Paradigma selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti penting pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan (Harold H. Titus dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM) yang boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas tidak mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato.[1] Bagi Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik manusia. (Amin Abdullah;1996).
Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang paling absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak memiliki arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme (Harun Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak dapat dipersepsi (Ali Abdul Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John Locke berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula (kertas putih). Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil pengamatan Indrawinya (Louis O. Katsof;1995). Paradigma selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti penting pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan (Harold H. Titus dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM) yang boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas tidak mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik manusia. (Amin Abdullah;1996).
Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang paling absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak memiliki arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme (Harun Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak dapat dipersepsi (Ali Abdul Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John Locke berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula (kertas putih). Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil pengamatan Indrawinya (Louis O. Katsof;1995).
Imanuel Kant (1724-1804), meskipun ia juga melakukan beberapa kritik terhadap sikap eksklusif dari kedua arus pemikiran (empirisme dan rasionalisme) yang bersifat antagonis tersebut, Kant mampu memberikan perspektif baru dalam kajian epistemologinya, sehingga melahirkan filsafat ilmu (philosophy of science) yang sangat mempunyai arti penting bagi lahirnya ilmu pengetahuan yang multi dimensional di Barat dewasa ini.[2]
Pengetahuan yang lebih menekankan pengamatan dan pengalaman inderawi dikenal sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Pengetahuan ini bisa didapatkan dengan melakukan pengamatan dan observasi yang dilakukan secara empiris dan rasional. Pengetahuan empiris tersebut juga dapat berkembang menjadi pengetahuan deskriptif bila seseorang dapat melukiskan dan menggambarkan segala ciri, sifat, dan gejala yang ada pada objek empiris tersebut. Pengetahuan empiris juga bisa didapatkan melalui pengalaman pribadi manusia yang terjadi berulangkali. Misalnya, seseorang yang sering dipilih untuk memimpin organisasi dengan sendirinya akan mendapatkan pengetahuan tentang manajemen organisasi.[3]
Pandangan Empirisme dan Nativisme, tidak terlepas dari pembahasan tentang "hakekat" manusia. Pandangan tentang "hakikat" manusia tersebut akan memunculkan bagaimana posisi dan eksistensi dari potensi manusia itu sendiri, di samping interaksinya dengan faktor lingkungan.[4] Keterkaitan dengan faktor lingkungan, dikarenakan "hakikat" manusia tidak mungkin lepas dari factor lingkungan yang menjadi unsur "pembedanya". Secara terminologis, hakekat itu sendiri adalah "realitas sesuatu atau eksistensi sesuatu itu sendiri, kenyataan eksistensi sesuatu yang sebenarnya, bukan secara semu atau temporer atau bukan pula kondisi labil. Dengan demikian, apabila membicarakan hakikat sesuatu, maka pembicaraan tersebut tidak terlepas dari "obyektifitas". Pembicaraan hakikat manusia, misalnya tidak sebagaimana yang dikatakan oleh Protagoras, Prodikos dan Gorgias --tokoh kaum Sofis-- bahwa manusia adalah ukuran segala-galanya. Apa yang benar menurut manusia tersebut, maka itulah yang benar baginya. Pandangan Protagoras tentang hakikat manusia tidaklah "mendasar", karena baginya tidak ada kebenaran yang bersifat umum dan universal. Kebenaran semuanya bersifat subyektif dan relatif, sehingga manusia yang kuat argumennya tentang sesuatu hal, maka ialah yang benar.
Pandangan dari Protagoras dkk., menunjukkan bahwa pembicaraan hakikat manusia itu sendiri bagi mereka belumlah final dan menduduki posisi yang obyektif. Pembicaraan mengenai hakikat sesuatu, barulah dapat dilihat dari hasil-hasil pemikiran Socrates. Socrates memulai memecahkan "polemik" tentang hakikat sesuatu tersebut dengan suatu metode berpikir "induksi". Metode komparatif terhadap berbagai kasus yang terjadi, serta dari kasus-kasus tersebut diambil kongklusi yang merupakan pengertian serta bersifat general, mendasar dan merupakan standar bagi hakikat kasus-kasus tersebut. Dengan demikian, induksi adalah motode berpikir dengan pendekatan dari khusus ke umum. dalam terminologi ushul fikih, dikenal kaidah "al-ibrah bil khusus al-sabab la bi umum al-lafzi", atau sebaliknya. Dengan menggunakan metode induksi, maka ia dapat mengambil suatu kongklusi yang merupakan pengertian umum/universal. Inilah yang ia anggap sebagai hakikat sesuatu tersebut. Hakikat sesuatu tersebut, sekarang lebih populer dengan istilah "definisi".
Pembicaraan mengenai hakikat sesuatu ini telah memunculkan berbagai teori dengan beragam pendekatan. Menurut Ahmad Tafsir, teori-teori dengan pendekatan tersebut, telah melahirkan cabang-cabang ilmu, misalnya teori tentang hakikat manusia telah melahirkan ilmu anthropologi, psikologi, sosiologi, dll.[5] Teori tentang hakikat agama, telah melahirkan filsafat agama, atau teologi. Teori tentang hakikat pendidikan telah melahirkan berbagai disiplin ilmu pendidikan, dst. Yang jelas dalam pandangan Ahmad Tafsir lebih lanjut, dalam melihat hakikat sesuatu maka semuanya berawal dari segi ontologis terlebih dahulu, yaitu bermula dari pertanyaan apakah sebenarnya realitas sesuatu itu .
Dengan berpijak pada gambaran di atas, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan hakikat manusia secara terminologis, adalah "realitas" manusia secara obyektif, manusia secara kenyataan yang sebenarnya, bukan semu, temporer atau kondisi labil. Hakikat manusia dimaksudkan pada realitas manusia secara definitif, sebagaimana diisyaratkan oleh kategori pengertian umum dari Socrates. Meskipun demikian, masih terdapat kualifikasi yang berbeda dalam melihat hakikat manusia di sini. Hal ini disebabkan oleh pendekatan-pendekatan yang dipergunakan oleh para pemikir. Oleh karena itu, munculah berbagai aliran pemikiran dalam melihat hakikat manusia tersebut. Dengan demikian, apabila berbicara tentang hakikat manusia menurut suatu aliran pemikiran, maka haruslah dilihat terlebih dahulu bagaimana aliran-aliran pemikiran tersebut melihat hakikat manusia.
Aliran Materialisme misalnya, berpendapat bahwa hakikat manusia adalah "materi semata". Aliran pemikiran ini berpendapat demikian, karena mereka berpijak pada asumsi mereka bahwa segala sesuatu hanyalah materi belaka. Materi bagi mereka adalah substansi "terdalam" dan "bereksistensi" dengan kekuatan sendiri serta tidak membutuhkan prinsip atau teori lain untuk menerangkan eksistensi tersebut.[6] Materi menurut mereka, adalah "realitas" dan ialah satu-satunya hal yang nyata. Berdasar pijakan ini, manusia merupakan materi yang paling tinggi tingkatannya "homo homini deust est", dan karenanya, Fuerbach --tokohnya aliran materialisme-- berpendapat bahwa manusia adalah "tuhan" bagi sesamanya. Dalam ajaran materialisme, eksistensi ruhaniah manusia sesungguhnya masih diakui, tapi ia bukanlah bagian dari hakikat manusia itu sendiri. Dengan asumsi material di atas, maka aliran ini berpendapat bahwa hal-hal yang bersifat metafisika, terlebih "agama", harus ditolak
Berbeda dengan aliran Materialisme, aliran idealisme justru berpendapat sebaliknya. Menurut aliran ini, hakikat manusia justru adalah sifat "ruhaniyahnya", bukan materinya. Jasmaniah manusia barulah dapat dipahami, berdasarkan pada hakikat manusia tu sendiri (ruhaniyahnya).
Dalam pandangan aliran ini, jasmani manusia tidak lebih dari "realisasi" dari apa yang dianggap mereka sebagai "hakikat manusia" itu sendiri, yaitu aspek ruhaniyahnya. Selain kontradiktif dalam melihat hakikat manusia, Kedua aliran di atas, berbeda pula dalam melihat asal dari pengetahuan manusia dan alam semesta. Bagi aliran materialisme, yang lebih dahulu ada adalah obyek pengetahuan dan realitas alam semesta ini. Kemudian dari obyek pengetahuan dan realitas alam semesta ini, munculah pengetahuan dan ide-ide. Aliran Idealisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang lebih dahulu ada adalah subyek pengetahuan dan ide-ide, barulah muncul obyek pengetahuan dan realitas alam semesta. Dan dalam hal inilah, perbedaan kedua aliran pemikiran ini berpengaruh besar terhadap perkembangan aliran filsafat pendidikan kemudian.
Secara analisis, dapat dikemukakan bahwa aliran-aliran pemikiran dalam pendidikan konvensional yang lahir kemudian, merupakan aliran yang lahir dari pengaruh atau paling tidak pengembangan "reaksi" dan "refleksi" pemikiran dari kedua aliran ini, baik itu aliran Empirisme, Nativisme maupun Konvergensi kemudian. Aliran Empirisme misalnya, ia banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dan gagasan dari aliran Materialisme. Pandangan aliran Materialisme tentang obyek pengetahuan dan realitas alam yang membentuk ide-ide, kemudian menjadi "pokok" dari pandangan aliran filsafat pendidikan ini. Pokok gagasan tersebut akhirnya diwujudkan ke dalam suatu paradigma aliran ini, bahwa faktor luar/ekstern manusia yang dalam hal ini lingkungan merupakan unsur utama "pembentuk" pengetahuan dalam diri manusia. Manusia yang walaupun mempunyai "potensi" ruhaniyah, namun potensi manusia tersebut tidaklah "menentukan" pertumbuhan dan perkembangan manusia itu sendiri dalam proses penerimaan pengetahuannya. Manusia menurut aliran ini sebagaimana kertas putih ketika ia dilahirkan (tabularasa), dan akan segera diisi oleh berbagai "catatan" dalam berbagai warna, dan catatan-catatan tersebut, adalah berupa pengalaman empiriknya. Oleh karena itu, tingkat kuantitas maupun kualitas manusia dalam berpengetahuan, sangat ditentukan oleh kuat-tidaknya faktor eksteren/lingkungan mempengaruhinya.[7]
Salah satu implikasi yang terjadi dari realisasi paradigma empirisme, adalah munculnya "reduksi" terus-terusan atau bahkan "penghilangan" dimensi dan peranan internal dalam proses pendidikan. Berpijak dari pandangan bahwa faktor ekstern manusia, merupakan faktor penentu, maka upaya yang dilaksanakan akan terus-terusan berorientasi pada pemberdayaan aspek luar diri manusia itu sendiri. Reduksi dan bahkan penghilangan dimensi dan peranan internal manusia, justru akan mendorong dan mengarahkan manusia yang menjadi anak-didik ke arah "sekularisasi" kehidupan dari aspek-aspek rohani, terutama naluri keagamaan.
Empirisme, Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a bundle or collection of perceptions (= kesadaran tertentu)”. Kausalitas. Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang). Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang “hukum alam” atau “sebab-akibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja. Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita. Empirisme mengambil alam serta ilmu-ilmu alam sebagai modelnya. Menurutnya, bahkan proposisi ilmu sosial pun berstatus logis yang sama dengan proposisi ilmu alam. Semua proposisinya menyatakan hubungan hipotetis semata antarsatu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Pada esensinya dia mengambil bentuk pernyataan-pernyataan jika-maka. Namun, semua proposisi sementara ini membutuhkan pengujian terus menerus terhadap pengalaman.
Klaim empirisme, kebenaran tidak dapat dipastikan sekali untuk selamanya. Tidak ada kebenaran yang benar-benar dapat dipastikan. Kebenaran adalah Godot yang tidak pernah datang. Dia senantiasa ditunda sebagai hipotetis tentatif yang dapat gugur kapan saja melalui proses falsifikasi.
Ciri utamanya adalah bahwa pengetahuan tentang realitas, atau pengetahuan empiris, harus dapat diverifikasi atau setidaknya dipatahkan oleh pengalaman observasional. Kita tidak dapat mengetahui terlebih dahulu sebelum pengalaman-sebelum betul-betul melakukan semacam pengalaman observasional secara khusus. Sebaliknya, jika ada pengetahuan tidak bisa diverifikasi atau difalsifikasi oleh pengalaman observasional, maka hal itu bukan pengetahuan yang riil. Dia pengetahuan tentang kata-kata semata, tentang penggunaan istilah-istilah, tentang penandaan dan pengaturan transformasional atas tanda-tanda tersebut. Dengan kata lain, dia cuma pengetahuan analitis, yang tidak setara dengan pengetahuan empiris.
Jadi, klaim sentral empirisme adalah sebagai berikut: pengetahuan empiris harus dapat dikukuhkan atau dibantah melalui pengalaman; sedangkan pengetahuan analitis, yang tidak dapat disahihkan atau difalsifikasi, dengan demikian tidak berisi pengetahuan empiris apapun. Jika ini benar, maka cukup fair untuk ditanyakan: Kalau begitu apa status pernyataan fundamental ini mengenai empirisme? Jelas, dia harus bersifat analitis atau empiris. Demikianlah empirisme sesuai pandangan Hoppe.[8]
Krisis Abad 20
Dengan terbitnya buku Newton (pada tahun 1686) yang berjudul “Philosophiae Naturalis Principia Mathematica” maka muncullah suatu babak baru dalam dunia sains modern. Teori gravitasi Newton telah mendorong ilmu pengetahuan berkembang pesat di dunia Barat. Perkembangan IPTEK tersebut ditandai oleh adanya rentetan temuan-temuan baru seperti temuan tentang listrik (Michael Faraday), gaya elektromagnetik (James Clerk Maxwell, 1870) dalil temuan Sinar-X (Henry Bacquerel). Dengan adanya penemuan tersebut maka banyak masalah praktis dalam kehidupan manusia yang dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. Manusia mulai menikmati dan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam perkembangan teknologi pangan/pertanian, transportasi, genetika, industri dan komunikasi. Dampak dari kemajuan IPTEK tersebut adalah terjadinya akselerasi pertumbuhan penduduk dan peningkatan kemakmuran yang sangat pesat. Puncak perkembangan IPTEK terjadi mulai awal abad 20 yang ditandai dengan munculnya Tcori RelatiFitas Einstein (1905). Teori ini menyatakan bahwa empat komponen mekanistis yakni zat, gerak, ruang dan waktu (yang diasumsikan bersifat absolut oleh Newton) merupakan sesuatu yang bersifat relatif. Zat pada prinsipnya hanya merupakan bentuk lain dari energi, dengan rumus yang termasyur E = mc2. Dengan kata lain, munculnya teori ini sekaligus mengakhiri era kejayaan Newtonian. Teori Relativitas tersebut ternyata dalam waktu relatif singkat mendorong terjadinya revolusi besar di bidang pemanfaatan energi atom, komunikasi persenjataan dan bahkan sampai ke penjelajahan ruang angkasa. Sekali lagi, seolah-olah manusia dilecut untuk melihat kenyataan bahwa rasio atau akal telah ‘memandu’ dunia ke era yang spektakuler. Rasio seolah-olah menjadi tumpuan dan harapan utama dalam pengembangan kehidupan manusia di dunia Barat maupun di kalangan masyarakat lain yang berkiblat ke dunia Barat. Tahta’ kejayaan rasio Barat mulai tergetar saat born atom yang dianggap merupakan salah satu “produk gemilang” IPTEK, menelan korban ratusan ribu jiwa manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Manusia mulai tergelitik untuk berpikir “apakah rasio manusia boleh tetap dibiarkan terus menjelajah bebas tanpa kendali?”. Sampai di penghujung abad 20, kemajuan IPTEK masih terus berjalan pesat, bahkan temuan temuan terkini di bidang telekomunikasi, komputerisasi dan keruang-angkasaan telah membuat seolah-olah bumi menjadi sebuah titik kecil di tengah belantara rasio”. Namun demikian kegelisahan semakin terasa mengingat manusia semakin diperhadapkan pada kenyataan yang bersifat kontroversial dengan ‘apa yang diharapkan orang dari penjelajahan rasionya .Kemajuan pesat IPTEK Barat telah menunjukan bukti munculnya kehancuran.[9]
Dampak Penyingkiran agama dalam Berkehidupan
Penyingkiran agama, menimbulkan konsekuensi yaitu, pertama, pengetahuan datang dari persepsi indrawi (empirisme). Artinya, pengalaman merupakan sumber pengetahuan. Karena paham yang demikian, maka mereka tidak dapat menerima ide tentang Tuhan. Kedua, muncul paham nihilis. Tidak ada nilai dan pengetahuan yang pasti. Akibatnya manusia berjalan pada ketiadaan apapun. Bahkan mereka tidak tahu untuk apa mereka hidup. Mereka ada karena proses alamiah yang sedang menuju kepada ketiadaan. Dengan demikian manusia bagaikan robot hidup yang diprogram oleh pendidikan modern.
Ketiga, orang-orang yang menyingkirkan agama, bukan berarti mereka tidak beragama. Agama mereka ialah kepercayaan kepada pengetahuan yang dapat mensejahterakan mereka ketika masih hidup di dunia ini. Tidak ada hari esok, tidak ada kebangkitan orang mati. Karena menurut mereka, kehidupan yang kita ketahui hanyalah kehidupan yang ada di dunia ini. Dunia lain, itu tidak dapat dimengerti, karena tidak dapat dimengerti secara empiris. Maka ungkapan yang mereka pakai adalah, yang riel itu yang nyata, yang nyata itu yang riel (rumusan Hegel).
Agama pengetahuan, tidak membutuhkan ritual-ritual ibadah. Sebab di sana tidak ada satu pribadi yang harus dipuja, disembah ataupun ditakuti. Agama pengetahuan adalah agama yang memaksimalkan seluruh kemampuan otak untuk mencapai kesejahteraan duniawi. Itu sebabnya, ukuran yang dipakai dalam agama pengetahuan untuk menyatakan seseorang itu religius adalah, seberapa genius, dan seberapa makmur hidupnya; itulah religiusitas mereka.
Ritual agama pengetahuan berisi pujian yang didendangkan alam, doa dipanjatkan melalui rumus-rumus dari teori matematika, fisika, kimia, dan ekonomi, yang dapat menjawab kebutuhan hidup mereka. Tidak ada tata ibadah atau skramen khusus sebagaimana terlihat bila berlangsung satu peribadahan keagamaan. Sebab itu ritual mereka, tidak seperti ritual keagamaan tradisi yang dapat membatasi kebebasan mereka dalam berpikir, bertindak, dan berperilaku. Satu-satunya patokan bagi mereka untuk bertindak, berpikir, dan berperilaku adalah kebebasan yang tidak merugikan orang lain (libertinisme).
Keempat, orang-orang yang tidak memiliki agama, mengukur nilai dari sutau perbuatan/perilaku, diukur berdasarkan ketepat-gunaan dari suatu tindakan/ perilaku tersebut. Kalau sesuatu itu berdaya guna, meskipun itu melanggar nilai-nilai tradisional dan merusak, maka itu dibenarkan untuk dilakukan. Daya guna merupakan alat ukur dalam segala-galanya, apapun boleh asal berdaya guna pada manusia. Jika apa yang dilakukannya merusak, maka ada rasional instrumental yang dapat digunakan sebagai alat pembunuh hati nurani dan alat pembenaran pada tindakan tersebut.
Gaya hidup pragmatis inilah yang menjadi pengatur gerak, tindakan orang-orang yang menyingkirkan agama. Itu sebabnya, jika seorang pria membutuhkan seks, ia tidak perlu menikah. Ia cukup melampiaskan hawa nafsunya dengan wanita-wanita manapun yang ia suka, yang dapat ia bayar. Praktis, bukan! Karena filosofi mereka adalah, jika ingin makan daging sapi, tidak perlu harus memelihara sapinya, toh banyak daging sapi yang dijual di pasar. Untuk apa harus membebani hidup dengan tanggungjawab terhadap anak dan istri. Tanggungjawab itu merupakan sesuatu hal yang menyebalkan mereka, bagi mereka hidup ini praktis ajalah. Karena hidup itu sendiri telah sulit, untuk apa dipersulit lagi.[10]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar