Jumat, 10 Juni 2011

Meretas Hubungan antara Agama dan Kebudayaan

Menjelaskan hubungan yang terjalin di antar agama dan kebudayan dapat dilakukan dengan mengenal secara utuh esensi, tujuan dan peran agama dan kebudayaan dalam masyarakat.

Meski sebagian orang mengingkari adanya hubungan antara agama dan kebudayaan namun sejatinya pandangan ini tidak memiliki dasar dan pijakan. Adapun perkara bahwa sebagian unsur dari kebudayaan lantaran tidak sejalan dengan tujuan-tujuan transedental agama samawi yaitu sampainya manusia kepada kesempurnaan, bertolak belakang dengan agama atas alasan ini tidak diterima oleh agama, merupakan perkara yang jelas. Akan tetapi banyak unsur kebudayaan yang sejalan dengan program dan agenda agama. Dan adalah suatu hal yang wajar apabila mendapatkan sokongan agama. Dari sisi yang lain, banyak hal dari kebudayaan yang disuguhkan dalam tataran nilai-nilai yang dimunculkan dari agama.


Agama secara leksikal memiliki makna yang beragam. Seperti pembalasan (baca: ganjaran), ketaatan, penilaian. Dari makna-makna beragam agama, mengikut bukti kamus-kamus dan tafsir ayat-ayat al-Qur'an terkait agama, galibnya agama bermakna ketaatan dan ganjaran, dan terkadang bermakna pinjaman, hitungan dan hukum.[1]
Agama bermakna ketaatan dapat dijumpai pada ayat misalnya "laa ikraha fi al-din" (tiada paksaaan dalam beragama) (Qs. Baqarah [2]:256) Agama bermakna pembalasan dapat disaksikan pada ayat "malik yaum al-din" (penguasa pada hari pembalasan." (Qs. Al-Fatiha [1]:4)

Secara teknikal agama menurut Raghib Isfahani diadopsi dari syariat.[2] Dan sesuai dengan ungkapan Fadhil Miqdad agama adalah thariqat dan syariat; artinya jalan dan aturan.[3] Kontrak-kontrak Ilahi ini menyeru kepada para pemeluknya untuk menjalankan aturan-aturan dan hukum-hukum yang telah disampaikan kepada Rasulullah Saw dan berada di sisinya. Demikianlah makna umum agama yaitu seluruh aturan Ilahi dan samawi yang disampaikan kepada masyarakat melalui para nabi.[4] Dengan kata lain, agama adalah sekumpulan akidah, akhlak dan hukum-hukum.[5]

Adapun makna khusus agama atau agama yang benar dan diterima (di sisi Allah) adalah Islam. "Inna al-Din 'indaLlah al-Islam." Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam." (Qs. Ali Imran [3]:19)

Kebudayaan merupakan salah satu pahaman yang paling menyeluruh dan universal dalam ilmu-ilmu Sosial dimana terdapat ragam definisi yang diberikan tentangnya.

Secara leksikal kebudayaan (culture) bermakna adab, ilmu, pengetahuan dan makrifat.[6]

Dalam terminologi ilmu-ilmu Sosial disebutkan bahwa kebudayaan artinya ilmu dan adab, tradisi dan kebiasaan, hal-hal yang diterima di setiap kaum dan bangsa, baik itu ilmu, kebiasaan, adab dan tradisi – yang diterima dan diamalkan oleh masing-masing anggota komunitas kaum tersebut. Dengan kata lain, kebudayaan adalah sekumpulan ilmu, pengetahuan, seni, pemikiran dan keyakinan, moral, aturan, adab dan kebiasaan.[7]

Terkait pembahasan utama kita di sini tentang apakah terjalin hubungan antara agama dan kebudayaan atau tidak? Apabila terjalin hubungan eksistensial di antara keduanya? Apakah agama dan kebudayaan itu merupakan hal yang satu? Atau agama merupakan bagian dari kebudayaan setiap kaum dan bangsa. Atau agama itu sendiri adalah pencetak kebudayaan, dengan memperhatikan pelbagai definisi yang dibeberkan terkait dengan kebudayaan, masalah ini merupakan masalah yang dibahas tak henti-hentinya dan terdapat perbedaan pendapat di dalamnya.

Sebagian orang berpandangan bahwa di antara redaksi agama dan kebudayaan tidak terjalin hubungan apa pun; karena kebudayaan merupakan warisan komunitas yang memiliki sisi kebangsaan yang diperoleh atas proses menuju kesempurnaan secara natural dan gradual masyarakat. Kondisi-kondisi natural dan demografis mempengaruhi adanya perbedaan dalam kebudayaan. Dengan kata lain, apa yang diciptakan masyarakat dalam pelbagai kondisi natural, geografis dan mungkin historis dan dipersembahkan kepada manusia adalah kebudayaan. Akan tetapi agama bukan warisan masyarakat atau komunitas dan agama-agama bukanlah produk yang dicipta oleh manusia. Mengikut para teolog agama merupakan pranata Ilahi. Dengan asumsi sedemikian dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan antara agama dan kebudayaan, akan tetapi sejalan satu dengan yang lain.[8]

Sebagian pemikir meyakini bahwa menolak hubungan antara pahaman agama dan kebudayaan merupakan suatu hal pelik dilakukan. Apabila dalam agama dibahas masalah akhlak dan akidah maka ruh kebudayaan juga demikian adanya. Jika adab dan kebiasaan merupakan bagian dari kebudayaan maka syariat agama juga bertutur-kata tentang adab dan kebiasaan.[9]

Akan tetapi kebudayaan tidak satu karena perbedaan pelbagai kondisi dan situasi geografis. Sebagian kebudayaan seperti tradisi mengubur hidup-hidup anak-anak putri pada zaman jahiliyah. Pelbagai bid'ah dan khurafat yang merebak di tengah masyarakat dan seiring dengan berlalunya waktu berubah menjadi sebuah kebudayaan bagi masyarakat tersebut. Jelas bahwa kebudayaan semacam ini tidak ada sama sekali sangkut pautnya dengan agama. Sebagian kebudayaan diterima oleh agama dengan menggunakan metode jarh dan ta'dil dan pada kebanyakan perkara agama menjadi peletak dasar berkembangnya sebuah kebudayaan.

Terkait dengan munculnya agama, sejarah agama-agama menunjukan bahwa agama muncul tatkala perangkat-perangkat agama sebelumnya telah mengalami kerusakan dan penyimpangan moral-sosial dalam sebuah masyarakat. Bagaimanapun, tatkala sebuah agama atau maktab (school of thought) muncul biasanya terjadi sebuah revolusi atau perubahan asasi pada nilai-nilai dan sistem yang dianut sebuah masyarakat yang menjadi penyebab goncangnya kebudayaan. Sebagian dari unsur-unsur kebudayaan lama rontok dan unsur-unsur baru yang selaras dengan nilai-nilai baru atau maktab baru diadopsi. Melalui jalan ini, agama atau maktab-maktab mengkonstruksi kebudayaan.


Meski tatkala setiap agama muncul, ia tidak serta merta muncul bersama kebudayaan. Namun setiap agama memunculkan nilai-nilai baru atau mengemukakan nilai-nilai baru. Nilai-nilai ini, pertama, berada dalam format kebudayaan yang menggusur kebudayaan lama yang tidak sejalan dengan nilai-nilai ini, misalnya kemunculan Islam yang menggusur kebudayaan mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan. Kedua, format-format yang kosong dari sisi kandungan dan bertentangan dengan nilai-nilai baru, namun dapat ditiupkan ruh kepadanya yang didasarkan pada nilai-nilai baru dan mengeluarkannya dari kerusakan serta menjadikannya sebagai media bagi kemunculan nilai-nilai ini.

Dalam Islam, haji dapat dijadikan contoh dari format-format ini. Haji pada masa sebelum kedatangan Islam modelnya berisikan kemusyrikan, namun Islam tidak mengeliminir bentuk-bentuknya dan tetap memelihara adab-adab dan kebiasaan haji model lama lalu memberikan kandungan tauhid di dalamnya. Karena itu, kebudayaan lama itu menjadi kuat dan bertahan dalam sistem kebudayaan baru. Atau misalnya lagi, hari raya tahun baru di Iran sebelum dan setelah Islam.

Pada hakikatnya, agama baru tidak serta merta memunculkan kebudayaan baru, tetapi mengemukakan nilai-nilai baru dan masyarakat berdasarkan nilai-nilai ini melahirkan kebudayaan baru. Setelah munculnya kebudayaan baru, berdasarkan agama baru kini agama termasuk bagian dari kebudayaan masyarakat tersebut.[10]

Hal yang patut diperhatikan di sini adalah bahwa masuknya satu agama pada pelbagai kaum dan bangsa menjadi penyebab munculnya pelbagai ragam kebudayaan berdasarkan nilai-nilai maka agama dan kebudayaan akan menjadi satu. Gambaran semacam bukanlah gambaran benar sehingga kita menyangka bahwa agama yang masuk pada daerah mana pun akan melahirkan kebudayaan yang satu. Tidak demikian. Yang benar bahwa agama menjadikan nilai-nilai yang satu itu sebagai ukuran dan kriteria di setiap masyarakat. Namun ragam kebudayaan akan bermunculan lantaran adanya kebudayaan-kebudayaan lama; karena pembentukan format-format kebudayaan ini bergantung sepenuhnya pada situasi geografis dan gaya hidup setiap kaum dan bangsa.[11][Islam Quest]


B. Hubungan Agama dan Budaya: Tinjauan Sosiokultural


1. Pengertian Agama   
 Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71)
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan  Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.
Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.
Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam.
Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut:
        “Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya” ( Sumardi, 1985:75)
Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.

2. Agama dan Budaya
    Budaya menurut Koentjaraningrat (1987:180) adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat  adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan (Wach, 1998:187).
Lebih tegas dikatakan Geertz (1992:13), bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.
    Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuatdengan yang tidak. Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India, Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga mempengaruhi agama. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya (Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama.

3. Agama dan budaya Indonesia           
Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak budaya itu  terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79)
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau  lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi  bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisankeempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitukasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam  dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau (Philipus Tule 1994:159).
Kenyataan adanya legacy tersebut membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia telah membuat manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia untuk menjadi manusia.

4. Agama-agama sebagai aset bangsa
Dari segi budaya, agama-agama di Indonesia adalah aset bangsa, sebab agama-agama itu telah memberikan sesuatu bagi kita sebagai warisan yang perlu dipelihara. Kalau pada waktu zaman lampau agama-agama bekerja sendiri-sendiri maka dalam zaman milenium ke 3 ini agama-agama perlu bersama-sama memelihara dan mengembangkan aset bangsa tersebut. Cita-cita ini barulah dapat diwujudkan apabila setiap golongan agama menghargai legacy tersebut Tetapi yang sering terjadi adalah sebaliknya sebab kita tidak sadar tentang nilai aset itu bagi bagi pengembangan budaya Indonesia. Karena ketidak sadaran itu maka kita melecehkan suatu golongan agama sebagai golongan yang tidak pernah berbuat apa-apa. Kalaupun besar nilainya, tapi karena hasil-hasil itu bukan dari golonganku, maka kita merasa tidak perlu mensyukurinya. Lebih buruk lagi, jika ada yang berpenderian apa yang diluar kita adalah jahat dan patut dicurigai. Persoalan kita, bagaimana kita dapat menghargai monumen-monumen budaya itu sebagai milik bangsa, untuk itu kita perlu:
1.      Mengembangkan religius literacy.
 Tujuannya agar dalam kehidupan pluralisme keagamaan perlu dikembangkan religious literacy, yaitu sikap terbuka  terhadap agama lain yaitu dengan jalan melek agama. Pengembangan religious literacy sama dengan pemberantasan buta huruf dalam pendidikan. Kitaakui bahwa selama ini penganut agama buta huruf terhadap agama diluar yang dianutnya. Jadi perlu diadakan upaya pemberantasan buta agama, Karena buta terhadap agama lain maka orang sering tertutup dan fanatik tanpa menh\ghiraukan bahwa ada yang baik dari agama lain. Kalau orang melek agama, maka orang dapat memahami ketulusan orang yang beragama dalam penyerahan diri kepada Allah dalam kesungguhan. Sikap melek agama ini membebaskan umat beragama dari sikap tingkah laku curiga antara satu dengan yang lain. Para pengkhotbah dapat berkhotbah dengan kesejukan dan keselarasan tanpa bertendensi menyerang dan menjelekkan agama lain. (Budi Purnomo, 2003).
2.      Mengembangkan legacy spiritual dari agama-agama.
 Telah kita ungkapkan sebelumnya tentang  legacy spiritual dari setiap agama di Indonesia. Legacy itu dapat menjadi wacana bersama menghadapi  krisis-krisis Indonesia yang multi dimensi ini. Masalah yang kita hadapi yang paling berat adalah masalah korupsi, supremasi hukum dan keadilan sosial. Berdasarkan legacy yang tersebut sebelumnya, bahwa setiap agama mempunyai modal dasar dalam menghadapi masal-masalah tersebut, tetapi belum pernah ada suatu wacana bersama-sama untuk melahirkan suatu pendapat bersama yang bersifat operasional.
   Agaknya setiap kelompok agama di Indonesia sudah waktunya bersama-sama membicarakan masalah-masalah bangsa dan penanggulangannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar