Jumat, 17 Juni 2011

Pengantar Hermeunitika

BAB I
APAKAH HERMENEUTIK ITU?
A.    DEFINISI
Hermeneutik meskipun merupakan topik lama, namun akhir-akhir ini telah muncul sebagai sesuatu yang baru,yang menarik dalam bidang filsafat. Hermeneutik seakan telah bangkit kembali dari masa lalu dan dianggap penting.
Secara etimologis, kata ‘hermeneutik’ berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’. Maka, kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘penafsiran’ atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas untuk menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari para dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu, fungsi hermes sangat penting sebab bila terjadi kesalah-pahaman tentang pesan-pesan dewa, akibatnya akan sangat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan tugas tertentu. Berhasil atau tidaknya misi tersebut sepenuhnya bergantung pada cara pesan tersebut disampaikan.
Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai ‘proses mengubah’ sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi ‘mengerti’. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern.
Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Aristoteles dal Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Dalam tulisanny tersebut, Aristoteles mengingatkan bahwa apa yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapakan tersebut. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain pula. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkan secara langsung itu adalah sama untuk semua orang, sebagaimana pula pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu.
Pada masa itu Aristoteles sudah menaruh minat terhadap interpretasi. Menurut Aristoteles,tidak satupun manusia yang mempunyai kesamaan baik dalam bahasa tulisan maupun bahasa lisan. Bahasa sebagai sarana komunikasi antar individu dapat juga tidak berarti, sejauh orang yang satu berbicara dengan yang lain, namun dengan bahasa yang berbeda. Bahkan peralihan arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain juga dapat menimbulkan banyak problem. Manusia juga mempunyai cara menulis yang berbeda-beda pula. Kesulitan tersebut akan muncul lebih banyak lagi, jika manusia saling mengkomunikasikan gagasan-gagasan mereka dalam bahasa tertulis.
Demikian juga jika setiap individu mempunyai pengalaman-pengalaman mental yang sama, ekspresi oral atas pengalaman mental ini tidak pernah sama. rasa sakit yang datang tiba-tiba memaksa kita untuk menjerit atau merintih, namun ekspresi kita bermacam-macam,seperti misalnya : “aduh”, “ach” dan lain sebagainya. Maka hal tersebut akan berlaku juga bagi ekspresi gagasan-gagasan dan perasaan kita.
B.     HERMENEUTIK DAN BAHASA
Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa.
a.       Kita berpikir melalui bahasa.
b.      Kita berbicara dan menulis dengan bahasa.
c.       Kita mengerti dan membuat interpretasi dengan bahasa;
d.      Bahkan seni yang dengan jelas tidak menggunakan bahasa pun, berkomunikasi dengan seni-seni lainnya juga dengan menggunkan bahasa. Semua bentuk seni yang ditampilkan secara visual (misalnya patung dll) juga diapresiasi dengan menggunakan bahasa. Contohnya; bagaimana kita mengungkapkan kenikmatan atau kebosanan kita saat mendengarkan musik klasik karya Mozart? Semua hal tersebut diungkapkan hanya melalui bahasa.
Tentu saja nuansa-nuansa bahasa tersebut bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru, namun untuk pertama kalinya bahasa menjadi pusat pembicaraan filosofi, ketika H.G.Gadamer menulis ; bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Dengan pernyataan tersebut Gadamer telah menyederhanakan status manusia di dunia ini sebagai bagian yang seakan tidak terbedakan dari dunia itu sendiri. Kita tidak mungkin berbuat apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Menurut Gadamer, bahasa tidak boleh kita pikirkan sebagai yang mengalami perubahan, namun bahasa harus dipahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam dirinya. Yang dimaksudkan Gadamer adalah bahwa kata-kata atau ungkapan secara aksidental tidak pernah memiliki kebakuan. Kata-kata ataupun ungkapan mempunyai tujuan (telos) tersendiri atau penuh dengan maksud (senada dengan yang dipaparkan oleh Wilhelm Dilthey). Setiap kata tidak pernah tidak bermakna. Meskipun kita juga tahu bahwa arti kata-kata itu bersifat konvensional (arti diambil berdasarkan kesepakatan bersama), atau perumusannya tidak mempunyai dasar logika, namun pada kenyataannya kata-kata tersebut tidak pernah dibentuk secara kasidental atau asal-asalan saja. Orang yang memakai bahasa sebagai bahasa ibu, pada hakikatnya menangkap arti atau makna kata-kata dengan baik dan tepat, sekalipun hal itu baru untuk pertama kalinya. Hal tersebutlah yang disebut dengan telos atau maksud dan tujuan dari bahasa tersebut. Tanpa kita sadari seringkali kita ‘menghirup’ nuansa-nuansa bahasa sehingga hal tersebut memungkinkan kita untuk memahami arti dari pada kata-kata tersebut, sekalipun kata-kata tersebut dikombinasikan secara tidak wajar (bahasa puisi, bahasa hukum dll).  Atas dasar tersebut Gadamer menyatakan bahwa ‘mengerti’ berarti mengerti melalui bahasa.
Hermeneutik adalah cara baru untuk ‘bergaul’ dengan bahasa. Bila ‘mengerti’ selalu dikaitkan dengan bahasa, maka bahasa juga membatasi dirinya sendiri. Sebuah buah pemikiran juga harus diungkapkan dengan bahasa yang sesuai dengan aturan tata bahasa yang berlaku. Kita harus dapat menyesuaikan diri terhadap kupasan-kupasan linguistik dan terpaksa pula mengadakan pembaharuan yang relatif sanagt kecil kemungkinannya.
Bahasa menjelmakan kebudayaan manusia. Henri Bergson menyatakan bahwa bila seseorang memahami bahasa suatu negara, maka dapat dipastikan ia tidak akan mungkin benci terhadap negara tersebut. Sebab, bila kita mampu memahami suatu bahasa, maka kita pun dapat memahami segala sesuatu mengenai bahasa tersebut. Bahasa adalah medium yang tak berbatas, yang membawa segala sesuatu di dalamnya. Tidak hanya kebudayaan yang telah disampaikan kepada kita melalui bahasa, melainkan juga segala sesuatu –tanpa ada pengecualian- sebab segala sesuatu telah termuat dalam lapangan pemahaman. Dengan kata lain, memahami bahasa memungkinkan kita untuk berpartisipasi pada pemakaian bahasa di masa yang akan datang. Bahasa adalah perantara yang nyata bagi hubungan antar umat manusia. Tradisi dan kebudayaan kita, termasuk warisan nenek moyang terdahulu dari suatu bangsa, semua hal tersebut terungkap didalam bahasa. Baik bahasa dalam bentuk yang terukit dalam batu prasasti ataupun bahasa yang tertulis dalam daun lontar.
C.     PENERAPAN HERMENEUTIK
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menghargai betapa pentingnya hermeneutik serta penerapannya yang cukup luas terhadap ilmu-ilmu kemanusiaan. Sejarah, hukum, agama, filsafat, seni, kesusastraan, maupun linguistik – atau semua yang termasuk ke dalam kategori Geisteswissenschaften atau ilmu-ilmu pengetahuan kemanusiaan atau ilmu pengetahuan tentang kehidupan (life science), seperti yang dipaparkan oleh Dilthey pun, memerlukan hermeneutik. Jika pengalaman manusia yang diungkapkannya dalam bentuk bahasa tanpak asing bagi pembaca lain (pembaca berikutnya), maka diperlukanlah penafsiran secara benar agar dapat dimengerti.
Disiplin ilmu yang pertama, yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapat inspirasi illahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda dan Upanisad, agar dapat dimengerti, maka memerlukan interpretasi atau hermeneutik. Teks sejarah yang ditulis dalam bahasa yang rumit, selama beberapa abad tidak diperdulikan keberadaannya oleh para pembaca, karena tidak dapat dipahami dalam kurun waktu yang lama untuk mendapatkan penafsiran yang benar dan tepat. Istilah-istilah yang digunakan mungkin ada kesamaannya, tetapi arti atau makna dalam istilah-istilah tersebut bisa berbeda-beda. Oleh karena itu, interpretasi yang benar atas teks sejarah memerlukan hermeneutik.
Contohnya interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukum mempunyai dua sisi yaitu sisi yang tersurat dan yang tersirat (bunyi hukum dan semangat hukum). Dua hal tersebut yang sering menjadi bahan perdebatan oleh para ahli hukum. Dalam hal ini bahasa menjadi penting, Subtilitas Intelligendi (ketepatan pemahaman) dan Subtilitas Explicandi (ketepatan penjabarannya) adalah sangat relevan bagi hukum. Hermeneutik mau-tidak mau dibutuhkan untuk menerangkan dokumen hukum. Dalam ruang lingkup kesusastraan, kebutuhan akan hermeneutik sangat ditekankan karena tanpa interpretasi atau penfsiran, pembaca mungkin tidak dapat mengerti atau bahkan tidak dapat menangkap jiwa ketika zaman di mana kesusastraan tersebut dibuat. Seperti halnya karya Shakespeare; yang selalu ditafsirkan berbeda dari masa ke masa.
Dalam bidang filsafat pentingnya hermenetik tidak dapat ditekankan secara berlebihan karena pada kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah “interpretasi”, ‘pembahasan’ seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa kebijaksanaan manusia. Jelaslah faktor dominan yang mengembalikan minat akan hermeneutik berasal dari filsafat. Meskipun demikian, seperti halnya dalam kesusastraan, dalam filsafat pun tidak terdapat aturan baku bentuk interpretasinya. Tentang Plato misalnya, orang memiliki interpretasi yang berbeda-beda dari masa ke masa. Aristoteles menyatakan Amicus Plato sed magis amica veritas (Plato adalah seorang sahabat, tetapi sahabat yang lebih akrab lagi adalah kebenaran. Pernyataan ini mengandaikan bahwa Plato belum mengajarkan kebenaran sebagaimana yang diinginkan oleh Aristoteles. Namun pada abad ke 20 ini, Alfred North Withehead menjunjung tinggi Plato, dengan pernyataannya “Seluruh filsafat barat tidak lain adalah sebua catatan kaki filsafat Plato”.
Melalui bahasa kita berkomunikasi, namun melalui bahasa pula kita bisa salah paham dan salah tafsir. Arti atau makna dapat kita peroleh tergantung dari banyak faktor, meliputi ;
~ siapa yang berbicara
~ keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu
~ tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.
D.    CARA KERJA HERMENEUTIK
Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek itu sendiri. Sebuah meja ‘di sini’ atau bintang yang berada di angkasa berada begitu saja. Benda-benda tersebut tidak bermakna pada dirinya sendiri. Hanya subjeklah yang kemudian memberi ‘pakaian’ arti pada objek. Subjek dan Objek adalah term-term yang korelatif atau saling berhubungan satu sama lain atau disebut dengan hubungan timbal balik. Tanpa subjek, tidak akan ada objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatian terhadapa benda tersebut. Arti atau makna yang diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak demikian, maka objek menjadi tidak bermakna sama sekali.
Husserl menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada awal mulanya objek itu adalah netral. Meskipun arti atau makna muncul sesudah objek atau subjek menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semua pada dasarnya sama saja. Dari sinilah kita dapat melihat keunggulan hermeneutik
Semua interpretasi mencakup pemahaman, namun pemahaman tersebut sangat kompleks di dalam diri manusia sehingga para pemikir ulung maupun psikolog tidak pernah mampu untuk menetapkan sebenarnya sesorang benar-benar mengerti. Untuk dapat membuat interpretasi, orang terlebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan ‘lebih dahulu mengerti’ ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab menurut kenyataannya, bila seseorang telah mengerti, maka ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan atau sebaliknya. Ada sifat ‘keserta-mertaan’ antara mengerti dan interpretasi. Kedua hal tersebut bukan merupakan dua momen dalam satu proses, melainkan mengerti dan interpretasi yang menimbulkan ‘Lingkaran Hermeneutik’.
Emilio Betti menyatakan bahwa tugas orang yang melakukan interpretasi adalah menjernihkan persoalan mengerti, yaitu dengan cara menyelidiki setiap detail proses interpretasi. Ia juga harus merumuskan sebuah metodelogi yang akan dipergunakan untuk mengukur seberapa jauh kemungkinan masuknya pengaruh subjektivitas terhadap interpretasi objektif yang diharapkan. Betti mencoba memahamu ‘me-ngerti’ juga menurut gayanya sendiri. Ia memandang interpretasi sebagai sarana untuk mengerti.
Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat ‘triadik’ (mempunyai tiga segi yang saling berhubungan). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan suatu teks, lalu ia harus meresapi isi teks sehingga, ysng pada mulanya ‘yang lain’ kini menjadi ‘aku’ yakni penafsir itu sendiri. Subjek meresapi dirinya terhadap objek. Oleh karena itulah, dapat dipahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar (correct).
Hukum Betti (tentang interpretasi) yang terkenal yaitu sensus non est infernedus sed efferendus (makna bukanlah diambil dari kesimpulan melainkan harus diturunkan) bersifat instruktif. Jadi seorang penafsir tidak boleh bersikap pasif, penafsir harus merekonstruksi makna. Sedangkan alat penafsir untuk merekonstruksi makna tersebut ialah
~cakrawala intelektual penfsir
~pengalaman masa lalu
~kehidupan saat ini
~latar belakang kebudayaan
~sejarah yang dimiliki oleh penafsir.
Bila kita jabarkan lebih lanjut argumentasi tentang hermeneutik ke ruang lingkup yang lebih luas, maka akan didapatkan bahwa setiap objek tampil dalam konteks ruang dan waktu yang sama, atau sebagaimana yang disebut oleh Karl Jaspers dengan istilah Umgreifende atau cakrawala  ruang dan waktu. Pada kenyataannya tidak ada objek yang berada dalam keadaan terisolir, setiap objek berada dalam ruang. Selalu ada kerangka referensi, dimensi, sesuatu batas, nyata atau semu, yang semuanya memberi ciri khusus pada objek.
Kita harus kembali kepada pengalaman orisinal dari para penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan ‘kunci’ makna kata-kata atau ungkapan yang ada. Kita dapat mengungkapkan diri kita sendiri dalam bahasa sehari-hari. Tetapi sering kali kita juga dapat meragukan sendiri, apakah pengalaman-pengalaman mental atau pikiran yang ada di balik bahasa benar-benar sudah terungkap dengan benar. Teks atau naskah kitab suci  atau dokumen-dokumen lain yang ditulis berdasarkan ilham ilahi, sejarh, hukum, ataupun kesusastraan yang seakan-akan dalam keadaan ‘di atas’ juga menggunakan bahasa sehari-hari. Akan tetapi, semua hal tersebut akan dapat kita mengerti dengan cara ditafsirkan. Kita dapat menafsirkan isi sesuatu teks dengan menggunakan bahasa yang kita pakai sendiri. Bahkan selalu ada sejumlah penafsiran atau interpretasi yang didasarkan atas berbagai segi ruang dan waktu. Tetapi penfsiran-penafsiran tersebut telah dimodifikasi menurut aliran waktu.
Meskipun hermeneutik atau interpretasi termuat dalam kesusastraan dan linguistik, hukum, sejarah, agama, dan disiplin ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan teks, namun akarnya adalah tetap filsafat.
Paul Ricoeur dan Jacques Derrida menulis hermeneutik dalam kesusastraan, padahal keduanya adalah seorang filsuf.  Martin Heidegger dan Hans-George Gadamer berkecimpung dalam dunia metafisika dan seni, namun mereka juga diaku sebagai seorang filsuf. Friedrich Schleiermacher adalah seorang penfsir hukum, dan Wilhelm Dilthey adalah hermeneut bidang sejarah, namun keduanya juga pelopor hermeneutik filosofis.
BAB III
HERMENEUTIKA ROMANTIK
Beberapa tema utama yang masih mencirikan hermeneutika dapat ditemukan dalam karya perintisnya yakni Schleiermacher.
A.    SCHLEIERMACHER
B.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar