BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat adalah ‘induk’ ilmu pengetahuan. Istilah filsafat telah dikenal manusia sejak 2700 tahun yang lalu. Pada masa Yunani kuno, di Militos, Asia Kecil, tempat perantauan orang Yunani, di sanalah awal mula munculnya filsafat. Mula-mula jejak sejarah awal filsafat ditandai oleh munculnya tokoh-tokoh pemikir besar pada zamannya, seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Dari ke tiga filsof besar ini Thaleslah orang pertama yang mempersoalkan substansi terdalam dari segala sesuatu. Dan dari situlah munculnya pengertian-pengertian kebenaran yang hakiki.
Pencarian kebenaran tentu akan selalu ada mata rantai filsafat yang pada tataran praksisnya menjadi abadi, yaitu bentuk falsifikasi pada tesis, anti tesis, aksi, reaksi, konstruksi dan dekonstruksi. Kebenaran dengan demikian akan selalu menjadi kebenaran sementara sebab pada kondisi tertentu akan terfalsifikasi dalam bentuk yang beragam rupa sesuai dengan parameter dan indikator yang mengiringinya, baik yang bersifat aksidensial, lokalitas, kontekstualitas, maupun karena sudah lemahnya esensi kebenaran tersebut yang mencengkram suatu zaman. Sedangkan falsifikasi lahir biasanya disebabkan karena sebuah kebenaran telah memunculkan berbagai pesoalan kehidupan yang kemudian terbongkar dan menyesatkan sehingga membutuhkan kebenaran yang baru lagi.
Berpijak dari asumsi tersebut, maka para filsuf yang datang belakangan asyik dalam perburuan yang tiada bertepi “ kenalilah dirimu sendiri” pertanyaan besar yang diajukan oleh Socrates ini menjadi padang perburuan baru pemikiran kefilsafatan. Perburuan ini kemudian diteruskan oleh muridnya Plato dan Aristoteles, dan akhirnya berkembang hingga cabang-cabangnya yang terkecil, sejak filsafat muncul masa Yunani kuno, abad pertengahan, hingga abad modern.
Dari orientasi pemikiran terhadap diri manusia inilah, munculnya orientasi pemikiran terhadap segala alam yang ada, untuk diabdikan bagi pemenuhan kebutuhan manusia, munculnya ilmu pengetahuan yang khusus, beserta implementasinya yang berwujud teknologi peletak dasarnya adalah para filsuf. Dewasa ini, tugas filsafat belum selesai, karena masih banyak misteri yang membutuhkan arahan tepat bagi kehidupan manusia modern. Untuk itu, filsafat dan ilmu pengetahuan meskipun terlihat suatu pasangan yang kelihatan kurang seimbang. Filsafat merumuskan pertanyaan, ilmu pengetahuan memberikan jawaban, ilmu pengetahuan berkembang pesat, filsafat kelihatannya tidak pernah maju. Di lain pihak, sejarah suatu ilmu tertentu kurang penting bagi kita sekarang, karena jawaban-jawaban terdahulu sering kali sudah dikoreksi, sedangkan pertanyaan-pertanyaan dari sejarah filsafat masih tetap aktual bagi manusia masa kini. Sejarah filsafat mirip suatu meuseum yang memuat koleksi raksasa dari pendapat-pendapat filsuf besar di dunia yang kian hari kian bertambah. Dengan demikian meuseum besar akan semakin berwana apabila seluruh ilmu cabang yang lahir dari filsafat terus berkembang. Astronomi (ilmu tentang bintang-bintang dan tata surya) dan fisika (ilmu alam) merupakan ilmu cabang pertama yang memisahkan diri dari filsafat, kemudian diikuti oleh ilmu biologi, geologi dan kimia. Pada abad ke 19 salah satu cabang ilmu baru muncul yaitu sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi dalam proses pertumbuhannya dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu kemasyarakatan lainnya seperti ekonomi, sejarah, ilmu jiwa, dan sebagainya.
Pembagian ilmu-ilmu sosial kemudian mengkristal pada paroh pertengahan abad ke 19, namun baru periode 1850-1914 diversifikasi intelektual muncul dalam struktur disiplin ilmu-ilmu sosial secara resmi diakui oleh berbagai universitas utama di Eropa. Beberapa ilmuan yang menulis buku-buku sosial seperti Niccolo Machiavelli, Jean Bodin, William Petty dan Hugo Grotius. Pada paroh abad ke 19 muncul nama Thomas Malthus, David Ricardo, Francois Guizot, Alexis de Tocqueville, Johann Herder dan Johan Fichte. Penciptaan beragam disiplin ilmu sosial merupakan bagian dari upaya umum abad 19 untuk melindungi dan memajukan ilmu pengetahuan ‘objektif’ tentang realitas atas dasar penemuan empiris. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap masyarakat lambat laun mendapat bentuk sebagai suatu ilmu pengetahuan. Beberapa faktor yang menjadi pendorong utama adalah meningkatnya perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai ilmu yang bersentuhan dengan realitas sosial kemsyarakatan, maka sosiologi dalam kondisi tertentu membutuhkan pendekatan filsafat sosial agar analisis sosiologisnya lebih kritis dalam melihat perubahan masyakat.
Konstruksi Filsafat Sosial dan Ilmu-Ilmu Sosial
Filsafat sosial merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari persoalan sosial kemasyarakatan secara kritis, radikal dan komprehensif. Sejak Plato, dan Aristoteles kajian terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan sudah menjadi objek penelitian tersendiri. Menurut Plato dan Aristoteles, susunan masyarakat mencerminkan susunan kosmos yang abadi, manusia berkewajiban untuk menyesuaikan diri dengan susunan itu dan mentaati demi keselamatannya, kalau tidak, ia menghancurkan dirinya. Pada abad pertengahan masyarakat Eropa masih memperlihatkan pada pola dasar yang sama, hanya sekedar mengoreksi terhadap paham Plato dan Aristoteles. Paham tentang otonomi kosmos diganti dengan paham heteronominya, yaitu kepercayaan bahwa kosmos tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung pada kemaha kuasaan Allah, ketertiban kosmos adalah suatu ketertiban yang telah diciptakan.
Pemahaman masyarakat Eropa sedikit demi sedikit berubah sejak masa renaissance. Manusia pada saat itu sekuat tenaga berusaha mencari alternatif baru, agar dapat keluar dari kungkungan absolutisme Gereja, dan sejak itulah peranan manusia menjadi besar, manusia menyadari hanya merekalah yang dapat mengatur diri mereka sendiri. Locke, Berkeley, Hume, Montesquieu, Voltaire, Diderot, d’Alembert, dan Rousseau menyuarakan paham baru untuk menentang kepercayaan lama, bahwa segala-galanya di bawah kolong langit telah langsung diatur oleh kekuasaan Tuhan untuk selama-lamanya.
Lahirnya revolusi Prancis tahun 1789 M yang kemudian diikuti oleh revolusi baru tahun 1830 dan 1848, telah meruntuhkan susunan masyarakat feodal dan mengawali proses demokratisasi, dialami oleh banyak orang sebagai sebuah kejutan. Tak pernah sebelumnya orang membayangkan bahwa suatu orde sosial yang disangka tak terubahkan dan selamanya terbekati oleh kehendak Allah, telah dirombak dan diganti oleh pikiran usaha manusia sendiri. Gagasan-gagasan barupun tumbuh pada keyakinan bahwa manusia ‘bebas’ untuk mengatur dunianya. Dengan demikian struktur sosial berabad-abad tidak dipermasahkan, tiba-tiba menjadi masalah. Di sinilah sosiologi lahir sebagai ilmu pengetahuan.
Abad 19 ditandai oleh optimisme besar terhadap datangnya zaman baru yang lebih baik, para sarjana ilmu alam berkeyakinan lahirnya industrialisasi yang dapat menciptakan kemakmuran manusia. Ilmuan sosial juga mempunyai pandangan yang sama bahwa mereka akan mampu menemukan hukum-hukum sosial yang dapat diterapkan dalam masyarakat. Optimisme yang besar tersebut ternyata tidak serta merta terealisasi karena pada abad 19 revolusi Prancis terjadi, dan kekhawatiran-kekhawatiranpun telah menyelimuti masyarakat. Dalam situasi yang ambivalen ini, sosiologi mulai berkembang yaitu dengan tampilnya dua aliran yang sifatnya saling bertentangan. Pertama, aliran konservatif, yang menginginkan kembali ke masa feodal, yaitu zaman hegemoni agama, di mana agama merupakan kekuatan yang mengintegrasikan masyarakat. Kedua, aliran progresif, aliran ini juga menyesal atas perpecahan dan anarki, tetapi tidak bersedia kembali ke zaman feodal. Beberapa tokoh progresif seperti, Saint Somon, Charle Fourrier, Pierre Joseph Proudhon dan Auguste Comte meramalkan bahwa abad 19 merupakan abad ‘industri’ dan terbentunya orde sosial baru. Pada abad ini agama bukan lagi kekuatan yang melembaga semua bidang masyarakat, melainkan kecerdasan manusia. Masyarakat baru akan dibangun atas dasar suatu perencanaan rasional yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Tampilnya Auguste Comte dengan bukunya ‘Sistem Filsafat Positif’ telah memberikan warna tersendiri terhadap kajian kemasyarakatan secara kritis, sistematis dan intensif secara modern pada abad ke 19. Sejak kemunculannya hingga saat ini sosiologi masih dibayang-bayangi oleh pengaruh filsafat dan psikologi, hal semacam itu wajar karena kelahiran sosiologi ditengah persaingan pengaruh antara filsafat dan psikologi. Harus diakui kajian terhadap persoalan kemasyarakatan bukan sesuatu yang baru, karena menunggu adanya ilmu-ilmu lain yang kemudian menyatu ke dalam suatu keseluruhan yang integral sebagai ilmu tersendiri Maka ilmu sosial terus berkembang merambah ke seluruh Eropa, dan filsuf-filsuf sosial dan mazhab sosial terus bermunculan di mana-mana, salah satu yang paling terkenal adalah mazhab Frankfurt. Mazhab ini menunjukkan pada sekelompok sarjana yang bekerja pada lembaga untuk penelitian sosial di Frankfurt. Lembaga ini didirikan oleh Felix Weil pada tahun 1923, dan mengalami puncak keemasan ketika Max Horkheimer menjadi direktur pada tahun 1930 M. Horkheimer merupakan tokoh kiri yang mengkritik teori tradisional untuk menganalisis fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat dalam masyarakat. Teori kritis akan melawan semua bentuk teori yang mau bersikap objektif dengan mengambil jarak terhadap situasi historis. Teori kritis menjadi visi dan misi dari madhab Frankfurt dalam melakukan aksi pemikiran para tokoh-tokohnya.
Selain Horkheimer, Harbert Marcuse dalam mengembangkan ide-ide pokoknya melakukan rekonstruksi rasionalitas dengan melahirkan bermacam-macam rasio dalam tataran praksisnya, yaitu rasio instrumental, rasio yuridis, rasio kognitif dan rasio ilmiah. Sedangkan Habermas sebagai tokoh paling kritis dalam melihat fenomena sosial masyarakat berusaha merekonstruksi nalar masyarakat sehingga akan terbentuk ruang yang steril dari dominasi yang akan membawa sikap pada emansipatoris. Untuk mewujudkan ambisinya tersebut, Habermas mengkritisi mecetnya teori kritis dengan mendasarkan teorinya pada epistemologi praksis dari rasionalitas ilmu. Tujuannya adalah agar terbentuknya masyarakat komunikatif yang terbebas dari dominasi berbagai kekuatan melalui berbagai argumentasi untuk mencapai sebuah klaim kesahihan yang rasional tanpa paksaan.
Lembaga penelitian sosial Frankfurt kemudian semakin kuat karena didukung oleh sarjana-sarjana dari berbagai bidang keahlian, supaya persoalan-persoalan yang menyangkut masyarakat dapat dipelajari dari berbagai segi ilmiah, seperti Horkheimer ahli dalam Filsafat Sosial, Friedrich Pollock (Ekonomi), Leo Lowenthal (Sosiologi, kesusasteraan), Walter Benjamin (Kesusasteraan), Theodor W. Adorno (Musikologi, Filsafat, Psikologi, Sosiologi), Erich Fromn (Psikoanalisa), Harbert Marcuse (Filsafat), Edmund Husserl (Filsafat), dan Jurgen Habermas (Filsafat). Mazhab Frankfurt dalam prakteknya menggunakan filsafat sosial dalam membangun ‘teori kritis’. Teori kritis yang dibangun dalam mazhab Frankfurt paling besar dipengaruhi oleh Marx dan Hegel. Melalui kedua pemikir besar tersebut teori-teori sosial mengalami perkembangan. Seperti teori Marx dalam melihat hubungan-hubungan produksi dan bentuk-bentuk pengorganisasian sosial serta ketergantungan produsen dengan bukan produsen. Sementara Hegel memandang kehidupan sosial sebagai suatu kesatuan yang terorganisir, berkembang menuju arah yang pasti. Konstruksi teori sosial dari tokoh-tokoh mazhab Frankfurt tersebut telah menyebabkan penyebaran ilmu sosial kemudian terus meluas keseluruh dunia. Pada tahun 70-an di Amerika pengkajian terhadap ilmu-ilmu sosial berkembang secara pesat, alasannya sederhana, sosiologi tidak ingin kalah dengan ilmu alam dan ekonomi yang lebih dahulu menggunakan model berpikir matematisasi. Sosiologi tidak ingin ketinggalan dalam atmosfer perkembangan akademik yang pragmatis di Amerika, maka dengan segala cara dan keahlian berupaya mengikuti jejak disiplin ekonomi, yaitu menjadi bagian dari ilmu-ilmu keras, agar memperoleh legetimasi dan layak dianggap sebagai ‘ilmu.
George Ritzer, sebagai sosiolog Amerika kontemporer berupaya melakukan rekonstruksi pengilmiahan tersebut dengan mengacu pada apa yang pernah dilakukan oleh Weber. Bagi Ritzer, membawa ilmu dan humaniora dalam satu atap ala Weber adalah dengan melakukan rekonstruksi sosiologi humanis menuju praxis. Perdebatan tentang pengilmiahan sosiologi di Amerika dipicu oleh banyak sosiolog, salah satunya adalah Robert Nisbet, yang menyindir bahwa sosiologi bukan ilmu tetapi masuk ke dalam ruang lingkup seni. Di sisi lain bahwa mempelajari perilaku manyarakat tidak perlu dengan teori tetapi cukup dengan common sense, dalam hal ini harus dipandang dalam dua hal. Pertama, pandangan itu turun dari cara pemahaman yang berbasis pada sosiologi pengetahuan yang berfokus pada pengetahuan sehari-hari orang awam. Kedua, pernyataan tersebut lebih merupakan sinisme kaum positivis yang menganggap bahwa hanya fenomena alam yang bisa dijelaskan lewat postulat, paradigma, teori, konsep, perspektif dan lain-lain. Sementara fenomena sosial cukup dengan nalar awam, dalam batas tertentu fenomena sosial bisa dijelaskan dengan rigorous theory, tetapi pada sisi lain teori tersebut gagal dan yang diperlukan cara interpretatif untuk memperoleh kedalaman, bahkan tidak tertutup kemungkinan penjelasan yang agak spekulatif juga diperlukan dalam rangka memperoleh alternatif penjelasan. Dalam hal ini spekulasi memungkinkan orang berpikir kreatif, bahkan kaum post strukturalis kadang bersifat ‘sewenang-wenang’ dengan metode semiotiknya dalam menjelaskan fenomena sosial.
Filsafat Sosial di Tengah Komplektisitas Perubahan Sosial
Perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi dalam jangka waktu tertentu. Konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga hal, pertama, perbedaan, kedua, pada waktu berbeda, ketiga, di antara keadaan sistem sosial yang sama. Dengan demikian perubahan sosial adalah setiap perubahan yang tak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan. Terhadap perubahan sosial, sosiolog sejak beberapa dekade terakhir telah memberikan perhatian khusus dalam melihat perubahan sosial, setidaknya mereka melihat dalam perkembagan sosial yang melukiskan proses perkembagan potensi yang terkandung di dalam sistem sosial. Bentuk proses sosial lain yang ditekankan para sosiolog adalah peredaran sosial, proses sosial ini tidak lagi menuju arah tertentu tetapi juga tidak serampangan karena ditandai oleh pola edaran, yaitu keadaan sistem pada waktu tertentu kemungkinan besar muncul kembali pada waktu mendatang dan merupakan replika dari apa yang telah terjadi pada masa lalu. Kemudian terjadi perulangan yang disebabkan oleh kecendrungan permanen di dalam sistem karena sifatnya berkembang dengan cara bergerak. Dengan demikian masyarakat tidak boleh dibayangkan sebagai keadaan yang tetap, tetapi sebagai proses, bukan sebagai objek semu yang kaku, tetapi sebagai aliran peristiwa terus menerus tanpa henti. Gerakan sosial secara historis adalah fenomena universal dan bagian sentral modernitas, gerak sosial berkaitan erat dengan perubahan struktural. Ada enam tipe gerakan sosial terlihat dalam masyarakat. Pertama, gerakan sosial yang berbeda menurut bidang perubahan yang diinginkan, ada yang terbatas tujuannya, karena hanya untuk mengubah aspek tertentu masyarakat, tanpa menyentuh inti struktur institusinya. Gerakan ini merupakan gerakan perubahan dari dalam, bukan merubah masyarakat secara keseluruhan. Kedua, gerakan yang berbeda dalam kualitas perubahan yang diinginkan, sebab ada gerakan yang menekankan pada inovasi, berjuang memperkenalkan institusi baru, hukum baru, bentuk kehidupan baru, dan keyakinan baru. Gerakan semacam ini ingin membentuk masyarakat ke dalam satu pola yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Orientasi gerakan ini adalah ke masa depan dengan menekankan pada sesuatu yang baru. Ketiga, gerakan yang berbeda dalam target perubahan yang diinginkan, ada yang memusatkan perhatian pada perubahan struktur sosial dan ada yang memusatkan perubahan individual. Keempat, gerakan sosial yang berbeda mengenai arah yang diinginkan.
Kebanyakan gerakan mempunyai arah positif. Gerakan seperti itu biasanya mencoba memperkenalkan perubahan tertentu, dan mempertahankan ketika gerakan dimobilisasi ke arah yang negatif. Kelima, gerakan sosial yang berbeda dalam strategi yang melandasi logika tindakan. Ada yang mengikuti logika instrumental, gerakan ini umumnya berambisi pada kekuasaan. Dan ada logika pernyataan persamaan yang berjuang menegaskan identitas, seperti berjuan untuk mendapatkan pengakuan nilai-nilai, emansipasi, otonomi, dan lain sebagainya. Keenam, perbedaan tipa gerakan sosial yang ditemukan dalam epos sejarah berlainan, seperti sejarah sosial pra modern dan sejarah sosial modern. Gerakan sosial seperti di atas, bila dilihat dari perspektif paradigma yang dibangun oleh Kuhn, bahwa suatu paradigma gerak tertentu dibangun oleh suatu pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan pengetahuan. Kuhn menegaskan bahwa bidang pengetahuan disebut ilmiah bila memiliki paradigma tunggal, maka sosiologi yang sedang dalam taraf perkembangan multi perspektif dianggap sebagai pre science. Dengan demikian cara memahami fenomena sosial berbeda dengan cara memahami fenomena alam. Fenomena sosial memiliki banyak aspek sehingga satu perspektif saja tidak cukup, tetapi dibutuhkan multi perspektif sesuai dengan karakter fenomena sosial yang multi dimensional. Model tunggal paradigma Kuhn tidak cocok untuk sosiologi.
Ritzer merupakan orang yang mengakomodasi beberapa hal dari Kuhn, terutama model paradigma dan sekaligus mengambil ide Friedrich tentang dual paradigma. Bagi Ritzer, sosiologi sebagai body of scince tidak harus terjebak dalam penerapan model tunggal paradigma secara kaku, namun sosiologi memiliki paradigma jamak. Ada tiga paradigma yang beroperasi dalam sosiologi, pertama, paradigma fakta sosial dengan eksemplar teori pemikiran Durkheim tentang ‘fakta sosial’ yang cara memahaminya bisa seperti metode ilmu alam. Paradigma fakta sosial cendrung kepada metode interviu, kuesioner, komparatif dan memakai metode observasi. kedua, paradigma defenisi sosial, dengan eksemplar teori Weber tentang makna-makna subjektif realitas sosial dengan metode interpretatif. Paradigma ini cendrung pada penggunaan metode observasi. Ketiga, paradigma perilaku sosial dengan eksamplar teori B.F. Skinner tentang makna psikologi sosial dalam tindakan sosial dengan metode pemahaman makro-mikro. Paradigma perilaku sosial metode yang digunakan lebih banyak metode eksprimen. Bagi Ritzer, perjuangan sosiologi menjadi ilmiah ditujukan dalam kajian meta teori paradigma terintegrasi. Fenomena sosial bisa dipahami melalui pendekatan paradigma yang terintegrasi tersebut. Ketiga paradigma sosiologi tersebut buka merupakan hal terpisah, namun karena realitas sosial yang bersifat multi dimensional, maka bisa digunakan secara terpadu, apakah diterapkan dengan cara proporsional atau eklektik. Gambaran perubahan dan paradigma tersebut, membutuhkan analisis sosiologi dan analisis filsafat sosial secara mendalam. Sosiologi dibutuhkan untuk melihat masyarakat pada tataran luaran dengan mengandalkan observasi terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan. Sementara filsafat Sosial diperlukan untuk menganalisis persoalan-persoalan sosial secara mendalam, memberikan pandangan lebih luas dan koprehensif dengan menggunakan pendekatan teori-teori filsafat.
Filsafat sosial sebagai ilmu kritis dalam melihat dan menganalisis persoalan sosial kemasyarakatan akan terselamatkan dari bahaya-bahaya legalisme, kemunafikan, dan penglarutan kepribadian di satu pihak, dan suatu otonomi di lain pihak. Dengan demikian filsafat sosial dalam hal ini bertitik tolak dari manusia yang dwi tunggal. Individu dan masyarakat.
Peran filsafat sosial dalam ranah kehidupan sosial harus berpartisipasi dalam melayani manusia. Karena itu para ilmuan sosial harus menentukan keberpihakannya kepada siapa mereka melayani. Filsafat sosial harus menolak pemisahan antara teori dan praktek, dan semua praktek dan teori harus didiskusikan. Kepentingan praktek bagi ilmuan sosial adalah untuk membebaskan manusia dari ketertindasan dengan demikian posisi mereka sebagai manusia dapat berubah.
Filsafat sosial melihat masyarakat sebagai kesatuan manusia dalam kebersamaan. Melalui kebersamaan itu kemudian filsafat sosial melihat struktur, proses dan makna sosial, baik pada masa lalu atau sekarang, yang di dalamnya mempelajari nilai-nilai, tujuan-tujuan individu, kelompok dan kelas sosial. Filsafat sosial sebagai ilmu kritis mempunyai karakter berbeda dari ilmu sosial positif. Karena sifatnya yang kritis, maka filsafat sosial mengenal apa yang disebut sebagai praxis dimana aksi berperan sebagai sumber dan pengesahan teori.
Jejak Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia
Pengkajian terhadap ilmu-ilmu sosial secara resmi pada universitas-universitas di Eropa baru di mulai pada abad ke 20 M. Sementara kajian ilmu sosial di Indonesia baru berkembang pada tahun 1960-an, hal ini dapat dilacak dari beberapa periodeisasi tertentu, pertama, sebelum tahun 1960-an pengaruh ideologi, kedua, tahun 1960-an berkembangnya teori pembangunan, ketiga, periode 1970-an berkembangnya isu pribumisasi ilmu-ilmu sosial, keempat, periode 1980-an berkembangnya gugatan atas dominasi positivisme dan strukturalisme fungsional dalam ilmu sosial. Fenomena tersebut telah menggugah ilmuan sosial untuk mencari filosofi dan ideologi alternatif untuk membangun ilmu sosial Indonesia, salah satu alternatif adalah penggalian filosofi dan ideologi pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu. Gerakan ini pada perkembangannya kemudian dikenal sebagai gerakan pribumisasi ilmu-ilmu sosial. Kelima, periode 1990-an berkembangnya perspektif kritis dalam melihat persoalan sosial kemasyarakatan. Mengklasifikasikan periodeisasi pada dasarnya mengalami kesulitan tersendiri, antara lain: (1) pendekatan periodeisasi cenderung memotong peristiwa sejarah. Padahal pada kenyataanya sejarah tidak bisa dipotong menjadi bagian-bagian yang kaku dalam tahun-tahun. (2) rencana periodeisasi sejarah seperti pada poin di atas tanpak terlalu memaksa diri, sehingga sejarah dipaksakan untuk dikotak-kotakkan dalam periode tertentu. Untuk menghindari kesulitan tersebut maka harus dilihat historisitas ilmu-ilmu sosial di Indonesia seperti fase kelahiran, dan fase perkembangannya. Dengan mengetahui fese tersebut akan membantu untuk menjelaskan corak epistemologisnya.[1]
Bila melihat dari perspektif teori sosial, maka teori sosial yang digunakan hanya teori yang mendukung pembangunan, sementara teori-teori kritis kurang dikembangkan, sehingga perkembangan ilmu sosial di Indonesia hanya dikuasai oleh suatu ‘monisme’ tertentu, dengan corak epistemologi positivisme dan strukturalisme fungsional, terakhir baru dikembangkan teori kritis mazhab Frankfurt, postmodernisme dan pemikiran epistemologi Islam.
Gambaran di atas membutuhkan suatu paradigma ilmu sosial baru yang didasarkan atas kultur masyarakat Indonesia. Dalam merumuskan paradigma baru tersebut peran filsafat ilmu menjadi sangat penting. Filsafat ilmu diharapkan memberi refleksi kritis sekaligus mencari alternatif yang berkaitan asumsi-asumsi dasar ilmu-ilmu sosial.
Pribumisasi Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia
Sebuah tantangan yang harus diemban oleh para ilmuan sosial di Indonesia yaitu bagaimana mengembangkan gerakan pribumisasi (indigenisasi) ilmu-ilmu sosial ke dalam analisis konseptual dengan memakai pikiran-pikiran dasar yang cocok dengan kondisi rill masyarakat Indonesia. Menurut Ignas Kleden, pribumisasi ilmu-ilmu sosial harus seperti gerakan revolusioner dalam dunia yang biasanya mendasarkan diri pada kekuatan dan kemampuan sebagai claim universal, yaitu sebuah klaim yang diperkenalkan oleh ilmu-ilmu alam yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap ilmu-ilmu sosial yang seolah-olah dalam keadaan tertentu berlaku dalam ilmu-ilmu sosial.
Ilmu sosial dalam proses pribumisasi pada esensialnya harus membebaskan metodologi ilmu-ilmu sosial dari metodologi ilmu-ilmu alam dengan memberi pendasaran yang baru, sebab dalam realitas perkembangan ilmu sosial di Indonesia masih dipengaruhi oleh filsafat positivistik, dimana prosedur-prosedur metodologi dari ilmu-ilmu alam dapat diterapkan pada ilmu-ilmu sosial, dan hasil penelitiannya dapat dirumuskan dalam hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam, sehingga ilmu-ilmu sosial harus bersifat teknsi, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni, tidak bersifat etis dan juga tidak terikat pada dimensi politis manusia. dengan demikian ilmu-ilmu sosial seperti ilmu-ilmu alam, bersifat netral, bebas dari nilai. Untuk itu, ilmu-ilmu sosial dalam perkembangannya berusaha melakukan rekayasa sosial melalui proses kontekstualisasi asumsi-asumsi dasar dari teori sosial dalam disiplin ilmu masing-masing. Perkembangan ini harus dilihat dari sudut perkembangan dan rekayasa sosial, bahwa setiap disiplin ilmu mencoba menemukan peranan yang relevan dengan gerak langkah perubahan zaman, seperti dalam konteks negara Indonesia harus sesuai dengan budaya masyarakat dan gerak pembangunan. Dengan demikian tantangan yang harus dihadapi menemukan teori sosial baru yang sesuai dengan realitas sosial sekaligus dapat menentukan dinamika perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia.
Arti Penting Filsafat Sosial
Filsafat social dewasa ini sangat di rasakan kepentingannya.Hal itu di sebabkan karena banyak soal yang menyangkut kehidupan social dewasa ini yang perlu mendapatkan penjelasan.Kita berhadapan dengan suatu ironi:di satu pihak masyarakat kita boleh di katakana mengalami kemajuan-kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi kehidupan modern.Tetapi dari lain pihak kita masih menyaksikan adanya jurang antara yang kaya dan yang miskin,peperangan antar suku ataupun antar Negara,perbantahan sekitar demokrasi,hak asasi manusia,partisipasi polotik,moral kehidupan dan lain sebagainya.Kemajuan ilmu-ilmu ternyata tidak bias menjelaskan persoalan-persoalan ini dan karenanya juga tidak mampu memberikan jalan keluar.
Untuk kepentingan yang menyangkut masyarakat manusia yang begitu luas ini,filsafat social sangat di harapkan sumbangannya.Akan tetapi apakah”Filsafat Sosial” itu ?filsafat social secara pendek,boleh di katakana sebagai filsafat yang membicarakan hubungan social manusia,atau kehidupan bersama dari manusia di dunia ini dalam seluruh dimensinya.Maka filsafat social mengupas persoalan manusia dalam hubungannya satu sama lain dalam kesatuan mereka,nilai-nilai dasar yang mengikat mereka sehingga menjadi sesuatu masyarakat atau kesatuan social,bagaimana kesatuan social ini di pertahankan atau direkayasa,sejauh mana keterbatasannya ataupun prospek kemampuannya dalam memperkembangkan diri.
Perbedaan filsafat Sosial dan ilmu-ilmu social(sosiologi)
Untuk memperoleh kejelasan lebih lanjut,maka perlulah lebih dahulu kita melihat perbedaan antara filsafat social dan ilmu-ilmu social.Dalam suatu halfilsafat social dan ilmu social sama yakni menyangkut obyek material dan penyelidikan:pengalaman social ataupun faktisitas social.Lepas dari persoalan menyangkut corak pengalaman social atau faktisitas social ini,baik filsafat atau ilmu social berhadapan dengan obyek yang sama ini.Namun kesamaan obyek material ini tidak mengingkari adanya perbedaan pendekatan filsafat dan ilmu-ilmu social.Perbedaan itu dalam garis besar meliputi beberapa hal.
Pertama,filsafat social mencoba memahami kenyataan social dengan melibatkan refleksi pengalaman manusia sendiri yang hidup dalam sosialitas itu sebagai bagiannya.Filsafat mengakui bahwa si penyelidik juga termasuk dalam kenyataan social yang sedang di selidikinya.Ilmu-ilmu social sebaliknya,selalu memahami kenyataan social menurut aspek obyektif saja,bertumpu pada data luar yang di ukur secara kualitatif sebagaimana tampak dalam statistic grafik,riset lapangan, angket dsb(sosiologi dasar).
Kedua,filsafat social memahami pengalaman social dalam totalitas dan nilanya yang tuntas,artinya sampai menyentuh persoalan yang mendasar dan menyeluruh,sedang ilmu-ilmu social (sebagaimana dalam kita lihat jamaknya)bersifat parsial,artinya masing-masing ilmu hanya menyangkut sesuatu bidang yang khusus(kita mengenal sosiolaogi terapan :sosio seperti ekonomi,psiko-sosial,sosio-politik,sosio-pedagogik dsb.)
Kedua perbedaan di atas mebawa pada pemahaman lebih lanjut bahwa filsafat social jauh lebih melihat kenyataan social pada permukaan, mencoba memasuki dimensi social dari eksistensi manusia secara mendalam,menyelidiki makna dan nilai-nilainya dan mencoba merumuskan gambaran manusia yang utuh demi makna hidupnya yang penuh arti.Maka pendekatan filsafat social, sebagaimana pendekatan filsafat pada umumnya tidak puas dengan pendekatan obyektif empiris semata,melainkan juga menggunakan intuisi langsung,berkat mana kehidupan social nampak satu dan utuh.Maka filsafat social,tidak bisa memandang kehidupan ekonomis,terlepas dari aspek-aspek social lainnya,demikian juga kehidupan politik atau pendidikan dan sebagainnya .Lebih dari itu,aspek-aspek itu selalu di pandang dalam kaitannya yang tak teringkari dengan hakikat dan martabat manusia.Pusat perhatian filsafat social pada akhirnya adalah manusia sendiri.Maka sebenarnnya filsafat social bisa di sebut juga “filsafat manusia dalam dimensi sosialnnya”meski tidak lazim,namun istilah “sosiologi filosofis”kiranya juga tidak keliru untuk menyebut filsafat social.
Ciri-ciri Sosialitas Manusia
Sosial manusia atau hubungan antar manusia mempunyai dimensi yang sangat luas.Memang dapat di katakan bahwa dalam pengalaman hidupnya ,manusia menjadi manusia hanya kalau dia bergaul dan bersekutu dengan manusia lainnya.Manusia tak mungkin hidip sendirian,”No Man is an Island”kata sebuaj pepatah.Dan Arostoteles menyebut manusia sebagai Zoon Politicon,makhluk social,sedang para filusuf ,eksistensialis pun meneguhkan kembali secara baru eksistensi manusia sebagai mitsein(Hiedegger)atau Co-existence(G.Marcel).Inilah hakikat sejati dari sosialitas manusia.
Filsafat ,terutama dari aliran eksistensialisme mencoba merumuskan hubungan manusia secara radiakal.Namun dari mereka pun tak jarang terjadi kontroversi sangat menarik untuk mengamati bahwa di satu pihak ada pandangan yang mengatakan bahwa hubungan aku-engkau(Ich und Du-)yang akrab dan saling percaya merupakan dasar sosialitas yang sejati,sebagaimana yang di anut “Filsafat Dialog” dari Martin Buber dan Gabriel Marcel.Dari pihak lain,ada juga pandangan sepeti di anut J.P. Sartre yang menganggap hubungan manusia sebagai cerminyang memperlihatkan kenyataan yang lebih mendasar mengenai persaingan manusia,saling ancam satu lama lain,Dalam pandangan G.Marcel dan M.Buber hubungan manusia yang sejati di lukiskan sejati di lukiskan sebagai perjumpaan antara dua pribadi yang terbuka,tanpa syarat dan bebas,yang di gerakkan oleh cinta.Sedang dalam pandangan JP.sartre eksistensi manusia sebagai Pour soi,oleh karena kesadarannya ,mai tidak mau akan berupaya meniadakan yang lain.
Filsafat Sosial dewasa ini sangat dirasakan kepentingannya. Hal ini didasarkan pada perubahan dan kemajuan yang bersama-sama dialami oleh umat manusia banyak sekali berbagai persoalan yang dimintai perhatian, khususnya yang menyangkut kehidupan sosial manusia. Kita dewasa ini mengalami kesadaran ideologis yang kuat. Dalam suasana umum itu terdapat satu hal yang urgen, yaitu tampilnya kemuka suatu “Grundform” dari kehidupan manusia, yang disebut sosialitas (Drajarkara, 1962:8).
Sifat dan sikap dasar ini merupakan suatu unsur yang maha penting dalam cita-cita pembangunan kita, dalam perombakan dan perubahan kita. Sosialitas manusia merupakan bagian utama objek material dalam kajian Filsafat Sosial.
Di samping itu, dewasa ini banyak soal menyangkut kehidupan sosial yang perlu mendapatkan penjelasan. Kita berhadapan dengan suatu ironi: di satu pihak masyarakat kita boleh dikatakan mengalami banyak kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu dan teknologi, yang memberikan kemudahan bagi kehidupan modern, tetapi dari lain pihak kita masih menyaksikan adanya jurang antara yang kaya dan yang miskin, peperangan antara suku atau pun antar negara, perbantahan sekitar demokrasi, hak asasi manusia, partisipasi politik, moral kehidupan dan lain sebagainya. Berbagai kemajuan ilmu ternyata tidak bisa menjelaskan berbagai persoalan ini dan karenanya juga tidak mampu memberikan jalan keluar.
Oleh karena itu perlu dan harus direnungkan sampai ke akar-akarnya. Meskipun tematisasi ini telah dilakukan oleh bermacam-macam ilmu sosial (dengan caranya masing-masing), misalnya: psikologi, sosiologi, politik, ekonomi, antropologi, dan lainnya. Namun, apa yang diketengahkan oleh ilmu sosial tersebut belum memberikan penjelasan yang mendasar, masing-masing masih bersifat objektif-empiris semata dan bersifat parsial. Oleh karena itu, perlu dibahas persoalan tentang “pengalaman sosial atau pun faktisitas sosial dan sosialitas manusia dalam perspektif Filsafat Sosial“.
Bogdanov mendamaikan teorinya dengan kesimpulan-kesimpulan Marx, dengan mengorbankan kekonsekwenan yang elementer demi kesimpulan-kesimpulan itu. Setiap produsen orang seorang dalam perekonomian dunia sadar, bahwa dia menyumbangkan sesuatu perubahan di dalam tekhnik produksi, setiap pemilik sadar, bahwa dia menukarkan sesuatu barang hasil dengan barang hasil lain, tapi produsen-produsen dan pemilik-pemilik itu tidak menyadari, bahwa dengan itu semua mereka mengubah kehidupan sosial. Jumlah semua perubahan itu dalam semua per-cabang-cabangannya di dalam dunia perekonomian kapitalis tidak bisa kiranya dicakup oleh tujuh puluh orang Marx. Yang paling penting, adalah bahwa telah ditemukan hukum-hukum dari pada perubahan-perubahan itu, telah ditunjukkan pada pokoknya dan pada dasarnya logika obyektif daripada perubahan-perubahan itu dan dari sejarah perkembangannya, -- obyektif bukan dalam arti bahwa masyarakat daripada makhluk-makhluk yang sadar, daripada manusia, bisa hidup dan berkembang tak tergantung dari adanya makhluk-makhluk sadar (hanya omong kosong yang demkian yang ditandaskan oleh “teori” Bogdanov), tapi dalam arti, abahwa kehidupan sosial tidak tergantung dari kesadarn sosial manusia. Dari hal, bahwa kalian hidup dan berumah tangga, kalian melahirkan anak dan memproduksi baranghasil, baranghasil-baranghasil itu kalian tukarkan, terjalinlah rantai kejadian yang berupa keharusan obyektif, rantai perkembangan, yang tergantung dari kesadaran kalian, rantai yang kapanpun tak tercakup olehnya (oleh kesadaran sosial, Pent.). Tugas paling tinggi daripada umat manuisa – mencakup logika obyektif daripada evolusi perekonomian itu (evolusi kehidupan sosial) dalam garis-garis umum dan dasarnya, agar mumgkin lebih terang, lebih jelas, secara kritis menyesuaikan padanya kesadaran klas-klas maju dari semua negeri-negeri kapitalis.
Semua itu Bogdanov mengakui. Jadi? Jadi, teorinya “keidentikan kehidupan sosial dengan kesadaran sosial” pada kenyataannya dia buang jauh-jauh, tinggal tambahan-tambahan kosong skolastis, -- sedemikian kosongnya, matinya dan tak tersangkut pautnya, sebagaimana “teori penggantian umum” atau ajaran tentang “elemen-elemen”, “introyeksi” dan semua nonsens Machis lainnya. Tapi “yang mati mencengkeram yang hidup”, tambahan-tambahan skolastis yang mati dengan berlawanan dengan kehendak dan tak tergantung dari kesadaran Bogdanovmengubah filsafatnya menjadi alat pengabdi bagi Schubert-Soldern-Schubert-Soldern dan kaum reaksioner lain yang dengan ribuan cara dan dari ratusan kathedral filsafat menyebarkan justru yang mati itu sebagai yang hidup, melawan yang hidup, dengan tujuan mencekik yang hidup. Bogdanov secara pribadi adalah musuh bebuyutan setiap reaksi dan khususnya reaksi burjuis. “Penggantian “ milik Bogdanov dan teori “keidentikan kehidupan sosial dengan kesadaran sosial” mengabdi reaksi itu. Itu adalah fakta yang menyedihan, tapi fakta.
Materialisme pada umumnya mengakui kenyataan (materi) yang secara obyektif riil tak tergantung dari kesadaran, dari perasaan, dari pengalaman dll. daripada umat manusia. Materialisme historis mengakui kehidupan sosial tak tergantung dari kesadaran sosial umat manuisa. Kesadaran baik di sana maupun di sini adalah hanya cerminan daripada kenyataan, paling-paling cerminannya hanya mendekati ketepatan (yang adekwatif, yang secara idiil tepat). Di dalam filsafat Marxisme itu, yang dituang dari sebungkal baja, tidak bisa diambil baik pangkal dasarnya, maupun bagiannya yang penting, tanpa menghindarkan diri dari kebenaran obyektif, tanpa terperosok ke dalam pelukan tipuan burjuasi reaksioner.
Inilah contoh lagi bagaimana filsafat idealisme yang mati mencekeram kaum Marxis Bogdanov yang hiudp.
Artikel: “Apakah idealisme itu? Th. 1901“Kita sampai pada kesimpulan begini: baik di sana, di mana orang-orang bersesuaian dalam pembicaraannya mengenai kemajuan, maupun di sana, di mana mereka berbeda, arti dasar daripada ide kemajuan tetap satu: meningkatnya kepenuhan dan keharmonian kehidupan kesadaran. Demikianlah isi obyektif dari pengertian kemajuan….Kalau sekarang kita bandingkan kenyataan psykhis yang kita terima daripada ide kemajuan dengan kemajuan bilogis yang sudah kita jelaskan duluan (“kemajuan biologis adalah meningkatnya jumlah kehidupan”,), maka kita mudah untuk menjadi yakin, bahwa yang pertama sesuai dengan yang kedua dan boleh ditarik daripadanya…..Karena kehidupan sosial disederhanakan menjadi kehidupan psykhis daripada anggota-anggota masyarakat, maka di sini isi daripada ide kemajuan tetap sama:meningkatkan kepenuhan dan harmoni kehidupan; hanya perlu ditambah – kehidupan sosial manusia. Dan, sudah barang tentu, ide kemajuan sosial kapanpun tak pernah punya dan tak akan punya isi yang lain”. “Kita telah temukan ….bahwa idealisme menyatakan kemenangannya dalam jiwa manusia yang semangatnyalebih bersosial ketimbang yang kurang bersosial, bahwa ideal yang maju (yang progresif, Pent.) adalah cerminan tendensi progersif sosial di dalam psycho yang idealistis”
Tak perlu dikatakan, bahwa di dalam semua permainan dalam biologi dan sosiologi tak ada setetes Marxisme. Pada Spencer dan Mikhalovsky bisa ditemukan sebanyak mungkin definisi yang sedikitpun tak kurang jeleknya, yang tak menentukan apapun, kecuali “maksud baik” si penulis dan yang menunjukkan ketidak-mengertian yang penuh akan hal “apakah idealisme itu” dan apakah materialisme itu.
Buku ketiga “Empiriokritisisme”, artikel “seleksi sosial” (metode dasar) 1906. Si penulis memulai dengan hal, bahwa dibantahlah usaha-usaha sosial-biologis eklektis Lange, Ferri, Woltman dan banyak lainnya”
“Setiap tindakan daripada seleksi sosial merupakan meningkatnya atau mengurangnya energi kompleks sosial, terhadap mana dia termasuk. Pada kejadian yang pertama di hadapan kita “seleksi positif”, yang kedua “seleksi negatif” (huruf miring si penulis).
Dan nonsens yang keterlaluan itu dianggap sebagai Marxisme! Bisakah dibayangkan sesuatu yang lebih tanpa guna, mati, skolastis ketimbang perentangan kata-kata biologis dan energetik yang tidak bisa memberikan apa-apa di bidang ilmu sosial? Tak ada bayangan penyelidikan konkrit atas masalah-masalah ekonomi, tak ada tanda-tanda dari metode Marx, metode dialektis dan pandangan dunia materialisme, karangan sederhana tentang definisi-definisi, usaha untuk mencocok-cocokkan mereka (definisi-definisi itu, Pert.) dengan kesimpulan-kesimpulan yang sudah jadi dari Marxisme. “Pertumbuhan yang cepat dari tenaga produktif masyarakat kapitalis, tak teragukan, adalah peningkatan energi sosial yang utuh….” – paro kedua dari kalimat itu, tak teragukan adalah pengulangan paro pertama, yang dinyatakan dalam termin-termin yang tak berisi, yang kelihatannya”memperdalamkan” masalah, tapi yang dalam kenyataannya seujung rambutpun tak berbeda dengan usaha-usaha eklektis biologi-sosiologis Lange & Co.! – “ tapi watak disharmoni daripada proses itu mengarah ke hal, bahwa dia berakhir dengan “krisis”, penghambur-hamburan besar tenaga-tenaga produktif, pengecilan energi secara mendadak: seleksi positif diganti dengan yang negatif”.[2]
Apakah itu Lange? Kesimpulan yang sudah jadi tentang krisis-krisis, setetespun tak ditambahkan material konkrit, maupun penjelasan alamiah krisis, hanya ditempelkan etiket (merek atau cap, Pent.) biologis-energetis. Semua itu adalah cukup bermaksud baik, sebab penulis mau menekankan dan menperdalam kesimpulan Marx, tapi pada kenyataannya hanya melemahkan kesimpulan-kesimpulan itu dengan skolastika yang mati, yang tak terperikan sepinya. “Yang Marxis” di sini hanya pengulangan kesimpulan-kesimpulan yang sebelumnya sudah terkenal, sedang semua pendasarannya “yang baru”, semua “energika sosial” dan “seleksi sosial” itu – sekedar kumpulan kata-kata penyiksaan yang betul-betul atas Marxisme.
Bogdanov samasekali bukannya melakukan penyilidikan Marxis, melainkan mengenakan jubah terminologi biologis dan energetic atas hasil-hasil yang dulu sudah dicapai oleh penyelidikan semacam itu. Semua usaha itu dari awal sampai akhir tak ada gunanya, sebab pemakaian pengertian-pengertian “seleksi”, “asimilasi dan disasimilasi” energi, balans energi dll., dls. ke dalam bidang ilmu sosial adalah frase kosong. Pada kenyataan baik penyelidikan gejala-gejala sosial, maupun penjelasan metode ilmu-ilmu sosial tidak bisa diberikan dengan pertolongan pengertian-pengertian itu. Tak ada sesuatu yang lebih mudah kecuali melekatkan merek (atau cap, Pent.) “energetic” atau “biologi-sosiologis” pada gejala-gejala seperti krisis-krisis, revolusi, perjuangan klas-klas dsb. tapi juga tak ada sesuatu yang lebih tanpa guna, lebih skolastis, lebih mati kecuali kesibukan semacam itu. Masalahnya bukan terletak dalam hal, bahwa di sini Bogdanov mencocok-cocokkan semua hasil-hasilnya dan kesimpulan-kesimpulannya dengan Marx, atau “hampir” semua (kita telah melihat “pembetulan” mengenai masalah tentang hubungan kehidupan sosial dengan kesadaran sosial), -- tapi dalam hal, bahwa cara-cara pencocokan itu, “energitika sosial” itu betul-betul palsu dan samasekali tidak berbeda dengan cara-cara Lange.
Tuan Lange, -- tulis Marx pada tanggal 27 Juni 1870 kepada Kugelman, -- (“Tentang masalah-masalah baru dst.”, cet. ke-2) cukup kuat memuji saya ….dengan tujuan menonjolkan dirinya sebagai orang besar. Masalahnya yalah, bahwa Lange membuat penemuan. Seluruh sejarah bisa disederhanakan menjadi satu dalam frase “Struggle for Life” – perjuangan untuk hidup (pernyataan Darwin dalam penggunaannya semacam itu menjadi frase kosong), sedang isi dari frase tersebut adalah hukum Maltus tentang penduduk. Oleh sebab itu, bukannya menganalisa “Struggle for life” bagaimana dia secara historis muncul dalam bermacam-macam bentuk masyarakat, melainkan tidak berbuat apa-apa kecuali mengubah setiap perjuangan konkrit menjadi frase “Stuggle for life”, dan frase itu menjadi fantasi Maltus tentang penduduk. Boleh untuk setuju, bahwa itu adalah metode yang meyakinkan …. Untuk menonjolkan diri daripada ketololan yang congkak dan daripada kemalasan berfikir dengan kedok sok ilmiah”
Dasar kritik Marx terhadap Lange terletak bukan dalam hal, bahwa Lange secara khusus menyelundupkan Maltusianisme ke dalam sosialogi, tapi dalam hal, bahwa pemindahan (atau: penggunaan, Pent.) pengertian biologis pada umumnya ke bidang ilmu sosial frase. Pemindahan semacam itu dilakukan dengan maksud “baik”-kah atau dengan maksud pelekatan kesimpulan-kesimpulan sosiologis yang bohong, dari hal itu frase tetap frase. Yang energitika sosial” Bogdanov, penyatuannya atas ajaran-ajaran seleksi sosial ke Marxisme adalah justru frase semacam itu.
Baik dalam gnosiologi Mach dan Avenarius tidak mengembangkan idealisme, melainkan memenuhi kesalahan-kesalahan idealis lama dengan nonsens-nonsens terminologi yang congkak (“elemen-elemen”, “koordinasi prinsipiil”, “introyeksi” dsl.), demikian juga di dalam sosiologi, empiriokritisisme, bahkan di bawah solidaritet yang tulus pada kesimpulan-kesimpulan Marxisme, mengarah ke pemutar-balikkan materialisme histori dengan menggunakan kata-kata biologis dan energetic yang congkak kosong.
Kekhususan historis daripada Machisme Rusia Modern (lebih tepatnya: arus Machis di kalangan kaum Sosial-Demokrat) adalah keadaan berikut. Feuerbach adalah “materialis di atas, idealis di atas”; -- juga dalam batas-batas tertentu mengenai Buchner, Vogt, Moleschott dan Dühring dengan perbedaan besar, bahwa semua ahli filsafat tersebut adalah orang-orang kerdil dan orang-orang ceoboh celaka apabila dibandingkan dengan Feuerbach.
Marx dan Engels yang tumbuh dari Feuerbach dan mendewasa dalam perjuangan melawan orang-orang ceroboh, sudah barang tentu sangat memperhatikan pada pembangunan filsafat materialisme ke atas, yaitu bukan pada gnosiologi materialisme tapi pada interpretasi materialis atas sejarah. Oleh sebab itu Marx dan Engels dalam karya-karyanya lebih banyak menggris bawahi materialisme dialektis ketimbanga materialisme dialektis, lebih banyak menuntuk materialisme historis ketimbang materialisme historis. Kaum Machis kita yang menghendaki menjadi kaum Marxis, datang menghampiri Marxisme dalam periode yang sama sekali lain dari periode historis di atas, datang menghampiri pada saat, ketika filsafat burjuis khususnya berspesialisasi pada gnosiologi dan dengan menguasi secara berat sebelah dan dalam bentuk yang terputar balikkan beberapa bagian dialektika (misalnya relativisme), secara sungguh-sungguh mempertahankan pada pembelaan atau pemulihan kembali idealisme di bawah dan bukan idealisme di atas.
Paling tidak positivisme pada umumnya dan Machisme pada khususnya jauh lebih banyak melakukan pemalsuan yang halus di bidang gnosiologi, memalsu dengan materialisme, menyembunyikan idealisme di balik terminologi-terminologi yang seolah-olah materialis, -- dan relatif kurang memperhatikan filsafat sejarah. Kaum Machis kita tidak mengerti Marxisme, kalau boleh dikatakan, -- dari arah lain, dan merasa mengerti, -- sedang kadang-kadang mengerti tidak sebanyak yang dihafal di luar kepala, -- teori ekonomis dan historis Marx, tanpa mempunyai kejelasan akan dasar-dasarnya yaitu filsafat materialisme. Kita dapati, bahwa Bogdanov & Co. harus disebut Buchner-Buchner dan Dühring-Dühring Rusia secara kebalikan. Mereka menghendaki menjadi kaum materialis di atas, mereka tidak bisa menghindari diri dari idealisme di bawah yang kacau! “”Di atas” yang ada pada Bogdanov adalah materialisme historis, memang benar, yang vulger dan yang secara serius dirusak oleh idealisme, “di bawah” idealisme yang dijubahi dengan termin-termin Marxis, yang dipalsu dengan kata-kata Marxis. “Pengalaman yang secara sosial terorganisir”, “proses kerja kolektif”, semua itu adalah kata-kata Marxis, tapi semua itu haynya kata-kata, yang menyembunykan idealis, (yaitu filsafat) yang menyatakan benda – sebagai kompleks-kompleks “empiriosimbul-empiriosimbul” daripada umat manusia, alam fisis – sebagai “yang dihasilkan” oleh “yang psykhis” dsl. dsb.
Pemalsuan Marxisme yang lebih halus, penyulapan yang lebih halus ajaran-ajaran anti-materialis menjadi Marxisme, -- dengan itulah ditandai revisionisme modern baik di dalam ekonomi politik, di dalam masalah-masalah taktik maupun di dalam filsafat pada umumnya baik di dalam gnosiologi maupun dalam sosiologi.
“Risalah ‘tentang’ filsafat Marxisme”, yang berakhir dengan artikel kawan S.Suvorov tersebut merupakan buket yang luar biasa kuat pengaruhnya justru sebagai akibat watak kolektif buku itu. Ketika di hadapan kalian tampil secara bersama dan secara berdekatan Bazarov, yang berkata, bahwa menurut Engels “tanggapan panca indera adalah kenyataan yang ada di luar kita”, Berman, yang mengumumkan, bahwa dialektika Marx dan Engels adalah mistis, Lunarcarsky, yang mengoceh sampai pada agama, Yuskevic, yang memasukkan “Logos di dalam gugusan irasionil daripada yang ada”, Bogdanov yang menamakan idealisme secara filsafat Marxisme, dan, akhirnya S.Suvorov dengan artikel “Dasar-dasar filsafat sosial”, maka kalian akan secara langsung merasa “jiwa” daripada garis baru. Kwantitet berubah menjadi kwalitas. “Orang-orang yang sedang menacri”, yang sampai sekarang telah mencari secara terpisah-pisah di dalam artikel-artikel dan buku-buku yang sendiri-sendiri, telah tampil dengan manifes yang sesungguhnya. Perbedaan pendapat sepotong-sepotong di antara mereka terhapuskan oleh fakta yang berupa penampilan secara kolektif menentang (dan bukan “tentang”) filsafat Marxisme, dan garis reaksioner daripada Machisme, sebagai aliran, menjadi jelas.
Dalam keadaan yang demikian, artikel Sovorov lebih menarik lagi, sebab si penulis, bukan seorang empiriomonis dan bukan seorang empiriokritis, melainkan sekedar seorang “realis”, -- oleh sebab itu, dia didekatkan dengan kompanyon lainnya bukan oleh hal, apa yang membedakan Bazarov, Yuskevic, Bogdanov, sebagai ahli-ahli filsafat, melainkan oleh hal, apa yang umum di antara mereka dalam melawan materialisme dialektis. Perbandingan analisa-analisa sosiologis daripada si “realis” itu dengan analisa-analisa si empiriomonis bisa membantu kita untuk melukiskan tendensi umum mereka.
Suvorov menulis: “Di dalam tingkat-tingkat daripada hukum-hukum yang mengatur proses dunia, yang sebagian-sebagian dan yang kompleks berubah menjadi yang umum dan yang sederhana – dan semua mereka tunduk pada hukum-hukum universal daripada perkembangan, -- hukum kekuatan-kekuatan ekonomi. Hakekat hukum itu terletak dalam hal, bahwa setiap sistim kekuatan, dengan makin besarnya kemampuan untuk memelihara keutuhan dan untukberkembang, maka makin sedikitlah pengeluaran, makin besarlah akumulasi, makin baiklah pengeluaran mengabdi pada akumulasi. Bentuk daripada keseimbangan yang mudah bergerak, yang sejak lama disebabkan oleh ide kegunaan secara obyektif (sistim matahari, urut-urutan gejala-gejala bumi, proses kehidupan), terbentuk dan berkembang justru sebagai akibat dari penghematan dan akumulasi energi yang khas bagi mereka, -- sebagai akibat dari keekonomisan intern. Hukum keekonomisan kekuatan merupakan prinsip yang menyatakan dan mengatur dari semua perkembangan, -- perkembangan zat anorganis, perkembangan biologis dan perkembangan sosial”
Kaum “posistivis” dan “realis” kita mudah sekali memanggang “hukum universal”! Sayangnya bahwa hukum-hukum itupun tak lebih baik dari hukum-hukum yang dengan mudah dan cepat dipanggang oleh Eugen Dühring. “Hukum universal” Suvorov – adalah kata-kata yang tanpa isi, yang dibesar-besarkan, sebagaimana hukum-hukum universal Dühring. Kalian cobalah mengenakan hukum itu dari bidang pertama dari ketiga bidang yang diajukan oleh si penulis” ke perkembangan anorganis. Kalian akan melihat bahwa kecuali hukum kekekalan dan perubahan energi, kalian tidak akan berhasil mengenakan apalagi mengenakan “secara universal” “keekonomisan kekuatan”. Sedang hukum “kekekalan energi” sudah dibuang oleh penulis, sudah disebut duluan. Apakah yang masih tinggal kecuali hukum itu di dalam bidang perkembangan anorganis? Mana tambahan-tambahan atau perumitan, atau penemuan-penemuan baru, atau fakta-fakta baru yang mengijinkan si penulis untuk mengubah (“menyempurnakan”) hukum kekekalan dan hukum perubahan energi menjadi hukum “keekonomisan kekuatan”?Fakta-fakta atau penemuan-penemuan yang demikian itu tidak ada., dan Suvorov bahkan tidak menyinggungnya. Dia sekedar, -- demi kehebatan, sebagaimana dikatakan oleh Bazarov –nya Turgenyev, -- menggoreskan pena dan menggores “hukum universal” baru daripada “Filsafat monis riil” Ketahuilah milik kita!Dalam hal apa kita lebih jelek daripada Dühring?
Ambillah bidang perkembangan kedua – bidang biologi. Di sini, di bawah perkembangan organisme-organisme dengan jalan perjuangan untuk hidup dan seleksi, adakah hukum keekonmisan kekuatan atau “hukum” pemborosan kekuatan adalah universal? Tidak jelek. Bagi “filsafat monis riil” boleh mengerti “arti” hukum universal dalam satu bidang begini dan dalam bidang lain secara lain, misalnya, seperti perkembangan organisme-organisme tinggi dari yang rendah. Tidak apa-apa, meskipun hukum universal dari situ berubah menjadi kata-kata kosong – asal terpelihara prinsip-prinsip “monisme”. Sedang bagi bidang ketiga (bidang sosial) boleh memengerti “hukum universal”supaya di bawah kekuasaannya bisa ditrapkan apa saja.
“Meskipun ilmu kemasyarakatan masih muda – dia sudah memiliki basis yang kuat dan penggeneralisasian yang definitif; dalam abad ke-19 dia berkembang sampai puncak teoritis, -- dan itu adalah jasa pokok Marx. Dia meningkatkan ilmu sosial sampai pada taraf teori sosial …” Engels berkata bahwa Marx mengubah sosialisme dari utopi menjadi ilmu, tapi bagi Suvorov itu belum cukup. Lebih berkesan lagi, kalau kita membedakan lagi teori dari ilmu
Adalah khas, bahwa Suvorov menamakan penemuan hukum kekekalan dan perubahan energi sebagai “penetapan prinsip-prinsip dasar energitika” (292). Mendengarkan si “realis” kita yang ingin menjadi seorang Marxis, bahwa baik kaum materialis vulger, Buchner & Co dan si dialektis materialis Engels menganggap hukum itu sebagai peletakan prinsip prinsip dasar materialisme? Berfikirlah si “realis” kita apa artinya pembedaan itu? Oh, tidak, dia sekedar mengikuti mode, mengulangi Ostwald, dan selesai. Celakanya terletak dalam hal, bahwa “kaum realis” semacam itu menyerah pada mode, sedang Engels, misalnya, mengambil terminologi yang baginya baru, yaitu energi dan memulai memakainya dalam tahun 1885 (kt. Pend. “Anti-Dühring” cet. ke-2 dan dalam tahun 1888 (“L.Feuerbach”), tapi memakai setara dengan pengertian “gaya” dan “gerak”, berganti-gantian dengan kata-kata itu, Engels bisa memperkaya materialisme-nya sendir, dengan jalan mengambil terminologi baru. “Kaum realis” dan orang-orang bingung lainnya, mencakup termin baru, tanpa mengetahui perbedaan antara materialisme dengan energitika! Marx sudah ada ilmu sosial?), -- tidak jelek, bahwa perbedaannya adalah nonsens.
“…. Dengan jalan menetukan hukum dasar daripada dinamika sosial, berkat mana evolusi tenaga-tenaga produkstif merupakan prisnisp yang menetukan bagi semua perkembangan ekonomis dan sosial. Tapi perkembangan tenaga-tenaga produktif sesuai dengan pertumbuhan produktivitet kerja, sesuai dengan penurunan relatif daripada pengeluaran dan sesuai dengan peningkatan akumulasi energi” …. (lihatlah, betapa suburnya “filsafat monis-riil”: diberikan sesuatu yang baru, pendasaran energetic atas Marxisme!)….Itu adalah prinsip ekonomis. Dengan begitu sebagai dasar teori sosial, Marx meletakkan prinsip keekonomian kekuatan”…..
Kita “dengan begitu” tadi betul-betul keterlaluan! Karena Marx memiliki ekonomi politik, maka berhubung dengan itu mari kita kunyah kata “ekonomi” dengan menamakan hasil kunyahan itu “filsafat monis riil”.
Tidak, Marx tidak meletakkan sebagai dasar teorinya prinsip keekonomisan kekuatan yang manapun. Itu adalah omong kosong yang direka-reka oleh orang-orang yang mengharapkan karangan daun palm Eugen Dühring. Marx secara sempurna telah memberikan definisi yang tepat tentang pengertian pertumbuhan tenaga-tenaga prosuktif dan mempelajari proses konkrit pertumbuhan itu. Sedang Suvorov mereka-reka istilah baru untuk menandai pengertian yang dianalisa oleh Marx dan mereka-reka sangat tidak berhasil, hanya mengacaukan masalah. Sebab, apakah artinya “keenomisan kekuatan”, bagaimana mengukurnya, bagaimana menggunakan pengertian itu, fakta-fakta tepat dan tertentu mana yang cocok baginya – itu semua Suvorov tidak menjelaskan, sebab hal itu adalah kebingungan. Dengarkan lebih lanjut:
“…. Hukum ekonomis sosial itu bukan merupakan prinsip kesatuan intern daripada ilmu sosial” (kalian mengertikah sesuatu di sini, pembaca?) “tapi merupakan mata rantai penghubung antara teori sosial dengan teori kehidupan umum
Ya, ya,. “Teori kehidupan umum” yang ditemukan kembali oleh S.Suvorov sesudah banyak kali ditemukan dalam bentuk yang sangat berbeda-beda oleh banyak wakil filsafat skolastis. Kita ucapkan selamat kepada kaum Machis Rusia dengan “teori kehidupan umum” baru!Kita harapankan saja, bahwa karya kolektif mereka yang berikut sepenuhnya diperuntukkan bagi pendasaran dan perkembangan penemuan besar itu!
Bagaimana jadinya pembentangan teori Marx di mana wakil-wakil filsafat realis atau filsafat monis riil, tampak pada contoh semacam ini: “Pada umumnya tenaga-tenaga produktif manusia membentuk kenaikan tingkat genetis” (waduh!)”dan terdiri dari energi kerja mereka, yang tunduk pada kekuatan-kekuatan spontan daripada alam yang secara kulturil diubah, dan alat kerja yang membentuk tekhnik produktif ….Dalam hubungannya dengan proses kerja, kekuatan itu melakukan fungsi ekonomis semata-mata; dia menghemat energi kerja dan meninggikan produktivitas pengeluarannya” Tenaga-tenaga produktif melaksanakan fungsi ekonomis dalam hubungannya dengan proses kerja!Itu sama saja andaikata berkata: kekuatan hidup melaksanakan fungsi kehidupan dalam hubungannya dengan proses kehidupan. Itu bukan pembentangan Marx, melainkan pengotoran Marxisme dengan sampah istilah yang keterlaluan.
Sampah semacam itu di dalam artikel Suvorov tak terbilang banyaknya. “Sosialisasi klas termanifestasi dalam pertumbuhan kekuasaan kolektinya baik atas manusia maupun atas milik mereka “Perjuangan klas mengarah ke pembentukan bentuk keseimbangan antara kekuatan-kekuatan social Percekcokan, permusuhan dan perjuangan sosial pada hakekatnya adalah gejala negatif, anti kemasyarakatan. “Kemajuan sosial, menurut isi dasarnya, adalah pertumbuhan kemasyarakatan, pertumbuhan hubungan sosial antar manusia” Dengan koleksi kebanalan semacam itu bisa dipenuhi berjilid-jilid buku, -- dan dengannya dipenuhi berjilid-jilid buku wakil-wakil sosiologi burjuis tapi menamakan hal itu sebagai filsafat Marxisme – itu sudah keterlaluan.Kalau artikel Suvorov merupakan percobaan untuk mempulerkan Marxisme, -- maka kiranya artikel itu tidak bisa diadili secara keras; kiranya setiap orang menyadari, bahwa maksud penulis baik , hanya percobaannya gagal, hanya itulah. Sedang ketika grup kaum Machis menyuguhkan kepada kita barang semacam itu dengan nama “Dasar-dasar Filsafat sosial”, ketika melihat cara-cara yang itu-itu juga bagi “pengembangan” Marxisme dalam buku-buku filsafat Bugdanov, maka terdapat kesimpulan yang tak terelakkan tentang hubungan yang langsung antara gnosiologi raksioner dengan usaha-usaha reaksioner di dalam sosiologi.
6 tokoh filsafat sosial;
1. john rawl; pemikirannya seputar prinsip keadilan (persamaan dan tidak persamaan keadialan)
2. sint simon; pemikirannya tentang kritik agama terhadap konsep kerja, filsafat kerja sebagai eksistensi manusia,
2. sint simon; pemikirannya tentang kritik agama terhadap konsep kerja, filsafat kerja sebagai eksistensi manusia,
3. proudhon; pemikirannya adalah kepemelikan adalah pencurian. kritiknya kepada pemlik modal yang mendapatkan hasil tanpa bekerja...maka perlu kolektif untuk melawan penguasa
4. max weber; tentang predestinasi (tuhan mengetahui keterpilihan manusia dari sebelumnya) dan beruf sebagai panggilan bekerja. ada perbandingan pandangn itu dari luteran n calvinisme
5. bourdieu; pemikirannya tentang habitus, modal, medan/arena social
PENUTUP
Filsafat sosial meskipun sebagai salah satu cabang ilmu termuda, dibutuhkan untuk menganalisis sekaligus memberikan solusi terhadap komplektisitas persoalan sosial kemasyarakat. Sebagai ilmu kritis, maka peran filsafat sosial dalam ranah kehidupan sosial harus berpartisipasi dalam melayani manusia. Oleh karena itu para ilmuan sosial harus menentukan keberpihakannya kepada siapa mereka melayani. Dengan demikian filsafat sosial harus menolak pemisahan antara teori dan praktek, dan semua praktek dan teori harus didiskusikan. Kepentingan praktek bagi ilmuan sosial adalah untuk membebaskan manusia dari ketertindasan, dan kesemenaan teori-teori lain. Sebab ilmu sosial menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumen murni, yaitu pengetahuan harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terikat pada dimensi politis manusia, dengan demikian ilmu sosial bersifat netral dan bebas nilai. Karena sifatnya demikian, filsafat sosial melihat masyarakat sebagai kesatuan manusia dalam kebersamaan. Melalui kebersamaan itu kemudian filsafat sosial melihat struktur, proses dan makna sosial, baik pada masa lalu atau sekarang, yang di dalamnya mempelajari nilai-nilai, tujuan-tujuan individu, kelompok dan kelas sosial.
Dalam konteks keindonesiaan ilmu-ilmu sosial meskipun tergolong baru, karena secara akademis baru berkembang dalam beberapa dekade terakhir ini, namun kegandrungan terhadap ilmu tersebut sudah setara dengan ilmu-ilmu lain. Untuk itu, tidak salah apabila muncul upaya pribumisasi ilmu-ilmu sosial yaitu sebuah upaya mencari format baru bagi karakter dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Menurut Novel Ali, bahwa ‘membumikan’ ilmu-ilmu sosial di Indonesia tidak berarti harus mengembangkan teori baru yang khas Indonesia, tetapi yang terpenting menyeleksi teori yang cocok untuk kondisi rill Indonesia. Dengan demikian pribumisasi harus dimaknai (1) sebagai domestifikasi atau partikulasi, (2) membangun teori yang khas Indonesia, (3) menyeleksi secara sistematis teori yang sesuai dengan keadaan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
K.J. Veeger. (1993). Realitas sosial; Refleksi filsafat sosial atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi. Jakarta: Gramedia. hlm. 7-8
[11]Gorge Ritzer. (2003). Sosiologi ilmu pengetahuan berparadigma ganda. Terjemahan Alimanda. Jakarta: Raja Grafindo, hlm. 1
Sunarto. (2006). ‘Konstruksi epistemologi Max Horkheimer: Krtik atas masyarakat modern’, dalam. Epistemologi kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz. hlm. 94
[15] K. Bertens. (1983). Filsafat barat abad XX: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia. hlm. 176-177
Hans Fink. (2003). Filsafat Sosial dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 137-138
[18] Heru Nogroho. (2002). ‘Pengilmiahan dan ambiguitas sosiologi’. Dalam, Yulia Sugandi. Rekonstruksi sosiologi humanis menuju praksis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. Xiv-xvi
[19] Piotr Sztompka. (2007). Sosiologi Perubahan Sosial, terjemahan, Alimandan, Jakarta: Prenada, hlm. 3
Donald E. Comstock. (1980). A. Method for critical research. Departement of Sociology, Washington State University, hlm. 6
[27] Heri Santoso. (1997). Dimensi epistemologis dalam indeginisasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia (sebuah pelacakan awal), dalam, Jurnal filsafat. Yogyakarta: UGM, hlm. 190
Mohammad Hatta. (1986). Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press. hlm. 5-14
Lois O. Kattsof. (1996). Pengantar filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana. hlm. I
Immanuel Wallerstein. (1997). Lintas batas ilmu sosial. Yogyakarta: LKiS hlm. 19-20
Soerjono Soekanto. (2003). Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: Raja Grafindo. hlm. 3-4
Harry Hamersma. (1992). Tokoh-tokoh filsafat modern. Jakarta: Gramedia. hlm. ix
http://indomarxist.tripod.com/mek19200.htm
[1] Karl Grun. “Ludwig Feuerbach in seinem Briefweschel und Nachlass, sowie in seiner philosophischen Charanterentwicklung”, I. Bd., Lpz, 1874, S.361. (Karl Grun. “Ludwig Feuerbach dalam surat menyuratnya dan dalam peninggalan literaurnya, dan juga dalam perkembangan filsafatnya”. Jil. I, Leipzig,1874, hal. 361. Red.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar