Selasa, 24 Mei 2011

Pembangunan Daerah yang berbasiskan Kesejahteraan Masyarakat

Membangun daerah itu adalah merupakan tugas kita bersama, terutama masyarakat yang berdomisili di daerah tersebut,  namun walaupun demikian yang berkewajiban melakukan perencanaan dan menfasilitasi pembangunan daerah  adalah Pemerintah Daerah. Pemerentah daerah harus menyusun perencanaan.Pemerintah Daerah berkoordinasi dengan instasi ataupun pelaku pembangunan secara langsung.
Pembangunan adalah suatu usaha yang sistematik dari pelbagai pelaku (actor), baik umum (public) atau pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda, untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan baik aspek fisik, social, ekonomi, maupun aspek lainnya dengan cara :
  • Secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah
  • Merumuskan tujuan dan pembangunan daerah
  • Menyusun konsep strategi bagi pemecahan masalah (solusi) dan
  • Melaksanakannya dengan sumberdaya yang tersedia
sehingga peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan.
   BAPPEDA merupakan salah satu instansi pemerintah daerah yang sering disebut Badan Perencanaan Pembangunan Daeah,Kaitannya dengan provinsi dalam perencanaan Pembangunan,landasan hukum Bappeda yaitu Perda no 12 Tahun 2009 sebagaimana masuk pula kestrukturan Organisasi.Sejarah Bappeda muncul pada tahun 1970 digagas oleh kawan-kawan diaceh pada zaman orde baru,yang menggunakan sistem sentralistik(yaitu langsung ke pusat)ketika itu untuk mengoptimalkan Kesejahteraan Rakyat bersifat Global namun bukan berbentuk skema dalam penyusunan pembangunan daerah,dahulu masih bernama Bappenas(Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) sehingga ada semangat untuk reformasi merubah serta mengoptimalkan kesejahteraan masyarakat.Karena kita ketahui setiap Daerah tidak sama dalam letak Geografis dan Unsur Masyarakat(Stakeholder Pembangunan) satu Daerah dengan daerah lainnya,untuk itu bappeda waktu reformasi banyak yang diliquidasi oleh gusdur,bappeda lahir karena keinginan penyeimbang dalam Pembangunan Daerah.
Dengan pelaksanaan desentralisasi pada tahun 2001, otonomi dan tanggung jawab fiskal telah beralih dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten. Kerangka hukum nasional yang mengatur pemerintahan daerah dan hubungan fiskal mewajibkan pemerintah pusat untuk mengalihkan sedikitnya 25 persen pendapatan dalam negeri untuk pemerintah-pemerintah daerah, yang 90 persen di antaranya dialokasikan kepada pemerintah kabupaten dan kota sementara 10 persen dialokasikan untuk pemerintah provinsi. Oleh karena itu, provinsi-provinsi relatif mengalami penurunan dalam hal kekuatan fiskal. Pada tahun 2004, beberapa tanggung jawab pengawasan dikembalikan kepada provinsi-provinsi.

Dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evalusi pembangunan daerah akan meliputi beberapa aspek yaitu sebagai berikut :
Dana perimbangan (DAU dan DAK). Sistem pemerintahan terdesentralisasi sangat bergantung pada dana perimbangan untuk mengalihkan cadangan dari pusat kepada daerah-daerah. DAU atau Dana Alokasi Umum memberikan pendapatan dalam jumlah besar untuk sebagian besar pemerintah daerah. Jumlah aktual transfer DAU diatur sesuai dengan beberapa criteria, termasuk jumlah penduduk, luas wilayah, angka indeks pengembangan SDM (HDI), kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal (dihitung terutama berdasarkan gaji pegawai negeri sipil).
Selain DAU, beberapa pemerintah daerah menerima pendapatan tambahan dari Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK, tidak seperti DAU, merupakan hibah berdasarkan kebijaksanaan yang diberikan untuk proyek-proyek tertentu yang sesuai dengan prioritas pembangunan nasional.
Penerimaan dari DAU dan DAK menggantikan transfer Subsidi Daerah Otonomi (SDO) antar pemerintah yang ada sebelumnya dan Instruksi Presiden (dikenal sebagai Inpres).
2.Penerimaan bukan pajak dari sumber daya alam. Penerimaan dari sumber daya alam dibagi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Alokasinya berbeda-beda bergantung pada jenis sumber daya alamnya. Pengecualian juga diterapkan untuk Aceh dan Papua, yang mana keduanya memiliki bagian pendapatan dari minyak dan gas yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain karena status kedua provinsi tersebut sebagai provinsi otonomi khusus. 
3.Penerimaan pajak dari pajak kekayaan dan pajak penghasilan yang dibagi dengan pemerintah pusat. Penerimaan pajak yang diperoleh Pemerintah Pusat juga dialihkan kepada provinsi-provinsi, kabupaten-kabupaten, dan kota-kota. Sumber-sumber utama adalah pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan pajak penghasilan. Sebagian besar penerimaan dikembalikan kepada daerah-daerah, kecuali pajak penghasilan yang hanya dialihkan kepada daerah 20 persen: 12 persen untuk kabupaten/kota dan 8 persen untuk provinsi. 
4.Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota juga menghasilkan pendapatan mereka sendiri (PAD atau Pendapatan Asli Daerah). Sebagian besar kabupaten dan kota memiliki PAD yang kecil dan sebagian besar pemerintah kabupaten/kota sangat bergantung pada transfer dari pemerintah pusat.
Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 25/1999 tentang hubungan fiskal antarpemerintah menjadi kerangka hukum untuk pengenalan desentralisasi fiskal di Indonesia. Undang-Undang No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 33/2004 tentang desentralisasi fiskal kemudian mengubah dan memperkuat desentralisasi fiskal.

  • Pemahaman Daerah: dalam hal ini yang jelas mengerti tentang kondisi Daerahnya bukan pusat akan tetapi Provinsi,Kecamatan,desa,dan warganya setempat.Karena dalam Unsur Pembangunan semua subjek harus di libatkan secara langsung baik itu Pemerintah Daerah,swata,Instansi yang berkait ataupun masyarakat.Semua berkoordinasi dalam perencanaan maupun pelaksanaan dan evaluasi Pembangunan Daerah.
  • Penetapan Visi dan Misi: Yang mana dalam Bappeda provinsi Lampung telah terkandung dalam program kegiatan mengarahkan kepada ideology pancasila sebagai falsafah Bangsa.
  • Perumusan Tujuan: dalam hal ini Bappeda ingin membangun kesejahteraan masyarakat social,budaya,ekonomi,pendidikan dsb yang sebagai kebutuhan masyarakat banyak.
  • Mengidentifikasi Strategi alternative: Bappeda dalam strategi Pembangunan terkandung dalam UU no 2 tahun 2008
  • Pengujian Alternatif strategi  atau program
  • Seleksi alternative & penentuan strategi / program: penyusunan secara sistematis mulai dari tingkat Desa dsb semua aspek/subjek Pembangunan di ikut sertakan.Dalam hali ini Pembanguan di tujukan kepada kebutuhan masyarakat yang lebih pokok dahulu misalnya suatu Daerah belum memiliki jembatan sentral yang dapat mempernudah akses perekonomian ketimbang membangun Hunian murah,jelas tentu mengupayakan kebutuhan sentral dulu atau sering di sebut teori GOLD POULD
  • Penganggaran: tidak lah mungkin melakukan perencanaan tanpa adanya anggaran,substansinya Pemerintah menganggarkan dana nya kemana,yang mana penganggaran tidak langsung cair begitu saja ke Daerah namun melalui MuslembangProv dan di sesuaikan APBN didalamnya melalui persetujuan DPRD namun dalam penganggaran melalui output kesepakatan Politik.
  • Pelaksanaan / Implementasi : di lingkupi SKPT yang mana masyarakat sebagai pelaku Pembangunan dan lebih mengerti tentang penseleksian Kabupaten Kota,urusan pemilihan koordinasi tergantung pada kompetensi dasarnya sehingga yang mengetahui solusinya harus di laksanakan Pemerintah Daerah.Pemerintah Daerah atau Instansi Bappeda sebagai fasilitator ruang lingkup perencanaan Pembangunan.
  • Monitoring dan evaluasi : Pembangunan Daerah di perlukan yang mana evaluasi sebagai respon akan tindak kurang optimal nya pembangunan Daerah tersebut,Bappeda Lampung mengundang seluruh aspek golongan Masyarakat untuk bermusyawarah antaralain mahasiswa,jajaran Pemerintahan,masyarakat dsb .Gunanya untuk memonitoring pelaksanaan Pembangunan yang Optimal.
Pembangunan Harus terencana Karena :
Pembangunan daerah harus benar benar terencana, dalam artian benar benar memiliki perencanaan yang matang,  yang mengikuti kaidah kaidah perencanaan yang benar, karena :
  1. Perencanaan akan menjadi dokumen yang berfungsi sebagai alat koordinasi: bappeda memilki tugas menyusun seluruh perencanaan provinsi,memfasilitasisasi/mengkoordinasi,melihat kapasitas pembangunan daerah
  2. Perencanaan akan menjadi pedoman dan arahan dan strategi pelaksanaan pembangunan agar mencapai tujuan: bappeda memilki tugas untuk melakukan pendiikan cth : di lampung barat ada pendidikan terpadu,terminal agro bisnis di lampung selatan,perencanaan kota baru,JSS(jembatan selat sunda)
  3. Perencanaan akan menjadi panduan pengendalian pelaksanaan melalui  monitoring  dan evaluasi: seperti Pembangunan yang akan di rencanakan Bappeda yaitu pembangunan Kota Baru yang gunanya untuk mengurangi kemacetan di Bandar Lampung ,5 tahun kedepan mungkin kita mengalami kelumpuhan total untuk itu memakai teori Gold Pold dalam perencanaan dari pada melebarkan jalan yang mana anggarannya 2x lebih banyak dari pada membangun Kota baru sentralistik ,bisa di gunakan sebagai lahan industri,perekonomian serta menghindari kepadatan penduduk.Untuk itu di perlukan evaluasi yang melibatkan seluruh actor Pembangunan sehingga dapat di simpulkan dalam tujuan Pembangunan
  4. Sebagai umpan balik atau rekomendasi bagi penyusunan perencanaan selanjutnya.
Membanguan suatu daerah harus diawali dengan mengidentifikasi daerah tersebut dengan sedetil-detilnya. Seberapa besar daerah tersebut memiliki potensi, serta apa pula kelemahannya, seberapa besar daerah memiliki peluang dan seberapa besar pula tingkat tantangannya.
  1. Untuk membangun suatu daerah harus benar benar memahami keadaan  suatu daerah sehingga akan memperoleh data dan informasi secara sistematis tentang kondisi utama lingkungan, fisik, social, budaya, ekonomi, politik dan administrative,  dan kelembagaan pada suatu daerah yang sedang dikaji dan direncanakan pembangunannya: seperti kebutuhan yang umum  Dinas Kesehatan misalnya agar kebutuhan tidak tertahan maka.Bappeda melakukan tupoksinya sebagai membantu kebutuhan pokok masyarakat  yang berkoordinasi dengan dinas kesehatan(sebagai kapasitas yang di miliki dan kebutuhannya)
  2. Karena perencana suatu kegiatan pembangunan di daerah harus benar benar memahmi situasi yang terkini, mendasar dan relevan, sehingga memiliki kemampuan untuk menyusun sebuah kebijakan untuk dilakukan dalam pembangunan daerah;dalam kajian ini Bapedda mengkoordinasi dalam maksud bekerja sama instansi yang berkaitan secara langsung di lapangan ,kinerja andaikan tidak strategis  maka anggaran melalui team Daerah di koordinasi oleh Sekda,Bappeda dan biro Pembangunan apabila kinerja tidak baik dilapangan bukan tanggung jawab lagi oleh Bappeda namun instansi yang di lapangan.
  3. Ananlisis hendaknya dimulai dari analisis kualitatif pembangunan daerah yang telah tercapai, melakukan analisis kuantitatif sehingga teridentifikasinya berbagai persoalan daerah, teridentifikasinya sebab dan akibat, serta teridentifikasinya potensi yang ada.  Hal tersebut dibutuhkan dalam rangka (1) merumuskan tujuan, (2) mengevaluasi strategi pilihan dan dampaknya, (3) untuk mengambil keputusan dan strategi yang akan diterapkan.
bappeda memililki landasan filosofi ;
1.kebijakan desentralisasi secara ekonomi menekankan pada upaya efesiensi dan efektifitas pengelola.
2.mendekatkan masyarakat dalam penmgambilan keputusan,sedangkan tufoksi dari bappeda adalah merencanakan seluruh rencana daerah,tapi secara teknis yang menjalankannya adalah SKPD masing-masing.
3.Good Govermance yaitu tranparansi kepada masyarakat sebagai subjek dari Pembangunan
Pembangunan kebudayaan masyarakat merupakan salah satu unsur penting untuk meningkatkan nilai-nilai kebudayaan yang ada didaerah kita.Perencanaan Kebudayaan (Budaya Lampung) bisa melalui perkembangan dan pengembangan Kebudayaan Lampung itu sendiri bisa melalui Pariwisata serta Pengelolaan Kebudayaan seperti yang di lakukan Daerah Way Kanan dengan di biasakannya bahasa Daerah Lampung dalam kehidupan sehari-hari,di dirikannya Lembaga Kebudayaan(Majelis Penyeimbang Adat Lampung Bghawai adat lampung),pelestarian adapt budaya yaitu dengan Teluk Sebatas di Lampung Barat,bisa juga penanaman nilai-nilai budaya menyukai objek pariwisata luar cintailah objek pariwisata yang ada dalam lokal,seperti: museum lampung,air terjun batu tegi,menara siger di lampung selatan ataupun situs di Tulang Bawang..
budaya merupakan hasil dari cipta,rasa,karsa manusia oleh sebab itu ada diperuntukan untuk kebutuhan  manusia.manusia harus memilki kebudayaan,kebudayaan ada dua yaitu
kebudayaan homogen:kebudayaan di Jepang
kebudayaan heterogen:sulaman khusus sastra lampung,rumah adat dll.
    perda no.12 2009 merupakan struktur dan strategi bappeda.struktur yang terbaru dalam pembangunan yang tujuannya untuk membangun kesejahteraan masyarakat seperti, disehatkan badannya:pelayanan umum,diberikan penempatan yang layak baginya,dicerdaskan otaknya.
di bappeda ada program budaya yaitu :
1.pelestarian budaya lampung:
-menggunakan bahasa lampung"mulang tiyuh"diway kanan
-menggunakan pakaian adat,MPAR( majelis penyimbang adat daerah budaya lampung)
2.pengembangan pariwisata :
-forum"budaya dikabupaten kota
-program yg di creat oleh kabupaten diteluk satabas,dan teluk semangka,festival krakatau dll.
keseluruhan dari pengembangan kebudayaan masyarakat harus terencana dan terprogram dengan baik,oleh sebab itu bappedalah yang merencanakan seluruh rencana tersebut,adn sesuai dengan  visi,misi,program dan kegiatannya.
dimana segala sesuatu yang telah berjalan ini ditujukan untuk kepentingan seluruh rakyat yang ada.dengan pembangunan masyarakat harus memahami beberapa hal yaitu :
-pemahaman daerah
-penetapan visi,misi
-perumusan,pengujian alternatif,anggaran,penentuan strategi,pelaksanaan,
-monitoring,evaluasi
apabila semua rencana ini dijalankan dengan baik maka pembangunan budaya ini akan baik dan akan mencapi sasaran yang akan dituju,yaitu :untuk mensejahterakan masyarakat diseluruh daerah.
Perencanaan Daerah
1.jangka pendek=RKPD=1 tahun
=RKSKPD=1 tahun
2.jangka menengah=Renstrada=5 tahun
                               =renstra skpd=5 tahun
3.jangka panjang:RPJPD=20 tahun

Manusia mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan di muka bumi ini karena kemampuan berpikir secara ”metaforik” dan menggunakan seluruh indra untuk beraktivitas.
Kemampuan berpikir secara “metaforik” itu tercermin dalam “simbol” yang penuh ungkapan makna dalam apresiasi gerak untuk menyampaikan pesan, pengalaman, bahkan ungkapan perasaan kepada sesamanya secara efektif, etis dan berkemanusiaan.
Dengan simbol yang diungkapkan itulah, manusia mampu berhubungan secara langsung atau tidak langsung menembus batas komunitas dan generasi dalam suatu “interaksi” sosial budaya.
Semakin luas jaringan dan intensitas interaksi sosial budaya yang berkembang pada komunitas lokal dengan komunitas “asing” di luar komunitasnya, maka semakin besar peluang untuk mengembangkan masyarakat dan “kebudayaannya”.
Sebaliknya semakin terisolir suatu komunitas dari lintasan orbitasi sosial budayanya, apalagi menutup diri dari pergaulan dengan komunitas luar, maka semakin besar hambatannya untuk mengembangkan pembaharuan “budaya” yang kini tidak lagi mengenal batas geografik, negara dan bangsa.
Ralp Linpton seorang antropolog kenamaan Amerika menyatakan bahwa didunia ini tidak ada lagi masyarakat yang berhak menyatakan bahwa “kebudayaannya” masih asli.
Selebihnya merupakan hasil tukar menukar dan pinjam meminjam unsur kebudayaan yang diserap secara murni ataupun dimodifikasikan. Demikian pula sebagian besar pengembangan unsur kebudayaan “setempat” biasanya merupakan pengembangan yang diilhami oleh pengaruh kontak “budaya” dengan pihak luar.
Demokrasi dan reformasi, suatu fenomena baru dalam interaksi sosial budaya memberi warna dan nuansa baru dalam tatanan kehidupan global, suka tidak suka, akan memengaruhi dan memberi dampak positif dan negatif.
Dampak negatif bila tidak diproteksi secara dini mengakibatkan dunia kebudayaan kita menjadi semakin terpuruk dan sangat menderita. Hal ini diperparah dengan “model” pendekatan pembangunan di negara kita yang tercinta ini lebih prioritas pada pembangunan ekonomi dan politik.
Nilai “kebendaan” menjadi sangat kuat dan menonjol, sementara nila nilai non ekonomi, nilai-nilai batin dan nilai nilai “spiritual” merosot tajam. Ukuran keberhasilan seseorang cenderung dinilai secara “ekonomi kebendaan”.
Sementara nilai nilai moral, nilai nilai batin dan spiritual, nilai kewibawaan, keadilan dan nilai nilai “kearifan budaya leluhur” menjadi komoditas eceran. Kondisi seperti ini masih ditambah lagi dengan kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Teknologi komunikasi, teknologi informasi, menjadi media yang sangat menarik mengantar masuknya kebudayaan barat, “kebudayaan otak” ke negeri kita, dan menyingkirkan “kebudayaan rasa” yang dimiliki sebagai “nilai warisan” nenek moyang kita.
Dengan kemajuan tersebut, sekarang batas budaya antar bangsa sudah semakin tidak jelas. Semua aspek kehidupan bangsa telah tercemari nilai-nilai kebendaan tersebut. Dunia pendidikan sudah mengabaikan mutu, sementara yang dikejar adalah ijazah.
Ukuran terhormat bagi seseorang hanya dinilai pada jumlah kekayaan yang dimiliki menjadikan komunitas etnis atau masyarakat tradisional, sangat sulit untuk mempertahankan “budaya” lokal sebagai warisan leluhur mereka.
Masyarakat tradisional Indonesia pada umumnya percaya akan adanya suatu tatanan, aturan tetap, yang mengatur segala apa yang terjadi di alam dunia yang dilakukan oleh manusia.
Tatanan atau aturan itu bersifat “Stabil”, “Selaras” dan “Kekal’”. Aturan itu merupakan tatanan “budaya” sebagai sumber segala kemuliaan dan kebahagiaan manusia. Apapun yang dilakukan manusia harus sesuai atau selaras dalam tatanan kehidupan alam sekitarnya.
Untuk itu Pembangunan Kebudayaan yang sifat nya akulturasi dapat mudahnya menyelaras masu ke Budaya Indonesia
Kebudayaan memang di tujukan pada insan manusia namun pada hakekatnya kebudayaan untuk Kesejahteraan masyarakat bersama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar