak, saudara, istri, keluarga, harta yang kamu usahakan, dan bisnis yang kamu khawatirkan kerugiannya serta bangunan yang kamu diami lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta jihad pada jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya. Sungguh Allah tidak akan menunjuki orang-orang yang fasik.” (Q.S.At-Taubah:24)
Di antara cirri orang yang congkak itu, ialah bilamana ia tidak menghormati hak-hak kaum dhu’afa: “dan adapun orang lemah yang butuh (bantuanmu) dan meminta, janganlah kamu hardik” (Q.S.Adh-Duhaa:10). Karena, “dalam satuan harta si kaya itu, terdapat bagian tertentu untuk si jelata yang papa, baik mereka meminta maupun menahan diri.” (Q.S. Adz-Dzariyat:19).
Mereka kaum mustadh’afin memang tak dapat berbuat banyak bila mereka dihadapkan dengan kecongkakan oknum penguasa, apalagi dengan kecongkakan itu mereka merampas segala kenerdekaan haknya. Tetapi dibalik kelemahan itu, terletak suatu kekuatan yang hebat.

Rahasia potensialnya kekuatan kaum tertindas itu sangat dikhawatirkan oleh kaum kafir Quraisy. Klimks kekhawatiran mereka muncul ke permukaan, ketika mereka mendapat informasi bahwa Nabi SAW telah mendapat perintah Allah dalam wahyu yang ke-2 untuk menyampaikan dakwah dan risalah Islam secara terang-terangan. Para aristocrat Quraisy itu begitu cemas jika budak-budak mereka menerima ajakan Muhammad. Termasuk Umayyah bin Khalaf dari Bani Jumah, merasa cemas. Karena itu melihat beberapa “gejala aneh” dalam tingkah laku budaknya, Bilal bin Rabbah. Apalagi mereka mendengar pula, bahwa beberapa “orang lemah” dari sudut ekonomi dan social seperti Zaid bib Harisah dan Saad bib Abi Waqqas serta Fatimah binti Khattab dan suaminya (Zeid) telah masul Islam. Para aristocrat Quraisy telah banyak mendapat pengalaman dari Negara lain, bahwa golongan yang dianggap lemah itu bias berubah menjadi kekuatan besar.Peran Dakwah Sunan Gunung Djati
PUSAT-PUSAT perdagangan di pesisir utara, yakni Gresik, Demak, Cirebon, dan Banten sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16 telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa. Kegiatan ini mulai nampak sebagai kekuatan politik di pertengahan abad ke-16 ketika kerajaan Demak sebagai penguasa Islam pertama di Jawa berhasil menyerang ibu kota Majapahit (Garff, 1976:3). Sejak itu perkembangan Islam di Jawa telah dapat berperan secara politik, di mana para wali dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian Pajang dan Mataram dapat meluaskan pengembangan Islam tidak saja ke seluruh daerah-daerah penting di Jawa, tetapi juga di luar Jawa (Ambary, 1999:58).
Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon, diceritakan bahwa di Gunung Djati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara kota Cirebon Sekarang, telah tumbuh pesantren yang cukup ramai, yang dipimpin oleh Syekh Datuk Kahfi, letak pesantren itu tidak jauh dari Pasambangan. Ketika Tome Pires mengunjungi Cirebon pada tahun 1513, ia mengatakan bahwa Cirebon merupakan sebuah pelabuhan yang berpenduduk sekitar 1000 keluarga dan pengauasanya telah beragama Islam. Pires selanjutnya menyatakan, Islam telah hadir di Cirebon sekitar tahun 1470-1475 (Lihat Cortesao, 1944:184-185).

Dalam tardisi Cirebon disebutkan bahwa Walangsungsang atau Cakrabumi—kemudian bergelar Cakrabuwana—melakukan perjalanan ibadah haji ke Mekkah bersama adiknya, Rarasantang. Disebutkan bahwa Rarasantang dinikahi Sultan Mesir dan berputra Syarif Hidayatullah dan Syarif Arifin. Selanjutnya Syarif Hidayatullah menerima pemerintahan Cirebon dari Pamannya, Cakrabuwana pada sekitar tahun 1479 serta membuat pusat pemerintahan di Lemah wungkuk, ia kemudian tinggal di istana Pakungwati. Pakungwati inilah kelak menjadi tempat tinggal tetap para sultan Cirebon.
Dalam usia 20 tahun Syarif Hidayatullah telah mempunyai kualifikasi sebagai guru agama Islam karena ia telah berguru agama Islam di Mekkah dan Madinah. Dalam perjalanannya ke Cirebon ia singgah di Pasai dan tinggal bersama Maulana Iskak (Sulendraningrat, 1972:7; Siddique, 1977:64-65). Ketika tiba di pelabuhan Muara Djati (Cirebon) kemudian terus ke desa Sembung-Pasambangan, dekat Giri Amparan Djati, pada tahun 1475—ada pula naskah yang menyebut tahun 1470. Di sana ia mengajar agama Islam menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia. Perlahan-lahan ia menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai orang asing dari Arab. Ia kemudian digelari Syekh Maulana Djati atau Syekh Djati. Syekh Djati mengajar juga di dukuh Babadan. Kemudian ia pergi ke Banten untuk mengajar agama Islam di sana. Sepulangnya dari Banten ia dinobatkan oleh uaknya menjadi kepala nagari dan digelari Susuhunan Djati atau Sunan Djati atau Sunan Caruban. Sejak itulah Caruban Larang dari sebuah negeri mulai dikembangkan menjadi sebuh kesultanan dengan nama Kesultanan Cirebon.
Di Cirebon, aktivitas SGD yang tampil sebagai kepala negara sekaligus sebagai salah seorang Walisanga lebih memprioritaskan pada pengembangan agama Islam melalui dakwah, salah satunya adalah menyediakan sarana ibadat keagamaan dengan mempelopori pembangunan mesjid agung dan mesjid-mesjid jami diwilayah bawahan Cirebon. Metode dan cara dakwah SGD dapat dibaca dalam naskah-naskah tradisi Cirebon baik metode dakwah konvensional melalui ceramah keagamaan maupun metode dakwah yang—tidak dijamin kebenarannya dan aneh-aneh—diliputi oleh unsur-unsur legendaris dan a-historis.

Pada tahun 1480 dibangun Mesjid Agung yang dinamai Sang Cipta Rasa yang terletak di samping kiri keraton dan sebelah Barat alun-alun. Pembangunan mesjid ini dibantu oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Adapun pekerjaan fisiknya dilaksanakan oleh mantan arsitek Majapahit, Raden Sepat. Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon disebutkan bahwa pembangunan mesjid agung ini melibatkan seluruh para wali tanah Jawa dan selesai dalam waktu satu malam. Mesjid Sang Cipta Rasa menurut Zen (1999:170) bukanlah berada di samping keraton dan sebelah barat alun-alun, tetapi berada di sekitar kompleks pemakaman Sunan Gunung Djati di Desa Astana Gunung Djati, kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon. Nama mesjid ini nyaris tidak dikenal, sebab orang lebih mengenalnya sebagai Mesjid Sunan Gunung Djati
Untuk menjalankan roda pemerintahan dan aktivitas masyarakat dibangun sarana dan prasarana umum, seperti keraton, sarana transportasi melalui jalur laut, sungai, dan jalan darat, pembentukan pasukan keamanan (pasukan jaga baya) yang jumlah dan kualitasnya memadai baik untuk di pusat kerajaan maupun di wilayah-wilayah yang sudah dikuasainya.
Pada tahun 1438 SGD memperluas dan melengkapi keraton Dalem Agung Pakungwati, bekas kediaman Cakrabuwana, dengan membangun bangunan-bangunan pelengkap serta tembol keliling setinggi 2,5 meter dan tebalnya 80 cm. Pada areal tanah seluas kurang lebih 20 hektar. Beberapa waktu kemudian dibangun pula tembok keliling ibu kota dengan tinggi dua meter, meliputi areal seluas kurang lebih 50 hektar dengan beberapa pintu gerbang, salah satunya disebut Lawang Gada.
Pada waktu pembangunan tembok keliling ibu kota, dibangun pula jalan besar dari alun-alun keraton Pakungwati ke pelabuhan Muarajati dengan maksud agar para pedagang asing atau utusan-utusan dari kerajaan lain yang masuk ke pelabuhan Muarajati dapat dengan mudah menemui Susuhunan apabila mereka mau menghadap atau membicarakan sesuatu, di samping untuk keamanan dan arus barang dari pelabuhan.
Tranportasi jalur laut pun diupayakan untuk ditata sebaik mungkin. Di sebelah tenggara keraton, di tepi sungai Kriyan, dibangun pangkalan perahu kerajaan lengkap dengan gapura yang disebut lawang Sanga dan bengkel pembuatan perahu besar serta istal kuda kerajaan dan pos-pos penjagaan. Sementara di pelabuhan Muarajati, bangunan-bangunan untuk fasilitas pelayaran seperti mercusuar yang dahulu dibuat oleh Ki Ageng
Tapa dengan dibantu oleh orang-orang Cina, disempurnakan. Di pelabuhan ini dibangun pula bengkel untuk memperbaiki perahu berukuran besar yang mengalami kerusakan dengan memanfaatkan orang-orang Cina ahli pembuat Jung yang dahulu dibawa oleh armada Laksamana Cheng Ho. Bahkan di dekat Muarajati sudah banyak orang asing bertempat tinggal, baik dari Arab maupun Cina dan pasar rempah-rempah, beras, hewan potong, dan tekstil.
Untuk mendanai berbagai pembangunan sarana dan prasarana, SGD memberlakukan pajak yang jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak memberatkan rakyat yang baru terlepas dari kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran (lihat Soenarjo, 1996:31-32).
Dalam tahun-tahun peratama memulai tugas dakwahnya di Cirebon, SGD berperan sebagai guru agama menggantikan kedudukan Syekh Datuk Kahfi dengan mengambil tempat di gunung Sembung. Pasambangan yang agak jauh dari istana atau pusat negeri Cirebon. Setelah beberapa lama bergaul dengan masyarakat ia mendapat sebutan atau gelar Syekh Maulana Djati yang sehari-harinya disebut Syekh Djati. Selain di dukuh Sembung-Pasambangan, ia mengajar pula di dukuh Babadan, sekitar tiga kilometer dari dukuh sembung. Setelah beberapa lama tinggal di dukuh Sembung, ia memperluas medan dakwahnya hingga ke Banten.
Beberapa waktu lamanya SGD tinggal di Banten mengajarkan dan mengembangkan syi’ar Islam. Sepulangnya dari Banten pada 1479, Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi Tumenggung oleh Pangeran Cakrabuwana dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah yang disambut oleh para wali tanah Jawa dengan memberikan gelar Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda (lihat Sunardjo, 1983:55-57) ataung Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Djati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah (Selendraningrat, 1968:16). Panetep berarti yang menetapkan, panata artinya yang menata, gama singkatan dari agama, dan rasul yang berarti utusan (untuk menyebarkan agama) yang bertempat di tanah Sunda. Sulendraningrat (1972:20) menyebutkan Panetep Panatagama rasul Soerat Sunda yang berkuasa di seluruh jazirah Sunda yang bersemayam di negeri Caruban untuk menggantikan Syekh Nurul Djati yang telah wafat.
Apabila diperhatikan dari permulaan timbulnya nagari Caruban sekitar tahun 1445 yang diawali oleh sebuah pemukiman kecil yang disebut Kebon Pesisir yang dipimpin oleh Ki Danusela kemudian berkembang menjadi Desa Caruban Larang yang dipimpin oleh Pangeran Cakrabuwana yang akhirnya menjadi negeri Cirebon yang dipimpin oleh seorang tumenggung bergelar Susuhunan pada sekitar pada tahun 1479, perkembangan ini hanya berlangsung kurang lebih 34 tahun jaraknya sejak dipimpin oleh kuwu hingga tumenggung/susuhunan.
Melalui penobatan SGD sebagai panetep panatagama di tanah Sunda mengandung arti bahwa martabatnya telah sama dengan para wali lainnya. Melalui penobatan ini secara tidak langsung merupakan pengumuman dari Walisanga kepada para ulama dan muballigh sepulau Jawa, khususnya yang berada di Jawa Barat, untuk mengikuti segala petunjuk Syarif Hidayat dalam melaksanakan syi’ar Islam. Dengan demikian, di tanah Jawa terdapat dua kerajaan Islam, yaitu Pertama, adalah Kerajaan Demak yang telah terlebih dahulu berdiri, bersamaan dengan keruntuhan Majapahit sekitar tahun 1478. Raden Fatah adalah Sultan Demak yang pertama kali diberi gelar oleh para wali dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah Amiril Mukminin.. Kedua adalah kerajaan Cirebon yang dipimpin oleh Susuhunan Djati sebagai panetep panatagama Rasul, yang keduanya adalah pemimpin agama Islam sekaligus sebagai raja (Sunardjo, 1983:62). Salana (1995:1) menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Sukla Cetramasa 1404 Saka atau 12 Puasa 1404 Saka (1482 Masehi), Maulana Djati sebagai Tumenggung Cirebon menyatakan berdirinya Kesultanan Cirebon. Dalam pernyataannya, menurut Salana (1987:179) disebutkan bahwa Cirebon berdiri menjadi sebuah kerajaan yang merdeka dari kekuasaan kerajaan Pajajaran, dan akan menjadi kesatuan dari tanah Sunda dalam satu nama kesultanan Pakungwati di Cirebon. Pengiriman pajak terasi kepada kerajaan Pakuan Pajajaran yang biasanya diserahkan setiap tahun mlalui Adipati Palimanan, dihentikan. Sejak itu SGD mulai memperluas daerah kekuasaannya.
Sunan Gunung Djati adalah seorang propagandis Islam di Jawa Barat (the propagator of Islam in West Java) (Stevens, 1978:80), dalam aktiviatsnya ia melakukan perjalanan dakwah kepada penduduk Pulau Jawa bagian Barat untuk menganut agama Islam. Dimulai dari Cirebon dan sekitarnya, ia melaksanakan tugasnya sebagai panatagama. Namun dengan mengabaikan hal-hal tersebut, tugas SGD ini dilaksanakan dengan dasar-dasar dogmatis dan rasional yang menopang kegiatannya, antara lain keteguhan iman dan sikap takwa yang murni dan ikhlas dalam berjuang untuk menyebarkan agama Allah sehingga mengangkat derajat dirinya dan layak menyandang sebutan wali atau kekasih Allah. Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 62-63 dan surat al-Ankabut (29) ayat 69 menegaskan:
(62) Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedihhati.
(63) (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.

Surat
al-Ankabut (29) ayat 69: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Di luar alasan dogmatis, ada pula beberapa alasan rasional yang membawa keuntungan bagi posisi dan kedudukan para wali dalam bentangan kultural sehingga menjadi faktor penting bagi reputasi mereka. Umumnya para wali itu—termasuk SGD—adalah keturunan orang-orang terpandang dan bangsawan, serta mempunyai peluang ekonomi yang baik. Dengan keturunan yang baik, kedudukan yang tinggi sebagai tumenggung, dan topangan ekonomi yang kuat, serta kesalehan yang dimiliki, SGD melakukan tugas dakwah menyebarkan agama Islam ke berbagai lapisan masyarakat. Dukungan-dukungan ini memungkinkannya untuk melakukan mobilitas ke berbagai tempat dan memudahkan pula menarik warganya untuk menganut ajaran agama yang dibawanya. Dukungan personal di atas didukung pula oleh aspek dukungan organisasi kelompok dalam forum Walisanga yang secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat kepentingan dakwah sebagai siasat yang tepat untuk mempercepat tersebarnya ajaran Islam. Menurut Wiji Saksono (1995:104) mengutip al-Syaikh ‘Ali Mahfudz menyatakan bahwa menurut tuntunan Rasul, dakwah harus dibina di atas empat dasar pokok, yaitu al-huluj balaghah (alasan yang jitu), al-asalibul hakimah (susunan kata yang bijaksana dan penuh hikmah), al-adabus samiyah (sopan santun yang mulia), dan as-siyasatul hakimah (siasat yang bijak). Keempat prinsip dakwah ini pada dasarnya telah diterapkan oleh wali sanga, termasuk SGD.
Di samping, SGD diyakini mempunyai ilmu agama mulai dari ilmu fiqh, syari’ah, bahkan tasawuf–di mana SGD dipandang sebagai pengikut Tareket Kubrawiyah dari Syekh Jumadil Kubra atau tarekat Syatariyah-, dan mistik, di samping masalah-masalah kehidupan kemasyarakatan seperti kesehatan, keluarga dan rumah tangga, ekeonomi, politik dan kenegaraan, serta pendidikan, dan kebudayaan. Berkenaan dengan masalah kesehatan, SGD mempunyai peran dakwah yang khas dalam masalah ini. Pengobatan lahir harus iatasi dengan obat-obatan maddiyah (lahiriah) seperti daun-daun dan akar-akaran, serta kesehatan dan pengobatan batin yang semula diatasi dengan pengobatan spiritual, kejiwaan, firasat, jampi-jampi, dan mantra-mantra, oleh SGD diganti dengan do’a-doa (Islam) (lihat Wiji Saksosono, 1995:111). Kecendrungan SGD diyakini mempunyai metode dakwah melalui media pengobatan karena naskah-naskah lama dalam tradisi Cirebon seluruhnya memberikan informasi tentang seringnya SGD bertindak sebagai tabib (ahli pengobatan). Perlu dieliminir bahwa sebagai panatagama, dakwah SGD dalam kisah-kisah tradisi mengenai pengislaman masyarakat Sunda diwarnai oleh hal-hal yang aneh, legendaris, dan a-historis. Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon lebih menekankan pada dukungan kesaktian, azimat-azimat yang dimiliki, dan karamat wali.
Salah satu bukti keberhasilan dakwah SGD yang masih diajarkan oleh keturunannya melalui Sultan Kasepuhan dan kerabat keraton Cirebon adalah pengamalan petatah-petitih SGD, yakni ungkapan atau ucapan yang mengandung ajaran hidup berupa nasihat, pesan, anjuran, kritik, dan teguran yang disampaikan (atau diajarkan) dalam keluarga, kerabat, dan putra-putri SGD. Petatah-petitih SGD ini secara umum mengandung makna yang luas dan kompleks. Efendi (1994:14-34) mengungkapkan unsur-unsur dari petatah-petitih SGD, yakni petatah-petitih dalam nilai ketaqwaan dan keyakinan, kedisiplinan, kearifan dan kebijakan, kesopanan dan tatakrama, dan kehidupan sosial.
Petatah-Petitih yang berkaitan dengan ketaqwaan dan keyakinan adalah:
* Ingsun titipna tajug lan fakir miskin (aku—SGD—titip tajug dan fakir miskin.
* Yen sembahyang kungsi pucuke pnah (jika salat harus khusu dan tawadhu seperti anak panah yang menancap kuat).
* Yen puasa den kungsi tetaling gundewa (jika puasa harus kuat seperti tali gondewa).
* Ibadah kang tetap (ibadah itu harus terus menerus)
* Manah den syukur ing Allah (hati harus bersyuklur kepada Allah)
* Kudu ngahekaken pertobat (banyak-banyaklah bertobat).

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kedisiplinan
* Aja nyindra janji mubarang (jangan mengingkari janji)
* Pemboraban kang ora patut anulungi (yang salah tidak usah ditolong)
* Aja ngaji kejayaan kang ala rautah (jangan belajar untuk kepentingan yang tidak benara atau disalahgunakan)

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kearifan dan kebijakan adalah:
* Singkirna sifat kanden wanci (jauhi sifat yang tidak baik)
* Duwehna sifat kang wanti (miliki sifat yang baik)
* Amapesa ing bina batan (jangan serakah atau berangasan dalam hidup).
* Angadahna ing perpadu (jauhi pertengkaran).
* Aja ilok ngamad kang durung yakin (jangan suka mencela sesuatu yang belum terbukti     kebenarannya).
* Aja ilok gawe bobat (jangan suka berbohong).
* Kenana ing hajate wong (kabulkan keinginan orang).
* Aja dahar yen durung ngeli (jangan makan sebelum lapar)
* Aja nginum yen durung ngelok (jangan minum sebelum haus).
* Aja turu yen durung katekan arif (jangan tidur sebelum ngantuk).
* Yen kaya den luhur (jika kaya harus dermawan).
* Aja ilok ngijek rarohi ing wong (jangan suka menghina orang).
* Den bisa megeng ing nafsu (harus dapat menahan hawa nafsu).
* Angasana diri (harus mawas diri)
* Tepo saliro den adol (tampilkan perilaku yang baik).
* Ngoletena rejeki sing halal (carilah rejeki yang halal)
* Aja akeh kang den pamrih (jangan banyak mengharap pamrih).
* Den suka wenan lan suka memberih gelis lipur (jika bersedih jangan diperlihatkan agar
 cepat hilang).
* Gegunem sifat kang pinuji (miliki sifat terpuji)
* Aja ilok gawe lara ati ing wong (jangan suka menyakiti hati orang).
* Ake lara ati, namung saking duriat (jika sering disakiti orang hadapilah dengan kecintaan tidak dengan aniaya).
* Aja ngagungaken ing salira (jangan mengagungkan diri sendiri).
* Aja ujub ria suma takabur (jangan sombong dan takabur).
* Aja duwe ati ngunek (jangan dendam).

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kesopanan dan tatakrama:
* Den hormat ing wong tua (harus hormat kepada orang tua).
* Den hormat ing leluhur (harus hormat pada leluhur).
* Hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (hormat, sayangi, dan mulyakan pusaka).
* Den welas asih ing sapapada (hendaklah menyanyangi sesama manusia).
* Mulyakeun ing tetamu (hormati tamu).

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kehidupan sosial;
* Aja anglakoni lunga haji ing Makkah (jangan berangkat haji ke Mekkah, jika belum mampu secara ekonomis dan kesehatan).
* Aja munggah gunung gede utawa manjing ing kawah (jangan mendaki gunung tinggi atau menyelam ke dalam kawah, jika tidak mempunyai persiapan atau keterampilan).
* Aja ngimami atau khotbah ing masjid agung (jangan menjadi imam dan berkhotbah di Mesjid Agung, jika belum dewasa dan mempunyai ilmu keIslaman yang cukup).

* Aja dagangan atawa warungan (jangan berdagang, jika hanya dijadikan tempat bergerombol orang)
* Aja kunga layaran ing lautan (jangan berlayar ke lautan, jika tidak mempunyai persiapan yang matang).

 Petetah petitih SGD di atas secara umum mengandung makna yang luas dan kompleks, sehingga dapat berguna, tidak saja untuk anak dan keturunannya, melainkan juga bagi masyarakat luas. Pada dasarnya ada enam makna yang terkandung dalam petatah-petitih SGD, yaitu:
Nasihat tentang perbuatan yang baik dan bijak yang pada akhirnya keturunan sultan dan masyarakat luas diharapkan menjadi manusia yang arif dan bijaksana dalam berhubungan dengan sesamanya serta sabar dan tawakal beribadat kepada Allah Swt.
Pesan yang secara implisit memberikan arah dan petunjuk bagi banyak orang agar tetap konsisten dalam menjalankan ajaran Islam. Sedangkan secara eksplisit menegaskan ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan oleh anak dan keturunannya.
Baik secara halus maupun terus terang mengemukakan pendiriannya yang bertentangan dengan hati nurani, rakyat, anak, dan keturunanya. Hal ini mengandung makna teguran yang halus dan keras semata-mata ditujukan agar norma kehidupan tidak dilanggar.
Mengandung anjuran untuk mentaati aturan yang telah disepakati agar terus dijaga keabadiannya sampai generasi mendatang. Agar para pengikutnya mengikuti petatah-petitih untuk tegaknya nilai-nilai Islam. Mengandung sangsi berupa hukuman sosial dan moral bagi siapa saja yang melanggar petatah-petitihnya (lihat Effendi, 1994:8-9).

Peran Sosial-Budaya
SIMBOL-SIMBOL sosial—dan juga budaya—yang tampak pada masa pemerintahan SGD dapat dilihat dari berbagai aspek yang sebagian masih kentara pad amasa kini. Siddique (1977:79-82) memberikan gambaran mengenai simbol-simbol tersebut antara lain simbol kosmis dan simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam. Simbol kosmis (casmic symbol) diwujudkan dalam bentuk payung sutra berwarna kuning dengan kepada naga. Payung ini melambangkan sebagai semangat perlindungan dari raja kepada rakyatnya. Sementara simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam dibagi ke dalam empat tingkatan, syari’at, tarekat, hakekat, dan ma’rifat. Tahap pertama adalah syari’at yang disimbolkan dengan wayang. Wayang adalah perwujudan dari manusia, dan dalang adalah Allah. Tahap kedua adalah terekat yang disimbolkan dengan barong. Tahap ketiga adalah hakekat yang disimbolkan dengan topeng. Tahap keempat adalah ma’rifat yang disimbolkan dengan ronggeng. Wayang, barong, topeng, dan ronggeng adalah empat jenis dari pertunjukan kesenian masyarakat Jawa (Cirebon).
Simbol-simbol di atas seringkali muncul dalam berbagai acara selamatan-selamatan (sedekahan) yang menjadi tradisi di bulan-bulan tertentu dan perayaan-perayaan keIslaman yang berasal dari tradisi Walisongo—termasuk SGD. Mungkin sekali bahwa selamatan-selamatan (sedekahan) itu pada mulanya berasal dari shadaqah sunnah yang dianjurkan oleh para wali. Tujuannya, tidak lain untuk menyemarakkan syi’ar Islam sekaligus memperingati hari besar peristiwa-peristiwa penting dalam Islam.
Menurut Wiji Saksono (1995:151), shadaqah ini pada masa sekarang, karena telah jauh dari masa para wali itu, telah menyimpang menjadi sinkretisme yang sesat dan bid’ah. Masyarakat luas sudah tidak tahu menahu lagi konteks persoalan apalagi nilai filosofis yang semula dianjurkan dan dijelaskan oleh para Wali.
Sedekahan ini seperti halnya juga sekateen-an yang dimaksudkan untuk perayaan memperingati maulid Nabi Muhammad saw. yang biasa dilangsungkan di seluruh kerajaan Jawa. Menurut Sulendraningrat (1985:85) berasal dari kata sekati atau sukahati, nama gamelan alat dakwah yang pertama dibawa oleh Ratu Ayu, istri dari Pangeran sabrang Lor (Sultan Demak-II), setelah wafat suaminya, sebagai benda kenang-kenangan almarhum suaminya. Ada pula memberi pengertian bahwa gamelan sekati diartikan sebagai syahadatain (Syahadat dua), yakni dua kalimat syahadat. Konon ketika orang-orang ingin menonton gamelan, mereka diperkenankan asal mengucapkan dua kalimat syahadat.
Perayaan sekaten ini biasanya dipusatkan di alun-alun ibukota kerajaan Islam yang dapat dinikmati bersama khalayak ramai pada umumnya. Perayaan sekaten ini dimulai tujuh hari sebelum tiba peringatan hari Maulid Nabi Muhammad saw. Yang tepatnya jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Sekaten diakhiri dengan upacara gerebeg, yaitu upacara yang berpuncak pada sratun nabiy (pembacaan riwayat Nabi Muhammad saw.) dan sedekah sultan, yakni membagi-bagi makanan hadiah sultan di Mesjid Agung. Acara ini dihadiri oleh sultan dan pembesar-pembesar kerajaan. Sekaten ini satu-satunya upacara dan perayaan terbesar karena pergelarannya merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi Muhammad saw. Dalam saat-saat gerebeg inilah, adipati-adipati, raja-raja muda, bupati-bupati, dan pembesar-pembesar wilayah kerajaan diterima menghadap Sultan untuk menunjukkan sikap bakti dan hormat taatnya kepada Sultan sembari mengayu bagja pada hari mulia lagi meriah itu (Lihat Saksono, 1995:150-151).
Upacara peringatan maulid Nabi Muhammad saw. di keraton Cirebon menurut Sulendraningrat (1985:83-84) dimulai diadakan—dan dilaksanakan secara besar-besaran—ketika pengangkatan SGD sebagai wali kutub pada tahun 1470 M. Perayaan ini di kalangan masyarakat Cirebon dikenal dengan iring-iringan panjang jimat.
Aktivitas perayaan keagamaan (Islam) yang dilakukan oleh kerabat karaton menunjukkan bahwa SGD dan keturunannya dalam struktur sosial—dengan mengutip pendapat Geertz dalam taksonomi santri, abangan, dan priyayi—oleh Siddique (1977:91) dimasukkan ke dalam anak bangsa kaum santri sebagai legitimasi dari peran, fungsi, dan kedudukan esensial SGD sebagai panatagama.
Memang, selama abad ke-16, terjadi suatu transformasi luar biasa di bidang budaya di kota-kota pelabuhan di Jawa, yang ketika itu merupakan pusat-pusat kakayaan dan ide-ide yang menarik minat orang-orang Jawa yang berbakat. Masjid-masjid dan makam-makam suci dibangun dengan paduan batu-bata dan seni hias dengan pilar-pilar raksasa dari kayu meniru pedopo Jawa untuk keperluan ritual Islam (Reid, 1988:175). Demikian pula, Cirebon menjadi pusat penyebaran Islam di pulau Jawa bagian barat sekaligus menjadi pusat peradaban Islam yang memiliki beberapa karekter antara lain:
Pertumbuhan kehidupan kota bernafaskan Islam dengan pola-pola penyusunan masyarakat secara hirarki sosial yang kompleks. Berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan, misalnya mesjid agung Cirebon (sang Cipta Rasa), keraton-keraton (kasepuhan, kanoman, Kacerbonan, dan Kaprabonan), dan bangunan sitingil yang mengadapatasi rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra-Islam.
Pertumbuhan seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam yang sangat khas Cirebon yang antara lain memperlihatkan hadirnya anasir antropomorfis yang tidak lazim dalam seni rupa Islam.

Perkembangan bidang kesenian lainnya seperti tari, membatik, musik, dan berbagai seni pertunjukkan tradisional bernafaskan Islam, ragam hias awan khas Cirebon, dan lain-lain. Pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran keagamaan yang sisa-sisanya masih tersimpan di keraton-keraton Cirebon dan tempat-tempat lain di Jawa Barat—seperti Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang dan Museum Cigugur Kuningan—yang sampai sekarang belum seluruhnya dipelajari secara seksama.
Tumbuhnya tarekat aliran syatariyah yang kemudian melahirkan karya-karya sastra dalam bentuk serat suluk yang mengandung ajaran wujudiah atau martabat yang tujuh. Tradisi serat suluk ini kemudian amat berpengaruh pada tradisi sastra tulis serupa di Surakarta.
Tumbuhnya pendidikan Islam dalam bentuk pesantren di sekitar Cirebon, Indramayu, Karawang, Majalengka, dan Kuningan (Ambary, 1998:109-110).
Peradaban Islam yang disebarkan oleh SGD memberi kontribusi pada pembentukan cara pandang dunia yang menekankan aspek teosentrik, berkisar sekitar Tuhan, daripada konsep peradaban barat yang lebih menekankan pada aspek antroposentrik, berkisar pada manusia. Peradaban atau tamaddun Islam di Cirebon (dan Banten), seperti disebutkan dalam naskah-naskah tradisi Cirebon, telah mengubah dua desa nelayan yang semula tidak berarti menjadi dua kota metropolis dan sentral aktivitas keagamaan Islam, dengan pelopor utamanya adalah Sunan Gunung Djati. Wallahu a’lam.

Islam Menghormati Kaum Dhu’afa
Kaum lemah, miskin dan papa, golongan para ekonomi lemah atau para dhu’afa, hamper sepanjang sejarah menjadi tulang punggung suatu perubahan social. Islam tegak dan kokoh pada awal kiprahnya, mendapat dukungan utama kaum dhu’afa. Baik mereka yang lemah dalam posisi ekonomi maupun yang lemah dalam kedudukan politik. Hal inilah pula yang menyebabkan Heraclius, Kaisar Romawi, menyambut surat dakwah Nabi SAW dengan arif. Setelah ia mewawancarai Abu Sofyan, musuh Nabi dan salah satu dedengkot aristokrat Quraisy.
Abu Sofyan yang sengaja datang ke negri Rum untuk melakukan provokasi dan menghasut rakyat Romawi itu, oleh Heraclius malah diwawancarai untuk memberikan jawaban yang jujur tentang dakwah Islam. Dengan sederhana Heraclius bertanya tentang siapa-siapa yang menerima agama baru yang didakwahkan Nabi Muhammad. Dengan terus terang yang tadinya untuk melecehkan Abu Sofyan mengatakan bahwa gelombang pertama yang menerima dakwah itumayoritasnya adalah warga Negara rendah, yang lemah ekonomi dan strata sosialnya. Tetapi justru jawaban itu mengurungkan niat Heraclius untuk menyiapkan bala tentara guna menyerang gerakan baru itu. Dan beberapa budak yang terampas kemerdekaannya oleh penguasa Romawi itu, malah menerima dakwah Nabi SAW.
Konsep Keseimbangan Dan Saling Asih Dalam Islam
Islam mengakui keberadaan dua kelompok masyarakat dalam kehidupan social: kaum berada (aghniya’) dan kaum dhu’afa (fuqara’wal-masakin).
Kedudukan kedua kelompok ini, dalam mata hokum Islam sama, keduanya berhak memperoleh keadilan. Seorang hakim misalnya, dalam mengadili tidak boleh berat sebelah. Orang miskin yang tinggal di daerah kumuh dan rumahnya terbakar, kemudian masih diajukan ke pengadilan, karena dianggap oleh orang kaya atau penguasa telah melanggar hukum, dituduh menyerobot lahannya sendiri. Nah, disini seorang hakim harus bersikap adil dalam persidangan.
Seorang mukmin dituntut oleh Al-Qur’an untuk menegakkan hokum dengan adil.
“Dan janganlah karena engkau membenci sesuatu kaum, lantas kamu tidak berlaku adil.” (Q.s.Al-Maidah:8).
“Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu benar-benar menjadi orang yang menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, dua orang tuamu ataupun kerabat. Jika ia kaya atau miskin, maka (ingatlah) Allah lebih tahu tentang kemaslahatannya. Karena itu, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu agar kamu dapat memutuskan secara adil…” (Q.S.An-Nisa’:135).
Kemiskinan itu manusiawi dan orang-orang miskin itu ada untuk menjadi imbangan untuk orang kaya. Dan kemiskinan tidak dapat diberantas, kecuali memperkecil kuantitasnya. Tetapi memberantas orang miskin dalam syariat Islam bukanlah perilaku manusia beradab. Memperkecil kemiskinan dam mempersempit jurang pembedaan antara kaya dengan miskin, syari’at Islam memiliki konsep yang jitu. Yaitu dimotivasi kesadaran orang kaya agar membagi sebagian hartanya untuk si miskin, dengan tujuan utama untuk menumbuhkan solidaritas dan terciptanya keadilan social serta terhindarnya periaku serakah yang menumpuk harta dalam sikap monopolistis.
Firman Allah dengan lugas menyebutkn sebagai klosul:
“…supaya harta itu tidak beredar di dalam kelompok orang kaya saja di antara kamu.” (Q.S.Al-Hasyr:7)
Apabila orang-orang kaya itu hanya menjadi perampas kekayaan rakyat miskin atau mematikan usaha domestic yang bermodal lemah atau enggan membantu usaha koperasi yang besar manfaatnya bagi kalangan dhu’afa, Islam membolehkan pengambilan secara paksa kekayaan si “the have” itu.
“ambilah zakat dari sebagian harta mereka. Karena zakat itu membersihkan dan mensucikan mereka.” (Q.S.At-Taubah:3)
Pengertian dan kesadaran golongan mampu membantu saudaranya yang tidak mampu membantu saudaranya yang tidak mampu, seperti di sebutkan di atas, merupakan upaya mujarap untuk mengokohkan solidaritas  dan memperkuat persatuan suatu bangsa dalam rangka menciptakan keadilan social. Dan dengan keadilan soialah akan dapat dihilangkan perasaan kecemburuan social.     
   






Tidak ada komentar:

Posting Komentar